Pemimpin Muda dan Rekrutmen Politik

Pemimpin Muda dan Rekrutmen Politik

Dimas Oky Nugroho

(Peneliti di Pusat Kajian Transformasi Sosial (PsaTS) Universitas Airlangga) http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/pemimpin-muda-dan-rekrutmen-politik-3.html

Berkumpulnya para tokoh pemuda yang kebanyakan berlatar belakang ’’ekstra parpol’’ di halaman Gedung Arsip Nasional,Minggu (28/10) lalu,seakan menjawab desakan dan aspirasi yang semakin mencuat akhirakhir ini atas pentingnya kehadiran pemimpin muda alternatif menggantikan figur-figur lama dalam pentas politik nasional.Melalui ikrarnya,mereka bertekad untuk memperkuat proses transformasi menuju Indonesia yang lebih sejahtera dan terbebas dari berbagai bentuk keterpurukan.

Pertanyaannya,sejauh mana relevansi pertemuan dan ikrar kaum muda masyarakat sipil tersebut terhadap proses institusionalisasi demokrasi dan realitas politik yang menempatkan secara eksklusif institusi parpol dalam ’’menghadirkan’ kepemimpinan nasional? ’’Zaman Bergerak’’ vs ’’Zaman Transisi’’ Para tokoh dan aktivis pemuda 2007 ini gemas dan marah dengan kondisi Indonesia yang tak kunjung pulih dari krisis nasional. Kesejahteraan yang tak membaik, pengangguran yang meningkat, kebijakan sosial-ekonomi yang tidak prorakyat, ketergantungan dalam politik internasional, kepemimpinan nasional yang lemah, tantangan antipluralisme,korupsi yang masih saja merajalela,dan ancaman terhadap demokrasi yang selalu di depan mata. Partai politik, institusi yang menjadi penyangga proses institusionalisasi demokrasi dan seleksi kepemimpinan politik,pun menjadi sorotan utama. Parpol dinilai miskin kreasi dan prestasi; minus dalam program kerja; lemah dalam rekrutmen,inisiatif dan independensi; elitis dibanding mengakar; tak sedikit yang terjebak dalam politik komunalisme,klientalisme,dan pragmatisme politik-ekonomi.

Kondisi ’’zaman transisi’’ ini dianggap sebuah penurunan jika dibanding dengan masa pergerakan nasional awal abad ke-20,periode yang dilukiskan Takashi Shiraishi sebagai the age in motion alias ’’zaman bergerak’’. Berbagai inisiatif dan bentuk kreativitas ’’baru’’ gerakan politik mulai surat kabar,tulisan,propaganda, novel dan karya sastra; pertemuan dan rapat akbar; pendirian serikat buruh, organisasi dan partai; hingga pada aksi mogok dan pemberontakan mewarnai pergerakan yang dipelopori kaum muda bumi putra saat itu.

Puncaknya saat mereka berhasil membangun ikrar berbangsa satu dan berbahasa satu Indonesia.Dengan demikian,mereka ’’menjadi sejarah’’ karena dengan segala keterbatasannya mampu membangun apa yang disebut Ernest Renan sebagai ’’sebuah solidaritas masif yang tercipta dari penderitaan bersama”.Mereka berhasil membangun sebuah bangsa. ’’Kader-kader’’ politik muda transformatif sedemikian menjadi begitu langka pada zaman transisi saat ini.

Padahal, esensi pergerakan rakyat di era zaman bergerak masih sangat relevan di era zaman transisi.Shiraishi menjelaskan,kader-kader politik muda yang terdiri dari kelompok terpelajar bumi putra saat itu bergerak mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik yang baru,menggerakkan pikiran dan gagasan baru,dalam menghadapi kenyataan dunia yang bergerak menuju sesuatu perubahan. Tantangan yang sama sesungguhnya masih kita saksikan pada saat ini. Pasang-surut demokratisasi dan proses pembangunan ekonomi ditambah dinamika globalisasi telah memberikan kesempatan baru dan menyisakan perdebatan sekaligus tekanan baru bagi nation-stateIndonesia.

Institusionalisasi demokrasi yang diupayakan pasca Orde Baru demi menjamin hadirnya rotasi kepemimpinan dan rekrutmen politik yang sehat dan terbuka kenyataannya tak cukup mampu menghadirkan kualitas kepemimpinan dan kader politik yang mampu mempercepat perubahan dan mengawal proses demokratisasi. Kekesalan Ernesto ’’Che’’ Guevara terhadap mandeknya revolusi Congo menjadi sahih untuk kita pinjam dalam melihat kondisi Indonesia saat ini.

’’Mustahil bisa kita ’’bebaskan’’ sebuah bangsa yang tak memiliki desire to fight…”,ujar Che,di mana para pemimpinnya hanya sibuk mengejar kekuasaan dan kemewahan.Etos moral perjuangan yang menurun diperparah dengan situasi di mana,’’…organizational work is almost non-existent since the middle-rank cadres do not work,do not know how to work and inspire no confidence in anyone…”. Partai Politik dan Proses Rekrutmen Agar lebih produktif,diskusi publik tentang pemimpin muda harus diarahkan kepada peningkatan kualitas proses rekrutmen politik dan sistem kaderisasi yang berlangsung dalam tubuh partai. Sistem kaderisasi dan rotasi kepemimpinan partai harus mampu merangsang kemunculan kader dan calon pemimpin politik muda yang transformatif, ulet,dan bervisi progresif-kebangsaan.

Mempercepat konsolidasi demokrasi termasuk pemerintahan yang bersih dan efektif,memperkuat rekatan kebangsaan,serta membuka akses kesejahteraan,keberdayaan,dan keadilan bagi seluruh rakyat dapat dijadikan common platformoleh kaderkader politik muda yang tersebar untuk mendorong perubahan. Dibutuhkan penguatan sinergi dengan kalangan masyarakat sipil dan kelompok intelektual-aktivis untuk melahirkan kader dan kepemimpinan politik yang relevan dengan tuntutan zaman. Membangun pelatihan dan pendidikan politik bagi kader-kader politik sebaiknya tak hanya bertujuan agar memiliki keahlian berorganisasi dan berpartai, juga mampu mempertajam visi dan andal merajut tali rekat kebangsaan serta teknik advokasi-fasilitasi khas aktivis masyarakat sipil.Hal itu agar kepentingan serta kebutuhan masyarakat konstituen dan akar rumput dapat difasilitasi dan diperjuangkan dalam sebuah program politik yang transparan, akuntabel,efektif,dan efisien.(*)

One Response

  1. Tulisan Dimas Oky Nugroho ini sangat menarik. Setidaknya ada 2 pertanyaan besar yang kemudian muncul setelah membacanya – disamping menyaksikan kenyataan bangsa ini.
    Pertama, sudahkah para kaum muda mempersiapkan mental & senjata ampuh untuk mendobrak oligarki kekuasaan yang terbangun sistematis sejak Orde Baru? Oligarki kekuasaan di tanah air sudah mengakar kuat bahkan telah mendapatkan legitimasinya secara domestik maupun internasional, mulai dari ranah politik, ekonomi sampai dengan kultural. Kenyataan kaum muda yang lahir pada era reformasi menjelaskan bahwa sebagian besar mereka telah terjinakan oleh oligarki kekuasaan yang mencengkeram kuat di balik panggung politik Indonesia – domestik maupun internasional. Hanya sedikit dari kaum reformis tersebut yang masih tersisa dan itupun terpinggirkan secara politik dan ekonomi sehingga mereka kembali ke basis dan memperjuangkan penguatan civil society yang merupakan jalan panjang menuju perubahan.
    Kedua, apakah sekarang kita sedang berada pada anti klimaks yang merupakan kebalikan dari apa yang dilukiskan Takashi Shiraishi tentang Zaman Bergerak? Perlu diingat bahwa ketika Nusantara ingin menjadi negara, ada 2 hal yang harus dimiliki yaitu ber-bahasa satu dan ber-bangsa satu, karena itulah para kaum muda zaman kemerdekaan sadar betul dan menerjemahkannya dalam Sumpah Pemuda. Ironis, cita-cita ber-bangsa satu belum juga selesai prosesnya menuju garis finish di mana legitimasinya tak tergoyahkan. Cobaan terhadap cita ini terus datang silih berganti, bahkan Papua & Aceh harus mendapat Otonomi Khusus dulu baru mau tetap menjadi bagian dari bangsa ini. Kegalauan ini semakin lengkap dengan keberadaan bahasa satu yang sekarang mulai tergerus dengan dimasukannya bahasa bangsa lain misalnya bahasa Arab & Inggris menjadi bahasa baku.
    Kenyataan di atas menjadi pelengkap tertatihnya perjalanan demokrasi di tanah air ketika berbagai prasayata berhasilnya demokrasi tidak dimiliki oleh Indonesia. Kalaupun ada maka masih banyak yang tidak mau menjadikannya prasyarat. Huntinhton mengatakan pendidikan, Lipset memprasyaratkan ekonomi, sedangkan Diamond menemukan kultur sebagai alasan keberhasilan demokrasi. Berbagai prasyarat ini tidak dipunyai oleh bangsa ini, tingkat pendidkikan rendah, kemiskinan & ketimpangan merajlela, dan kultur komunalisme, klientilisme, serta patrimonialisme. Sedangkan apa yang dikatakan Rostow bahwa Nasionalisme yang justru menjadi prasyarat penting bagi demkrasi. Namun tak bisa dipungkiri jika transisi demokrasi masih ragu dengan Nasionalisme sebagai nilai kolektif yang harus membalutnya.
    Jika memang pilihan nilai tidak lagi jatuh pada nasionalisme seperti pada Zaman Bergerak atau belum ada nilai yang bisa dijadikan pegangan kolektif demokrasi bangsa ini maka bisa dipastikan anti klimaks sedang melanda. Dan bila mental & senjata ampuh untuk meluruhkan oligarki masih belum dimiliki oleh kaum muda sekarang, sebaiknya jangan tergesa-gesa untuk masuk ke dalam kubangan kekuasaan oligarki tetapi mulailah penguatan basis-basis demokrasi dari diri sendiri agar jangan justru terjinakan ketika sudah berada di dalam lingkaran kekuasaan.

Leave a comment