MEMPERJUANGKAN INCLUSIVE CITIZENSHIP POLITICS
DITENGAH SEJARAH PANJANG KESUNYIAN RES-PUBLICA
Oleh: Airlangga Pribadi
Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Ketua Divisi Jaringan PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Universitas Airlangga
Staf Peneliti PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina
Ditengah berita-berita besar tentang keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia maupun kesuksesan perkawinan Islam dan demokrasi dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, dan capaian-capaian mengesankan lainnya. Agaknya kita lupa bahwa proses demokratisasi yang kita lalui memunculkan narasi-narasi pedih tentang perjalanan rakyat Indonesia sebagai warga negara. Dalam narasi besar kesuksesan tersebut, agaknya kita mengabaikan realitas perjalanan rakyat Indonesia selama 62 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebagai riwayat perjalanan panjang kepedihan dari manusia-manusia sebagai Warga Negara Indonesia yang tak kunjung selesai. Perjalanan kehidupan kenegaraan yang telah berlangsung selama ini dalam pergantian berbagai rezime dan orde dalam penglihatan kritis akan menghantarkan kita pada kesadaran baru begitu jauhnya jarak antara cita-cita agung kebangsaan nasional untuk mengantarkan rakyat Indonesia menjadi warga negara yang merdeka dengan aktualitas proses kenegaraan yang tengah berlangsung.
Cerita tentang problem kemiskinan dan kurang gizi, begitu rendahnya angka kesejahteraan kaum pekerja di Indonesia, pengabaian terhadap persoalan kejahatan HAM di masa lalu, pemiskinan terhadap nasib para petani dan rakyat akar rumput adalah realitas empirik yang jarang disentuh dalam pembicaraan demokrasi prosedural yang saat ini menjadi wacana dominan. Kesunyian menjadi kata-kata yang tepat untuk melukiskan realitas konkret yang dialami oleh manusiamanusia Indonesia yang tengah memperjuangkan haknya. Sebelum kita masuk dalam pembahasan tentang kewargaan yang inklusif dalam tataran diskursif, disini saya akan bercerita sedikit tentang dua kisah perjuangan untuk mempertahankan hak dari warga negara Indonesia di Jawa Timur, dari sekian banyak pembisuan terhadap berbagai kasus yang ada saat rakyat Indonesia akan merayakan 62 tahun kemerdekaan Indonesia .
Kisah pertama adalah perjuangan mempertahankan hak dari warga Porong Sidoarjo dalam kesunyian yang telah lebih dari setahun menjadi korban dari kejahatan korporasi dalam kasus lumpur Lapindo. Diantara berbagai persoalan yang muncul terkait dengan terjadinya ecocyde (penghancuran ekologis) dan perampasan hak milik, tempat tinggal dan kehidupan yang layak bagi warga negara, problem para pengungsi di Pasar Baru Porong merupakan salah satu persoalan yang luput untuk diekspos. Mereka yang mengungsi di Pasar Baru Porong dari desa Renokenongo (sekitar 500 kk dan 2500 jiwa) adalah warga yang tengah mempertahankan hak yang telah dirampas dalam kasus kejahatan korporasi Lapindo Brantas. Problem muncul saat mereka tidak sepakat dengan perjanjian 20:80 (20% akan dibayarkan terlebih dahulu; untuk kemudian 80% dibayarkan selanjutnya), dan pemberian uang kontrak selama dua tahun yang akan dibayarkan oleh korporasi terhadap korban. Mereka warga pengungsi menuntut hak 50:50.
Kesaksian saya terhadap argumen warga di pengungsian terkait dengan penolakanmereka cukup rasional dan realistis. Dengan pemberian ganti rugi 20 % dimuka, praktis mereka dalam jangka waktu setahun tidak dapat memiliki rumah yang layak dan penghidupan serta pekerjaan yang layak seperti yang telah mereka lakukan. Problema terkait dengan perspektif kewargaan inklusif muncul sehubungan dengan relasi antara negara dan masyarakat sipil terkait kasus pengungsi di Porong Sidoarjo. Proses komunikasi demokratik dan penghormatan terhadap hak-hak warga dan pengungsian diabaikan disana. Sampai pada pemberian batas akhir pengungsi bisa tinggal di Pasar Baru Porong, pemerintah tidak melakukan proses komunikasi, persuasi dan partisipasi warga yang layak dalam pengambilan kebijakan terkait dengan nasib mereka, terutama sehubungan dengan rencana pengusiran warga dari lokasi pengungsian di Pasar Baru Porong. Dalam kasus ini seluruh hak-hak pengungsi sebagai warga negara terabaikan. Mereka terlanggar hak-hak sipil dan politiknya, ketika mereka tidak memperoleh hak untuk bersuara dan didengar dalam proses tata pemerintahan serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Di sisi lain mereka juga terlanggar hak-hak sosialnya terkait dengan hak untuk mendapatkan standar penghidupan yang layak, termasuk hak untuk mendapatkan makanan yang layak di pengungsian, maupun akses pendidikan yang layak dan berbagai hak-hak sosial lainnya.
Sementara dalam konstelasi politik nasional, kita menyaksikan upaya-upaya politik sistematis dari kekuatan politik di parlemen untuk meredupkan sinar ruang publik untuk membawa kasus Lumpur Lapindo dalam perdebatan deliberasi politik di panggung parlemen. Penggembosan terhadap upaya interpelasi yang dilakukan oleh para anggota legislatif, tidak saja menunjukkan pengkhianatan terhadap responsibilitas para anggota dewan terhadap konstituennya (sampai saat ini hanya tinggal dua fraksi yaitu F-PKB dan F-PDI-P yang konsisten mengusung agenda interpelasi), namun ini menunjukkan upaya sistematis dari para politisi untuk meninggalkan para warga korban Lumpur Lapindo berjuang sendirian mempertahankan hak-haknya di arena politik dalam kesunyian panjang. Dalam konteks diskursif inclusive citizenship, kondisi ini memperlihatkan bagaimana arena pelembagaan politik demokrasi dan pembicaraan politik dalam interaksi pilar-pilar trias politika kita bersifat eksklusif, berjarak dan tidak terbuka terhadap agendaagenda fundamental kewargaan.
Kisah kedua adalah kisah tragis tentang pelanggaran HAM berat yang dialami oleh warga petani di desa Alas Tlogo Pasuruan ketika mereka mempertahankan hak atas tanahnya dan diserang oleh aparat militer. Empat petani dan dua warga tewas tertembak. Pada awalnya kita menyaksikan berbagai elemen warga, baik dari LSM, intelektual dan politisi legislatif hadir dan mempertanyakan kasus tersebut. Kisah ini pelan-pelan meredup, saat Komnas HAM tidak menyatakan kasus Alas Tlogo sebagai bentuk pelanggaran HAM berat oleh Negara hanya pelanggaran HAM serius. Artinya Komnas HAM sebagai lembaga terhormat dalam tata kelembagaan bernegara kita “mempeti es” kan kasus ini dan tidak ingin terlibat penuh dalam upaya mendampingi warga Alas Tlogo untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.
Diskursus Kewargaan Inklusif
Sehubungan dengan diskursus inclusive citizenship, ruang publik yang terbuka dan politik nation-state, adalah benar yang dikatakan oleh Bung Hatta pada tahun 1957 bahwa revolusi kita menang dalam menegakkan kebenaran baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. Sampai saat ini apa yang diuraikan oleh Muhammad Hatta masih relevan dengan kondisi bangsa kita sekarang. Pelaksanaan cita-cita kita untuk membentuk masyarakat yang berbasis pada kesetaraan, kesejahteraan bersama dan penghormatan terhadap kemajemukan masih jauh dari berhasil. Penelaahan terhadap problem berbangsa dan bernegara ini dapat kita mulai dari proses demokratisasi yang tengah berjalan di republik ini. Ingatan sejarah kebangsaan kita telah menorehkan satu kata yang mewakili karakter kewargaan inklusif yang akan kita perjuangkan dalam aktualitas kehidupan bernegara kita, yaitu kata “Merdeka!”
Merdeka merupakan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta Mahardhika yaitu level terhormat dari para Bhiksu Budha dan Pendeta Hindu untuk menunjukkan kehormatan status sosial, kemuliaan martabat, otonomi diri dan kebebasan. Para intelegensia dan tokoh-tokoh pergerakan saat itu menggunakan kata merdeka sebagai sebuah imajinasi kolektif yang menandai arah pergerakan kemerdekaan Indonesia dan posisi dari warganegara dalam republik yang akan diperjuangkan. Dengan kata tersebut mereka memperjuangkan kesetaraan, kehormatan derajat dan status social yang tinggi dari seluruh rakyat Indonesia (Yudi Latif 2005).
Berbicara tentang diskursus kewargaan adalah berbicara tentang status tiap-tiap orang sebagai anggota dari Republik Indonesia. Hal ini mengandaikan interaksi yang berlangsung dalam hubungan antara individu, masyarakat dan Negara dalam arena politik Indonesia. Ketika Merdeka dalam pengertian, kesetaraan, kehormatan derajat, kualitas hidup yang layak dan kebebasan politik menjadi tujuan bersama, maka pembicaran tentang kewargaan inklusif tidak saja meliputi makna menjadi warga Indonesia, namun juga kreasi kolektif untuk membentuk ruang dan arena untuk merealisasikan kualitas-kualitas kemerdekaan tersebut dan hak serta tanggung jawab menjadi warga Negara dan komunitas politik di dalam Republik Indonesia. Berpijak pada basis gagasan inclusive citizenship di Indonesia yang berangkat dari pengertian merdeka inilah, selanjutnya tulisan ini akan menafsirkan dan memikirkan kembali (rethinking) term tersebut dalam berbagai elemen yang tampil dalam diskursus tentang kewargaan yaitu sehubungan Pertama, dengan posisi hak dan tanggung jawab dalam konstruk kewargaan inklusif di Indonesia. Kedua, terkait dengan perdebatan tentang persoalan politics of recognition dalam ketegangan wacana identity politics dan politics of difference.
Artifisialitas Politik dan Hak-Hak Warga
Berangkat dari penafsiran terhadap kata mahardhika yang difahami sebagai kesetaraan dalam status sosial, kebebasan politik dan otonomi, dan kesejahteraan tingkst kualitas hidup bagi seluruh warga negara; maka pengertian kewargaan inklusif di Indonesia merangkum dan mengintegrasikan ketiga hak-hak fundamental warganegara yang telah lama menjadi perdebatan dalam filsafat politik modern yaitu antara hak sipil, politik, dan sosial. Sebelum kita membahas lebih lanjut kepada konstruksi tentang hak-hak tersebut dalam wacana kewargaan inklusif di Indonesia, maka kita akan sedikit menyoroti perdebatan diskursus tentang hak dalam perspektif kaum neoliberal dan kalangan marxis terlebih dahulu.
Para pendukung gagasan neo-liberal berangkat dari fondasi pemikiran bahwa diskursus hak berakar dari kebebasan individu, dimana hak-hak sipil dan politik terkait dengan hak sipil yaitu kebebasan untuk berekspresi, berbicara, beribadah dan berasosiasi; serta hak-hak politik yaitu hak untuk memilih secara fair dan berpartisipasi dalam arena politik sebagai hak yang bersifat inheren dalam diri manusia sehingga harus difasilitasi dalam konstruk kehidupan bernegara.
Aktualisasi hak-hak tersebut merupakan bentuk dari pengakuan sebagai warga dalam sebuah institusi politik (polity). Dalam pemikiran para pembela liberalisme klasik mulai dari John Locke, Adam Smith, John Stuart Mill sampai ke Isaiah Berlin kebebasan individu memiliki nilai yang sakral. Individu memiliki hak-hak alamiah untuk hidup, bebas dan memiliki hak milik. Pandangan ini diterjemahkan dalam bentuk hak-hak sipil dan politik untuk menjamin kebebasan diri dan bebas dari intervensi dari luar, separasi ruang privat dan publik serta kebebasan dalam ranah ekonomi yang memanifes dalam keutamaan pasar bebas yang harus berjalan tanpa intervensi dari kekuatan eksternal (Ian Adams 1993).
Berakar pada penekanan hak-hak sipil dan politik serta keutamaan pasar bebas sebagai hak-hak alamiah yang dimiliki setiap individu inilah maka konsep kebebasan dan wacana tentang hak-hak warganegara dalam pandangan filsafat neo-liberal yang memberi penekanan pada pentingnya hak-hak sipil-politik dan pasar bebas menempatkan secara kontradiktif hak-hak sosial sebagai wilayah sekunder, atau bahkan bertentangan dengannya. Menurut pemikir neo-Liberal seperti Frederick von Hayek dan Robert Nozick tampilnya hak-hak sosial tidak hanya mengintervensi dan menghancurkan mekanisme permintaan-penawaran dalam pasar bebas, namun juga mengintervensi kebebasan individu melalui kewajiban dan beban pajak yang memberatkan. Penguatan pentingnya hak-hak sosial akan menghancurkan sakralitas hak-hak individu terhadap kepemilikan.
Bahkan bagi penganut pandangan neo-liberal ekstensifikasi hak-hak social akan membangun kultur ketergantungan dari warga (Keith Faulks 1999; 2002). Sementara di sisi lain pemikiran marxis mengambil posisi yang kontradiktif berkaitan dengan hak-hak sipil-politik dan sosial dari warga negara. Pemikiran Marxis mengenai diskursus hak berangkat dari pandangan Karl Marx (1994) dalam karyanya “On The Jewish Question” yang mengkritik penekanan hak-hak kewargaan liberal yang menurutnya berada pada ranah abstrak. Bagi Marx, warga negara tidak mendapatkan hak-haknya secara hakiki meskipun dia diangkat statusnya secara politik dengan ditampilkannya hak-hak sipil dan politik dalam karena demokrasi liberal. Hal ini terjadi karena perjuangan dalam arena sipil dan politik tersebut melupakan ketidaksetaraan yang terjadi akibat dari mekanisme
ekonomi pasar bebas dan kapitalisme. Mekanisme pasar menurut Marx menghancurkan relasi sosial antar anggota warganegara sebagai komunitas.
Berangkat dari argumentasi tersebut, pemikir politik Neo-Marxist seperti Colin Hay (1996; 76) menyatakan bahwa hak-hak sipil-politik dan social-ekonomi pada dasarnya bersifat kontradiktif. Penekanan terhadap hak-hak sipil-politik akan mengabaikan pentingnya hak-hak social di ranah sosial-ekonomi. Berkebalikan dengan pandangan liberal, maka kalangan Marxist beranggapan bahwa hak-hak social-ekonomi bersifat inheren dalam kehidupan masyarakat, dimana arena politik dan hak-hak sipil-politiknya merupakan turunan saja dari dialektika yang berlangsung dalam ranah material sosial-ekonomi (Keith Faulks 2002).
Tulisan ini menempatkan pada posisi bahwa ketiga hak tersebut baik hakhak sipil, politik dan sosial bersifat integral dan komplementer daripada kontradiktif dan saling meniadakan. Mengakui adanya kontradiksi antara hak-hak sipil, politik dan sosial berarti menerima argumen dari kalangan liberal maupun neo-liberal. Upaya untuk melampaui perdebatan diantara kedua kutub pemikiran politik tersebut adalah dengan membongkar argument esensialis bahwa manusia sebagai individu memiliki hak-hak alamiah baik hak-hak sipil, politik maupun sosial.
Pandangan tentang hak-hak yang bersifat esensial dalam diri individu tidak dapat dipertahankan ketika kita menyaksikan bahwa tiap-tiap orang akan tidak mendapatkan hak-hak tersebut dalam rezime negara totalitarian, otoritarian maupun kolonialisme. Alih-alih bersifat esensial, hak setiap warga merupakan hasil dari perjuangan panjang dalam arena ruang demokrasi. Hak-hak warganegara memanifes dalam perjuangan panjang kolektif di dalam ruang publik dan pelembagaan politik yang bersifat demokratik. Hak-hak tersebut tampil dalam perjuangan agensi politik aktif dalam memperkuat dan memperdalam ruang dan arena demokrasi.
Dalam konteks inilah pemikiran Muhammad Hatta (1932) yang ia tulis dalam karyanya “Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat” pada media Daulat Ra’jat No. 12, 10 Januari 1932 menemukan relevansinya. Ketika ia bicara tentang demokrasi asli Indonesia dan rumah bagi Republik Indonesia yang mewadahi warganegara Indonesia, ia tidak menjelaskan tentang hak-hak esensial yang dimiliki Individu. Kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam pengertian Hatta pada tulisan tersebut, hak-hak tidak bersifat alamiah dan esensial dalam diri individu, namun hak tersebut merupakan hasil perjuangan warga di arena politik dan rumah demokrasi dalam praktik-praktik wicara, komunikasi dan perjuangan dalam arena politik demokrasi.
Dalam karyanya Bung Hatta menegaskan bahwa rumah bagi setiap warga Indonesia bersendi pada tiga pasal pokok yang menjadi sumber dari demokrasi Indonesia, yaitu: Pertama, cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia (proses deliberasi politik, dimana setiap persoalan yang muncul dibicarakan dalam forum dimana argumentasi, fikiran dan gagasan ditampilkan diuji dan dikritik melalui arena ruang publik yang bebas). Kedua, cita-cita massaprotest, yaitu tindakan rakyat untuk melakukan bantahan terhadap setiap kebijakan yang tidak adil bagi warganya. Ketiga, cita-cita tolong-menolong (dipopulerkan pula oleh Bung Karno sebagai gotong-royong) baik dalam arena ekonomi seperti bentuk-bentuk koperasi maupun tampilnya semangat solidaritas dan hidup dalam satu komunitas politik yang menjadi bagian penting dari tanggung jawab rakyat Indonesia.
Pandangan politik ini mendekatkan kita pada pemikiran Hannah Arendt tentang karakter artifisialitas politik dan kehidupan publik. Diskursus ekualitas politik bukanlah bagian dari watak inheren manusia maupun bagian predisposisi alamiah. Ia merupakan hasil dari prestasi kultural manusia sebagai kreasi untuk menciptakan dunia tempat manusia mengembangkan tindakan politik dan pertukaran gagasan serta komunikasi secara demokratik. Sehubungan dengan pembicaraan tentang hak-hak politik, gagasan ini membawa pada satu pemahaman bahwa hak dan kesetaraan politik bukanlah sesuatu yang secara natural dibawa manusia mendahului kontrak sosial dalam ruang politik. Ia merupakan atribut artifisial yang ia dapatkan melalui perjuangan saat ia masuk menjadi bagian dari institusi politik demokratis.
Pada sisi lain tekanan pada artifisialitas politik, yaitu politik sebagai prestasi cultural manusia memunculkan wacana pentingnya responsibilities dalam diskursus inclusive citizenship. Kesadaran akan ruang politik sebagai konstruksi manusia memunculkan akibat bahwa eksistensi, penguatan dan pendalaman arena demokrasi dalam ruang politik. Solidaritas, komitmen publik dan merawat komunitas menjadi bagian integral dalam penguatan wacana kewargaan yang inklusif. Disini wacana hak-hak warganegara berjalan seimbang dengan pentingnya tanggung jawab dan solidaritas publik, sesuatu yang dalam pemahaman artifisialitas politik dirumuskan melalui proses deliberasi politik yang berkelanjutan (sustainable deliberation politics) bersama warganegara. Pandangan akan sifat artifisialitas hak-hak, kesetaraan politik dan tanggung jawab ini membawa pada beberapa akibat penting. Pertama, ketika pembicaraan tentang kesetaraan dan hak-hak ditempatkan sebagai konstruksi manusia dalam ruang demokratis, bukan lagi hak-hak esensial dan natural yang melekat dalam individu, maka kita dapat keluar dari jebakan ideologis neo-liberal yang membawa pandangan tentang naturalitas hak manusia sebagai pembenar bagi pembatasan ruang politik dan penempatan pasar bebas sebagai prinsip pengelolaan masyarakat yang dominan. Argumen tentang artifisialitas politik memfasilitasi bagi pemahaman akan hak-hak warganegara sebagai sesuatu yang bersifat komplementer, integral dan berlangsung sebagai konstruksi dari kreasi politik manusia untuk menguatkan komunitas politik demokrasi.
Politik Kepedulian dalam Keragaman
Pendasaran terhadap artifisialitas politik juga membawa akibat pada penguatan sifat inklusifitas kewargaan. Dengan mengakui politik sebagai sesuatu yang artifisial dan konstruktif dan bukan esensial, maka diskursus tentang kewargaan dijauhkan dari semangat-semangat parokialisme dan fanatisisme yang mewujud dalam politik tribalisme, identitas agama maupun rasialitas. Identitas agama, etnis maupun ras tidak dapat dimasukkan sebagai dasar keanggotaan dalam komunitas politik. Tiap-tiap orang ketika masuk menjadi bagian dari komunitas politik ikatan tersebut tidak dapat dibangun berbasis atribut-atribut identitas parokial (etnis, agama, ras) yang melekat dalam dirinya. Mengingat bahwa attachment terhadap identitas-identitas parokial kerapkali memprovokasi barbarisme politik dan penolakan terhadap kesetaraan. Masuknya komunalisme dalam arena politik dan ruang publik dapat mengganggu imparsialitas dalam kehidupan publik.
Ketika tiap-tiap kelompok semakin terikat dalam kesadaran tribus-politik, maka politik dimaknai dalam arah yang sangat reduktif bukan sebagai seni untuk memahami yang lain dalam puspa-ragamnya, namun sebagai arena perang cultural dimana kemenangan kelompok identitas satu terhadap identitas-identitas lainnya menjadi jalan bagi proses penguasaan kultur dominant diatas kelompok-kelompok identitas kultural lainnya. Ruang publik justru menjadi arena bagi penggelaran politics of nemesis (politik permusuhan), daripada memfasilitasi terbangunnya solidaritas keragaman dalam tatanan polis yang inklusif. Dalam gemuruh hasrat pertarungan politik identitas, maka tatanan politik demokrasi menjadi limbung, kebencian terhadap yang lain dan penguatan sentimen tribalisme menghancurkan makna demokrasi sebagai jalan untuk menganyam bangun dialog dan saling pemahaman terhadap yang lain. Salah satu contoh dari kebangkitan politik identitas yang berpotensi meruntuhkan arena ruang publik yang bebas dapat kita temui dalam fenomena kebangkitan politik identitas agama saat ini. Beberapa manifestasi dari politik identitas agama dalam praksis politiknya telah mengkonstruksikan politics of hostility (politik permusuhan) dalam perjumpaannya dengan yang lain, baik di dalam konteks konstruksi wacana politik global maupun arena politik lokal.
Penolakan terhadap politik identitas dalam wacana kewargaan inklusif, tidak sama dengan penolakan terhadap pengakuan terhadap politik keragaman dalam inclusive citizenship. Dengan menggunakan pandangan dari Iris Marion Young (1999) tentang politics of difference, dalam bingkai politik keragaman diferensiasi kelompok lebih dimaknai dalam konteks relasi posisi subyek dalam lokalitasnya (local subject position) dihadapan hierarki struktur sosial, daripada atribut nilai-nilai esensial yang melekat dalam identitas tiap-tiap kelompok dan membedakannya dengan yang lain. Dalam perspektif politik keragaman, setiap kelompok sosial eksis dalam konteks relasi struktur sosial yang ditandai oleh adanya hierarkhi dan ketimpangan. Setiap struktur sosial menyediakan keterbatasan dan kesempatan yang mengkondisikan setiap subyek politik untuk melakukan aktivitas politik dalam hubungannya dengan yang lain maupun lingkungan sosialnya.
Kehidupan sosial terhampar dalam berbagai arena sosial yang dibentuk oleh struktur relasi kuasa, akses kepada alokasi sumber daya, dan hegemoni cultural yang membentuk kultur dominant. Dalam konteks batasan struktur inilah kontestasi politik dan pertarungan kuasa berlangsung, dan menempatkan tiap-tiap agensi sosial dalam posisi yang berbeda dalam hubungannya dengan struktur social yang memposisikan dirinya. Suatu kelompok sosial tertentu berada pada posisi yang diuntungkan terkait dengan konteks struktur sosial yang eksis, sementara kelompok yang lain berada pada posisi yang dirugikan dan mengalami eksklusi dan marjinalisasi sosial.
Proses-proses marjinalisasi, diskriminasi dan eksploitasi berlangsung dalam lintasan kelas, ras, gender, etnisitas maupun agama. Namun demikian kita tidak dapat menempatkan politik identitas sebagai acuan dalam memahami posisi setiap agensi dalam hierakhi relasi sosial yang berlangsung. Mengingat bukanlah atribut identitas esensial yang mengikatkan masing-masing agensi sosial dalam tiap kelompok, namun posisi partikular mereka dihadapan struktur sosial yang menjadi faktor menentukan. Dalam konteks batasan yang dibentuk oleh struktur social inilah posisi dari setiap agensi politik terbentuk, namun demikian ia memiliki otonomi untuk menentukan pilihan bagi aksi politik yang akan dilakukan. Setiap agensi politik dapat membangun relasi sosial yang kompleks, memahami posisi dirinya dan membangun perspektif berdasarkan pengalaman diri, dan membangun alternatif-alternatif aksi politik untuk membentuk dan mempengaruhi kondisi yang dihadapinya.
Sebagai contoh ikatan seseorang sebagai bagian dari korban lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo misalnya tidaklah didefinisikan atas atribut identitas kelompok, sentimen perasaan kolektif, maupun karakter kultural esensial yang mempersatukannya. Posisi sosial mereka dibentuk oleh konfigurasi relasional antara pemerintah dan korporasi dan warga.. Dalam konteks realitas politik Indonesia saat ini misalnya solidaritas dan aksi kolektif kaum korban lumpur tidak ditentukan oleh identitas maupun kultur esensial yang melekat dalam kelas pekerja, namun posisi partikular kaum pengungsi sangat ditentukan oleh kebijakan publik negara, relasi konfiguratif pengusaha-penguasa di level elite politik dan dinamika arena politik untuk menempatkan kasus ini dalam sinar ruang publik.
Pada sisi lain akar dari bentuk-bentuk opresi, dominasi dan diskriminasi tersebut dapat kita temukan pada fenomena kebangkitan politik identitas seperti yang tampil dalam kasus merebaknya fundamentalisme Islam. Artikulasi politik identitas yang pada awalnya bergerak dari posisi subaltern, dalam kelanjutannya dapat membangun diskursus-diskursus dominatif berbasis pada nilai-nilai patriarkhi dan penolakan terhadap hak-hak minoritas. Memori traumatik yang menempatkan mereka pada posisi subyek partikular sebagai kelompok yang tertindas mereka bawa sebagai bagian dari klaim sejarah untuk mendapatkan posisi istimewa saat ini.
Hal ini terjadi karena anggota dari kelompok-kelompok tersebut merasa terikat dengan atribut-atribut formal identitas dan nilai serta kultur esensial yang harus diperjuangkan sebagai kultur dominant dalam arena politik negara. Loyalitas tunggal terhadap identitas politik tertentu telah mengabaikan suatu kelompok untuk memiliki perspektif yang lebih membebaskan dan mampu melihat yang lain dalam posisi yang setara dan berbasis pada etika kepedulian.
Dengan menempatkan keagenan subyek dalam konteks local subject position dihadapan hierarkhi struktur sosial yang ada, hal ini memungkinkan kita untuk tidak melihat posisi tiap-tiap orang tidak dalam batasan sekat-sekat identitas yang kaku. Menurut Iris Marion Young (1999; 392) pemahaman agen politik dalam perspektif posisi particular mereka dalam relasi sosial, maka kita dapat menemukan pola-pola intersectionality dari posisi setiap subyek. Dalam konteks ini misalnya seorang perempuan berlatar belakang muslim-ahmadiyah yang berakar sosial dari kelas buruh miskin dalam formasi sosial masyarakat patriarkhi-kapitalistik di daerah didominasi oleh rezime pemaknaan Islam berperspektif fundamentalis, maka ia mengalami proses eksklusi sosial secara berlipat-lipat. Posisi dia sebagai perempuan mengalami peminggiran dari tatanan sosial patriarkhi yang menegakkan formalisasi syari’ah Islam, sementara pada posisi sosialnya sebagai kelas buruh miskin, dia mengalami proses eksploitasi sosial-ekonomi, sementara afinitas dia dengan Islam Ahmadiyah menempatkannya dalam posisi marjinal dan tidak diakui oleh mainstream pandangan Islam. Ekslusi dan marjinalisasi dalam realitas sosial berjalan tidak secara searah namun terbangun dalam konteks proses hierarkhi dan dominasi yang mengambil banyak bentuk.
Seperti diutarakan oleh Iris Marion Young (1999; 394) Pandangan akan kompleksitas relasional yang terbangun dalam konteks struktur sosial yang dominatif ini memungkinkan bagi kita untuk membangun berbagai bentuk cara untuk memperjuangkan pola-pola komunikatif demokratik yang beragam. Proses eksklusi sosial yang dihadapi oleh tiap-tiap kelompok baik dalam konteks dominasi politik, peminggiran dari akses terhadap alokasi sumber daya, maupun praktek hegemoni dari kultur dominan beserta pengalaman spesifik dari setiap subyek dan perspektif pengetahuan yang menjadi orientasi mereka untuk bertindak memberi kesempatan untuk membangun proses-proses dialog dari para agensi politik yang berada pada posisi sub-altern.
Penafsiran berbasis posisi dari tiap-tiap subyek dalam struktur sosial seperti yang ditawarkan oleh wacana politik keragaman ini, lebih memberikan keterbukaan dan menjanjikan proses komunikasi yang bebas daripada perspektif politik identitas yang eksklusif dan tertutup. Politik keragaman yang memperjuangkan keadilan berbasis posisi loca subject position menghindarkan kita dari politik balkanisasi yang memecah-mecah kelompok dalam pulau-pulau insular identitasnya namun lebih memberikan peluang untuk menimbang perspektif dari tiap-tiap kelompok yang berada pada posisi subaltern dan marjinal dalam konteks relasi sosial yang berlangsung.
Akhirul Kalam
Akhirnya tulisan ini sampai pada pemahaman bahwa perjuangan mengakhiri derita seratus tahun kesunyian nasib rakyat Indonesia (meminjam istilah Gabriel Garcia Marques) dapat dimulai dengan mengungkap sinar terang ruang public dalam arena politik demokrasi. Sensitivitas kekuatan politik dan publik dalam mengangkat agenda-agenda politik rakyat akar rumput disertai dengan pendalaman proses demokrasi tidak saja secara prosedural, namun juga secara deliberatif memiliki makna penting bagi pemuliaan harkat warga Indonesia, Merdeka!
REFERENSI
Adams, Ian. 1993. Political Ideologies Today. Yogyakarta. Qalam
Blakeley, Georgina dan Valerie Bryson. 2002. Contemporary Political Concepts: A
Critical Introduction. Pluto Press.
d’Enteves, Maurizio Passerin. 2003. Filsafat Politik Hannah Arendt. Yogyakarta.
Qalam.
Faulks, Keith. 1999. Political Sociology: A Critical Introduction. Edibrugh.
Hatta, Muhammad. 1998. Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan.
Jakarta. LP3ES.
Young, Iris Marion.1999. Difference as a Resource of Democratic Communication
dalam Deliberative Democracy: Essay on Reason and Politics. Edited by
James Bohman and William Rehg. Massachusetts. MIT Press.
Filed under: Democracy and Politics | Leave a comment »