Modal Sosial Demokrasi

Modal Sosial Demokrasi

Novri Susan

Sosiolog Universitas Airlangga

@2008

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/modal-sosial-demokrasi-2.html

Tidak sedikit artis-artis yang sudah cukup tenar beralih profesi sebagai politisi. Sebagian mereka sukses sebagian lagi masih timbul tenggelam. Sebut saja para artis yang sukses di Indonesia seperti Rano Karno, Dede Yusuf, sampai Marissa Haque. Para pengamat politik sebagian setuju (tidak masalah), namun sebagian lain pesimis. Persepsi umum melihat para artis terbiasa hidup enak, nongkrong di kafe sampai pagi, bekerja menghibur orang dengan keahlian suara atau tubuhnya. Sebaliknya di tingkat ideal politisi adalah pekerjaan yang serius. Perlu pengetahuan yang cukup mengenai good governance, perlu teliti terhadap laporan statistik kemiskinan, dan sensitif terhadap dinamika kekuasaan. Kehidupan sehari-hari artis dan politisi jelas berbeda.

Kedua identitas ini memiliki dunia hidup (lebenswelt) yang tidak sama. Lantas apakah para artis yang berpindah profesi menjadi politisi bisa menciptakan praktek ideal politisi; berdialog tentang pembangunan dengan masyarakat, bernegosiasi dengan lawan politik, sampai menulis laporan panjang mengenai kebijakan negara?

Justifikasi Teoritis

Jika kita adalah penganut teori sistem Parsonian, artis yang beralih menjadi politisi tidak memberi banyak rasa pesimis. Teori ini mempercayai bahwa praktek sosial selalu mengikuti nilai dan norma yang mengakar dalam setiap institusi dimana individu tinggal menjalankannya. Ada sifat ‘koersif’ dari setiap institusi tersebut terhadap individu. Para artis yang menjadi politisi bisa mengikuti dalil ini bahwa institusi politik akan bekerja secara otomatis dalam membentuk praktek sosial mereka. Perangkat nilai dan norma dalam institusi politik telah tersedia dan tinggal memanfaatkannya. Terlebih lagi fakta politik Indonesia menyediakan institusi politik demokratis menyediakan norma dan nilai-nilai yang cenderung mudah diabsorbsi karena sifat fleksibilitasnya.

Teori pembelajaran sosial (social learning theory) dari Albert Bandura (1977) memberi fundamen justifikasi dalam soal kapasitas subyektif. Proposisi teori ini mengakui bahwa sifat individu adalah selalu belajar dari proses kontak sosial. Individu dalam institusi baru akan mempelajari dari praktek-praktek yang telah tersedia dari mereka yang sudah mapan. Bandura menyebutnya sebagai proses reproduksi perilaku (reproduction of behavior). Tentu saja para artis yang menjadi politisi akan mengikuti pola praktek politik dari orang-orang yang berada dalam organisasi politik yang sama.

Teori sistem dan pembelajaran sosial cukup menjadi landasan pijak para artis untuk menjadi politisi. Walaupun demikian pesimisme sebagian publik adalah fakta sosial yang harus dipertimbangkan. Contoh buruk Joseph Estrada di Filipina adalah satu hal menonjol mengenai perilaku artis yang tidak bisa berganti begitu saja. Namun pesimisme ini tentu saja tidak berhak melarang transfer profesi, dari artis menjadi politisi. Ada sistem lain yang harus bekerja menangani pesimisme ini tanpa harus menciderai nilai kebebasan dari demokrasi.

Modal Sosial

Sistem demokrasi di Indonesia di tingkat formal bisa disebut cukup ideal. Bangunan struktur politik di tingkat pusat dan daerah yang bersumber dari konsep trias politica Montesquieu cukup mapan. Walaupun demikian kita semua setuju bahwa demokrasi Indonesia masih mencari jalan menjadi demokrasi yang terkonsolidasikan. Konsolidasi demokrasi yang ditandai secara ideal oleh kuatnya penegakan hukum, berjalannya sistem deliberasi, dan kepercayaan sosial terhadap nilai-nilai demokratis masih belum terealisasikan.

Para politisi lebih asik dengan norma politik kelompok masing-masing daripada norma politik demokrasi yang dikonstitusikan bersama. Hal ini merupakan akar berbagai praktek politik kotor para politisi yang menciderai rakyat seperti praktek korupsi di berbagai institusi negara dan pembuatan kebijakan anti rakyat. Fakta ini memperjelas kemungkinan bahwa artis yang menjadi politisi baru akan menciptakan reproduksi praktek politik yang menyakiti rakyat. Reproduksi perilaku politik dari para mantan artis menjadi ancaman tersendiri bagi rakyat, mengingat kini banyak artis yang menjadi politisi. Kesempatan mereka bekerja di dunia pembuat kebijakan sangat besar karena popularitas mereka memungkinkan mereka mendapat perhatian dalam pemilu legislatif dan eksekutif.

Pada kondisi inilah masyarakat memiliki kepentingan untuk membentuk praktek politik ideal para politisi, termasuk politisi yang sebelumnya artis. Walaupun demikian kapasitas masyarakat dalam membentuk praktek politik para politisi dipengaruhi oleh seberapa besar modal sosial yang ada. Artinya seberapa besar kualitas dan kuantitas berbagai asosiasi masyarakat melakukan proses politik melalui institusi politik demokrasi yang telah tersedia. Proses politik yang mengawasi terus pelaksanaan hukum oleh aparatur yudikatif, menegosiasi kebijakan pembangunan di lembaga legislatif, dan ikut mendesain dan melaksanakan pembangunan bersama lembaga eksekutif. Singkatnya modal sosial membentuk civic engagement yang bisa mempengaruhi terciptanya praktek politik ideal politisi dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya.

Berkaitan dengan fakta hijrahnya para artis menjadi politisi, dalam negara demokrasi tidak perlu dianggap sebagai batu sandungan. Setiap individu memiliki hak berpartisipasi dalam politik di negeri ini. Yang harus dikuatirkan adalah sejauh mana masyarakat mampu mengoperasikan sistem ideal demokrasi, menginsitutisionalisaikan berbagai nilai dan normanya, sehingga terbentuk praktek ideal politisi di negara demokrasi. Untuk itu memperkuat modal sosial dalam konteks membentuk praktek ideal politisi perlu jadi pikiran bersama. Langkah selanjutnya adalah bagaimana menciptakan dan memperkuat modal sosial ini (*).