Modal Sosial Demokrasi

Modal Sosial Demokrasi

Novri Susan

Sosiolog Universitas Airlangga

@2008

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/modal-sosial-demokrasi-2.html

Tidak sedikit artis-artis yang sudah cukup tenar beralih profesi sebagai politisi. Sebagian mereka sukses sebagian lagi masih timbul tenggelam. Sebut saja para artis yang sukses di Indonesia seperti Rano Karno, Dede Yusuf, sampai Marissa Haque. Para pengamat politik sebagian setuju (tidak masalah), namun sebagian lain pesimis. Persepsi umum melihat para artis terbiasa hidup enak, nongkrong di kafe sampai pagi, bekerja menghibur orang dengan keahlian suara atau tubuhnya. Sebaliknya di tingkat ideal politisi adalah pekerjaan yang serius. Perlu pengetahuan yang cukup mengenai good governance, perlu teliti terhadap laporan statistik kemiskinan, dan sensitif terhadap dinamika kekuasaan. Kehidupan sehari-hari artis dan politisi jelas berbeda.

Kedua identitas ini memiliki dunia hidup (lebenswelt) yang tidak sama. Lantas apakah para artis yang berpindah profesi menjadi politisi bisa menciptakan praktek ideal politisi; berdialog tentang pembangunan dengan masyarakat, bernegosiasi dengan lawan politik, sampai menulis laporan panjang mengenai kebijakan negara?

Justifikasi Teoritis

Jika kita adalah penganut teori sistem Parsonian, artis yang beralih menjadi politisi tidak memberi banyak rasa pesimis. Teori ini mempercayai bahwa praktek sosial selalu mengikuti nilai dan norma yang mengakar dalam setiap institusi dimana individu tinggal menjalankannya. Ada sifat ‘koersif’ dari setiap institusi tersebut terhadap individu. Para artis yang menjadi politisi bisa mengikuti dalil ini bahwa institusi politik akan bekerja secara otomatis dalam membentuk praktek sosial mereka. Perangkat nilai dan norma dalam institusi politik telah tersedia dan tinggal memanfaatkannya. Terlebih lagi fakta politik Indonesia menyediakan institusi politik demokratis menyediakan norma dan nilai-nilai yang cenderung mudah diabsorbsi karena sifat fleksibilitasnya.

Teori pembelajaran sosial (social learning theory) dari Albert Bandura (1977) memberi fundamen justifikasi dalam soal kapasitas subyektif. Proposisi teori ini mengakui bahwa sifat individu adalah selalu belajar dari proses kontak sosial. Individu dalam institusi baru akan mempelajari dari praktek-praktek yang telah tersedia dari mereka yang sudah mapan. Bandura menyebutnya sebagai proses reproduksi perilaku (reproduction of behavior). Tentu saja para artis yang menjadi politisi akan mengikuti pola praktek politik dari orang-orang yang berada dalam organisasi politik yang sama.

Teori sistem dan pembelajaran sosial cukup menjadi landasan pijak para artis untuk menjadi politisi. Walaupun demikian pesimisme sebagian publik adalah fakta sosial yang harus dipertimbangkan. Contoh buruk Joseph Estrada di Filipina adalah satu hal menonjol mengenai perilaku artis yang tidak bisa berganti begitu saja. Namun pesimisme ini tentu saja tidak berhak melarang transfer profesi, dari artis menjadi politisi. Ada sistem lain yang harus bekerja menangani pesimisme ini tanpa harus menciderai nilai kebebasan dari demokrasi.

Modal Sosial

Sistem demokrasi di Indonesia di tingkat formal bisa disebut cukup ideal. Bangunan struktur politik di tingkat pusat dan daerah yang bersumber dari konsep trias politica Montesquieu cukup mapan. Walaupun demikian kita semua setuju bahwa demokrasi Indonesia masih mencari jalan menjadi demokrasi yang terkonsolidasikan. Konsolidasi demokrasi yang ditandai secara ideal oleh kuatnya penegakan hukum, berjalannya sistem deliberasi, dan kepercayaan sosial terhadap nilai-nilai demokratis masih belum terealisasikan.

Para politisi lebih asik dengan norma politik kelompok masing-masing daripada norma politik demokrasi yang dikonstitusikan bersama. Hal ini merupakan akar berbagai praktek politik kotor para politisi yang menciderai rakyat seperti praktek korupsi di berbagai institusi negara dan pembuatan kebijakan anti rakyat. Fakta ini memperjelas kemungkinan bahwa artis yang menjadi politisi baru akan menciptakan reproduksi praktek politik yang menyakiti rakyat. Reproduksi perilaku politik dari para mantan artis menjadi ancaman tersendiri bagi rakyat, mengingat kini banyak artis yang menjadi politisi. Kesempatan mereka bekerja di dunia pembuat kebijakan sangat besar karena popularitas mereka memungkinkan mereka mendapat perhatian dalam pemilu legislatif dan eksekutif.

Pada kondisi inilah masyarakat memiliki kepentingan untuk membentuk praktek politik ideal para politisi, termasuk politisi yang sebelumnya artis. Walaupun demikian kapasitas masyarakat dalam membentuk praktek politik para politisi dipengaruhi oleh seberapa besar modal sosial yang ada. Artinya seberapa besar kualitas dan kuantitas berbagai asosiasi masyarakat melakukan proses politik melalui institusi politik demokrasi yang telah tersedia. Proses politik yang mengawasi terus pelaksanaan hukum oleh aparatur yudikatif, menegosiasi kebijakan pembangunan di lembaga legislatif, dan ikut mendesain dan melaksanakan pembangunan bersama lembaga eksekutif. Singkatnya modal sosial membentuk civic engagement yang bisa mempengaruhi terciptanya praktek politik ideal politisi dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya.

Berkaitan dengan fakta hijrahnya para artis menjadi politisi, dalam negara demokrasi tidak perlu dianggap sebagai batu sandungan. Setiap individu memiliki hak berpartisipasi dalam politik di negeri ini. Yang harus dikuatirkan adalah sejauh mana masyarakat mampu mengoperasikan sistem ideal demokrasi, menginsitutisionalisaikan berbagai nilai dan normanya, sehingga terbentuk praktek ideal politisi di negara demokrasi. Untuk itu memperkuat modal sosial dalam konteks membentuk praktek ideal politisi perlu jadi pikiran bersama. Langkah selanjutnya adalah bagaimana menciptakan dan memperkuat modal sosial ini (*).

Jebakan Kohabitasi Politik

Jebakan Kohabitasi Politik

AIRLANGGA PRIBADI

 

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/jebakan-kohabitasi-politik-3.html

Staf Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga,

Ketua Divisi Jaringan PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Lemlit Universitas Airlangga

 

Dua pekan lalu,Michael Steven Fish,salah seorang profesor ilmu politik asal UC Berkeley melakukan perjalanan riset ke Jakarta. Dalam wawancara menarik dengan 15 orang elite politisi,aktivis gerakan,dan para akademisi ternama,satu konsensus jawaban ditemukan berkaitan dengan pernyataan tentang karakter kepemimpinan Presiden SBY, yaitu watak kepemimpinan politik yang tidak tanggap terhadap keadaan dan kerap kali ragu dalam mengambil setiap putusan.

Ketika mewawancarai salah seorang politisi ternama,mantan ketua umum partai terbesar di Indonesia muncul komentar menarik tentang kepemimpinan SBY yang cenderung ingin membahagiakan kepentingan setiap kekuatan politik pendukungnya.Ironisnya,saat bersamaan,hal itu berisiko mengecewakan aspirasi publik yang mengharapkan kepemimpinan yang tegas dan responsif.

 

Salah satu penyebab dari lambannya kepemimpinan SBY adalah tidak dapat dilepaskan dari strategi kohabitasi politik yang dijalankannya.Kesadaran akan lemahnya mesin politik yang digunakannya dalam parlemen (Partai Demokrat) dan kepentingan untuk memperluas dan memperkuat jejaring kekuasaannya dalam wilayah legislatif membuat SBY harus menghitung dukungan dari setiap partai-partai koalisinya.

Hal itu tercermin,misalnya dari profil kabinet pemerintahan SBY yang mencerminkan kuatnya kepentingan politik pendukung daripada manifestasi dari zaken kabinet. Pada satu sisi,hal itu menguntungkan kekuasaan eksekutif karena begitu rimbunnya dukungan politik yang didapatkan dari kekuatan politik di parlemen (Pemerintahan SBY-JK memperoleh total dukungan 414 suara di parlemen dari Partai Golkar, Demokrat, PPP, PKS, PKB, PBB, PKPI dan menyisakan hanya 136 suara oposisi).

 

Namun,pada sisi yang lain, logika kohabitasi ini juga menjadi penghalang SBY dalam mengambil tindakan tegas dan sigap dalam merespons persoalan. Dalam kasus reshuffle kabinet misalnya, Presiden terlihat enggan untuk melakukan putusan berani mengganti beberapa pembantunya yang memiliki kapabilitas lemah dan menggantinya dengan para profesional, teknokrat,maupun intelektual yang andal dalam menangani persoalan.

Sementara itu,pada kasus yang lain, logika kohabitasi menghalanginya untuk mengambil kebijakan yang adil, terkait berbagai persoalan yang menyangkut kerugian moral dan material yang dialami publik baik akibat kelalaian korporasi maupun negara.Semuanya terjadi karena kasus tersebut melibatkan elite politik di seputar pemerintahan SBY sehingga sikap tegas mengenai persoalan tersebut sangat terkait dengan fluktuasi dukungan politik bagi pemerintahannya.

 

Meluruhnya Dukungan
Pemahaman akan logika kohabitasi politik inilah yang membuat Presiden terkesan tidak tegas dan gamang, sedangkan fokus pada hal tersebut telah melupakan bahwa dirinya terpilih dalam pemilihan umum secara langsung dengan konstituen lebih dari 60% suara pemilih.

 

Dalam situasi politik yang memperlihatkan lemahnya kepercayaan publik terhadap partai politik (survei LSI Maret 2007 dengan sampel 1238 responden dengan tingkat sampling eror kurang lebih 3% memperlihatkan bahwa 65% responden memandang tindakan partai politik tidak mencerminkan kepentingan dan aspirasi warga) maka tendensi untuk membahagiakan hanya pendukungnya dari lapisan kekuatan politik tersebut akan berisiko pada krisis legitimasi terhadap pemerintah dari konstituen akar rumput yang tengah kecewa terhadap perilaku elite politik, terutama dari partai politik dan tidak menemukan kepemimpinan politik yang kuat dan tanggap terhadap persoalan-persoalan publik dari pemerintahan saat ini.

 

Fokus semata-mata mengencangkan tali dukungan dari kekuatan politik dan keraguan untuk mengambil tindakan yang tegas mengakibatkan begitu banyaknya persoalan sosial-ekonomi yang tidak tergarap.Kemiskinan, bahaya busung lapar,krisis pekerjaan, daya beli publik yang rendah, lemahnya sektor usaha kecil dan menengah, serta ancaman krisis pangan yang tengah di depan mata.

 

Persoalan-persoalan tersebut memerlukan realisasi solusi reformasi sosial ekonomi yang konkret dan mendasar.Ketika pemerintahan SBY gagal menjawab persoalanpersoalan sosial tersebut,tidak hanya popularitas dan dukungan politik terhadap dirinya akan menurun,lebih dari itu performa dan proses konsolidasi demokrasi juga dapat terancam.

 

Kepemimpinan Responsif
Salah satu studi perbandingan ekonomi-politik yang dilakukan oleh Joan M.Nelson (1995) dalam karyanya Linkages Between Economics and Politics menunjukkan kegagalan eksperimentasi awal pemerintahan demokratik supremasi sipil di Bolivia, Brasil dan Argentina, serta Eropa Timur, khususnya Lituania,merupakan akibat gagalnya pemerintah merealisasikan pada saat yang tepat reformasi ekonomi dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat.

 

Sementara itu,di negara-negara Eropa Timur dan Rusia,munculnya kelaskelas baru pengangguran dan pemiskinan kelas menengah akibat kebijakan liberalisasi ekonomi yang setengah hati tanpa disertai strong leadershipmenjadi penghalang utama keberhasilan demokratisasi.

Saat ini,pemerintahan SBY menghadapi bahaya yang sama seperti yang dihadapi rezim-rezim transisi demokrasi,yang tidak secara cepat dan responsif merealisasikan reformasi ekonomi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi.Survei LSI pada Maret 2007 lalu memperlihatkan bagaimana tingkat kepuasan publik terhadap SBY telah menurun drastis yang diperlihatkan dengan meluruhnya dukungan publik hingga di bawah 50%.

 

Sementara itu,tercatat hanya 23% responden yang menganggap bahwa pembangunan ekonomi tahun ini lebih baik daripada tahun yang lalu.Jajak pendapat tersebut memperlihatkan bagaimana popularitas SBY-JK yang semakin terpuruk apabila dibandingkan dengan dukungan awal publik terhadap kepemimpinan politik yang pada awalnya begitu besar (lebih dari 60% pemilih).

Padahal,waktu yang tersisa untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintahan tidaklah banyak.Dua setengah tahun masa pemerintahan yang tersisa setidaknya hanya menyisakan kurang dari satu tahun masa yang efektif –dari awal 2007 sampai awal 2008– bagi pemerintahan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan rakyat.

 

Semenjak ufuk fajar 2008 mendatang adalah masa-masa berseminya kembali manuver-manuver politik menuju pemilihan umum, sehingga pemerintahan pada saat itu akan bekerja tidak efektif. Dalam sedikit waktu yang tersisa untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik ini,mau tidak mau pemerintah haruslah mampu mengambil tindakantindakan tegas yang mampu memompa semangat rakyat dan merealisasikan reformasi ekonomi bagi persoalan-persoalan riil sosial ekonomi rakyat.

 

Untuk menjawab tantangan tersebut, pertama, SBY pada skala terbatas harus melonggarkan konsentrasinya pada logika kohabitasi politik dan langsung turun ke bawah menyapa rakyat dengan tindakantindakan konkret dalam meyakinkan rakyat untuk melampaui krisis ekonomi yang dihadapi bangsa ini.

Sejarah politik Amerika dapat dijadikan contoh, ketika negara Paman Sam dilanda resesi ekonomi berat pada era 1930-an, saat itu Presiden AS Franklin Delano Roosevelt (FDR) menyapa dan memotivasi publik melalui media radio untuk tidak kehilangan semangat dalam menghadapi zaman yang berat, serta mengambil tindakan-tindakan ekonomi-politik yang konkret, menggandeng para kapitalis kelas kakap,dan menghidupkan kembali semangat kaum papa yang hampir pupus untuk bekerja dan mengejar kemakmuran.

 

Seluruh rakyat Amerika di bawah kepemimpinan FDR bersama dalam solidaritas untuk menggerakkan perekonomian dengan mendorong proyek-proyek padat karya seperti membuat jalan raya,menekan angka pengangguran,dan menyediakan lapangan kerja secara masif. Ketegasan sikap dan realisasi kebijakan dalam waktu yang tepat adalah kunci bagi keberhasilan pemerintahan Indonesia di bawah SBY untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Pujangga politik Italia Niccolo Machiavelli telah mengingatkan kepada para elite politisi bahwa negara yang lemah dapat dilihat dari pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil putusan.Yang lamban itulah terbukti selalu merugikan bagi semua pihak.(*)

MEMPERJUANGKAN INCLUSIVE CITIZENSHIP POLITICS

MEMPERJUANGKAN INCLUSIVE CITIZENSHIP POLITICS

DITENGAH SEJARAH PANJANG KESUNYIAN RES-PUBLICA

 

Oleh:  Airlangga Pribadi

Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Ketua Divisi Jaringan PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Universitas Airlangga

Staf Peneliti PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina

 

Ditengah berita-berita besar tentang keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia maupun kesuksesan perkawinan Islam dan demokrasi dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, dan capaian-capaian mengesankan lainnya. Agaknya kita lupa bahwa proses demokratisasi yang kita lalui memunculkan narasi-narasi pedih tentang perjalanan rakyat Indonesia sebagai warga negara. Dalam narasi besar kesuksesan tersebut, agaknya kita mengabaikan realitas perjalanan rakyat Indonesia selama 62 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebagai riwayat perjalanan panjang kepedihan dari manusia-manusia sebagai Warga Negara Indonesia yang tak kunjung selesai. Perjalanan kehidupan kenegaraan yang telah berlangsung selama ini dalam pergantian berbagai rezime dan orde dalam penglihatan kritis akan menghantarkan kita pada kesadaran baru begitu jauhnya jarak antara cita-cita agung kebangsaan nasional untuk mengantarkan rakyat Indonesia menjadi warga negara yang merdeka dengan aktualitas proses kenegaraan yang tengah berlangsung.

Cerita tentang problem kemiskinan dan kurang gizi, begitu rendahnya angka kesejahteraan kaum pekerja di Indonesia, pengabaian terhadap persoalan kejahatan HAM di masa lalu, pemiskinan terhadap nasib para petani dan rakyat akar rumput adalah realitas empirik yang jarang disentuh dalam pembicaraan demokrasi prosedural yang saat ini menjadi wacana dominan. Kesunyian menjadi kata-kata yang tepat untuk melukiskan realitas konkret yang dialami oleh manusiamanusia Indonesia yang tengah memperjuangkan haknya. Sebelum kita masuk dalam pembahasan tentang kewargaan yang inklusif dalam tataran diskursif, disini saya akan bercerita sedikit tentang dua kisah perjuangan untuk mempertahankan hak dari warga negara Indonesia di Jawa Timur, dari sekian banyak pembisuan terhadap berbagai kasus yang ada saat rakyat Indonesia akan merayakan 62 tahun kemerdekaan Indonesia .

Kisah pertama adalah perjuangan mempertahankan hak dari warga Porong Sidoarjo dalam kesunyian yang telah lebih dari setahun menjadi korban dari kejahatan korporasi dalam kasus lumpur Lapindo. Diantara berbagai persoalan yang muncul terkait dengan terjadinya ecocyde (penghancuran ekologis) dan perampasan hak milik, tempat tinggal dan kehidupan yang layak bagi warga negara, problem para pengungsi di Pasar Baru Porong merupakan salah satu persoalan yang luput untuk diekspos. Mereka yang mengungsi di Pasar Baru Porong dari desa Renokenongo (sekitar 500 kk dan 2500 jiwa) adalah warga yang tengah mempertahankan hak yang telah dirampas dalam kasus kejahatan korporasi Lapindo Brantas. Problem muncul saat mereka tidak sepakat dengan perjanjian 20:80 (20% akan dibayarkan terlebih dahulu; untuk kemudian 80% dibayarkan selanjutnya), dan pemberian uang kontrak selama dua tahun yang akan dibayarkan oleh korporasi terhadap korban. Mereka warga pengungsi menuntut hak 50:50.

Kesaksian saya terhadap argumen warga di pengungsian terkait dengan penolakanmereka cukup rasional dan realistis. Dengan pemberian ganti rugi 20 % dimuka, praktis mereka dalam jangka waktu setahun tidak dapat memiliki rumah yang  layak dan penghidupan serta pekerjaan yang layak seperti yang telah mereka lakukan. Problema terkait dengan perspektif kewargaan inklusif muncul sehubungan dengan relasi antara negara dan masyarakat sipil terkait kasus pengungsi di Porong Sidoarjo. Proses komunikasi demokratik dan penghormatan terhadap hak-hak warga dan pengungsian diabaikan disana. Sampai pada pemberian batas akhir pengungsi bisa tinggal di Pasar Baru Porong, pemerintah tidak melakukan proses komunikasi, persuasi dan partisipasi warga yang layak dalam pengambilan kebijakan terkait dengan nasib mereka, terutama sehubungan dengan rencana pengusiran warga dari lokasi pengungsian di Pasar Baru Porong. Dalam kasus ini seluruh hak-hak pengungsi sebagai warga negara terabaikan. Mereka terlanggar hak-hak sipil dan politiknya, ketika mereka tidak memperoleh hak untuk bersuara dan didengar dalam proses tata pemerintahan serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Di sisi lain mereka juga terlanggar hak-hak sosialnya terkait dengan hak untuk mendapatkan standar penghidupan yang layak, termasuk hak untuk mendapatkan makanan yang layak di pengungsian, maupun akses pendidikan yang layak dan berbagai hak-hak sosial lainnya.

Sementara dalam konstelasi politik nasional, kita menyaksikan upaya-upaya politik sistematis dari kekuatan politik di parlemen untuk meredupkan sinar ruang publik untuk membawa kasus Lumpur Lapindo dalam perdebatan deliberasi politik di panggung parlemen. Penggembosan terhadap upaya interpelasi yang dilakukan oleh para anggota legislatif, tidak saja menunjukkan pengkhianatan terhadap responsibilitas para anggota dewan terhadap konstituennya (sampai saat ini hanya tinggal dua fraksi yaitu F-PKB dan F-PDI-P yang konsisten mengusung agenda interpelasi), namun ini menunjukkan upaya sistematis dari para politisi untuk meninggalkan para warga korban Lumpur Lapindo berjuang sendirian mempertahankan hak-haknya di arena politik dalam kesunyian panjang. Dalam konteks diskursif inclusive citizenship, kondisi ini memperlihatkan bagaimana arena pelembagaan politik demokrasi dan pembicaraan politik dalam interaksi pilar-pilar trias politika kita bersifat eksklusif, berjarak dan tidak terbuka terhadap agendaagenda fundamental kewargaan.

Kisah kedua adalah kisah tragis tentang pelanggaran HAM berat yang dialami oleh warga petani di desa Alas Tlogo Pasuruan ketika mereka mempertahankan hak atas tanahnya dan diserang oleh aparat militer. Empat petani dan dua warga tewas tertembak. Pada awalnya kita menyaksikan berbagai elemen warga, baik dari LSM, intelektual dan politisi legislatif hadir dan mempertanyakan kasus tersebut. Kisah ini pelan-pelan meredup, saat Komnas HAM tidak menyatakan kasus Alas Tlogo sebagai bentuk pelanggaran HAM berat oleh Negara hanya pelanggaran HAM serius. Artinya Komnas HAM sebagai lembaga terhormat dalam tata kelembagaan bernegara kita “mempeti es” kan kasus ini dan tidak ingin terlibat penuh dalam upaya mendampingi warga Alas Tlogo untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.

Diskursus Kewargaan Inklusif

Sehubungan dengan diskursus inclusive citizenship, ruang publik yang terbuka dan politik nation-state, adalah benar yang dikatakan oleh Bung Hatta pada tahun 1957 bahwa revolusi kita menang dalam menegakkan kebenaran baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. Sampai saat ini apa yang diuraikan oleh Muhammad Hatta masih relevan dengan kondisi bangsa kita sekarang. Pelaksanaan cita-cita kita untuk membentuk masyarakat yang berbasis pada kesetaraan, kesejahteraan bersama dan penghormatan terhadap kemajemukan masih jauh dari berhasil. Penelaahan terhadap problem berbangsa dan bernegara ini dapat kita mulai dari proses demokratisasi yang tengah berjalan di republik ini. Ingatan sejarah kebangsaan kita telah menorehkan satu kata yang mewakili karakter kewargaan inklusif yang akan kita perjuangkan dalam aktualitas kehidupan bernegara kita, yaitu kata “Merdeka!”

Merdeka merupakan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta Mahardhika yaitu level terhormat dari para Bhiksu Budha dan Pendeta Hindu untuk menunjukkan kehormatan status sosial, kemuliaan martabat, otonomi diri dan kebebasan. Para intelegensia dan tokoh-tokoh pergerakan saat itu menggunakan kata merdeka sebagai sebuah imajinasi kolektif yang menandai arah pergerakan kemerdekaan Indonesia dan posisi dari warganegara dalam republik yang akan diperjuangkan. Dengan kata tersebut mereka memperjuangkan kesetaraan, kehormatan derajat dan status social yang tinggi dari seluruh rakyat Indonesia (Yudi Latif 2005).

Berbicara tentang diskursus kewargaan adalah berbicara tentang status tiap-tiap orang sebagai anggota dari Republik Indonesia. Hal ini mengandaikan interaksi yang berlangsung dalam hubungan antara individu, masyarakat dan Negara dalam arena politik Indonesia. Ketika Merdeka dalam pengertian, kesetaraan, kehormatan derajat, kualitas hidup yang layak dan kebebasan politik menjadi tujuan bersama, maka pembicaran tentang kewargaan inklusif tidak saja meliputi makna menjadi warga Indonesia, namun juga kreasi kolektif untuk membentuk ruang dan arena untuk merealisasikan kualitas-kualitas kemerdekaan tersebut dan hak serta tanggung jawab menjadi warga Negara dan komunitas politik di dalam Republik Indonesia. Berpijak pada basis gagasan inclusive citizenship di Indonesia yang berangkat dari pengertian merdeka inilah, selanjutnya tulisan ini akan menafsirkan dan memikirkan kembali (rethinking) term tersebut dalam berbagai elemen yang tampil dalam diskursus tentang kewargaan yaitu sehubungan Pertama, dengan posisi hak dan tanggung jawab dalam konstruk kewargaan inklusif di Indonesia. Kedua, terkait dengan perdebatan tentang persoalan politics of recognition dalam ketegangan wacana identity politics dan politics of difference.

Artifisialitas Politik dan Hak-Hak Warga

Berangkat dari penafsiran terhadap kata mahardhika yang difahami sebagai kesetaraan dalam status sosial, kebebasan politik dan otonomi, dan kesejahteraan tingkst kualitas hidup bagi seluruh warga negara; maka pengertian kewargaan inklusif di Indonesia merangkum dan mengintegrasikan ketiga hak-hak fundamental warganegara yang telah lama menjadi perdebatan dalam filsafat politik modern yaitu antara hak sipil, politik, dan sosial. Sebelum kita membahas lebih lanjut kepada konstruksi tentang hak-hak tersebut dalam wacana kewargaan inklusif di Indonesia, maka kita akan sedikit menyoroti perdebatan diskursus tentang hak dalam perspektif kaum neoliberal dan kalangan marxis terlebih dahulu.

 

Para pendukung gagasan neo-liberal berangkat dari fondasi pemikiran bahwa diskursus hak berakar dari kebebasan individu, dimana hak-hak sipil dan politik terkait dengan hak sipil yaitu kebebasan untuk berekspresi, berbicara, beribadah dan berasosiasi; serta hak-hak politik yaitu hak untuk memilih secara fair dan berpartisipasi dalam arena politik sebagai hak yang bersifat inheren dalam diri manusia sehingga harus difasilitasi dalam konstruk kehidupan bernegara.

Aktualisasi hak-hak tersebut merupakan bentuk dari pengakuan sebagai warga dalam sebuah institusi politik (polity). Dalam pemikiran para pembela liberalisme klasik mulai dari John Locke, Adam Smith, John Stuart Mill sampai ke Isaiah Berlin kebebasan individu memiliki nilai yang sakral. Individu memiliki hak-hak alamiah untuk hidup, bebas dan memiliki hak milik. Pandangan ini diterjemahkan dalam bentuk hak-hak sipil dan politik untuk menjamin kebebasan diri dan bebas dari intervensi dari luar, separasi ruang privat dan publik serta kebebasan dalam ranah ekonomi yang memanifes dalam keutamaan pasar bebas yang harus berjalan tanpa intervensi dari kekuatan eksternal (Ian Adams 1993).

Berakar pada penekanan hak-hak sipil dan politik serta keutamaan pasar bebas sebagai hak-hak alamiah yang dimiliki setiap individu inilah maka konsep kebebasan dan wacana tentang hak-hak warganegara dalam pandangan filsafat neo-liberal yang memberi penekanan pada pentingnya hak-hak sipil-politik dan pasar bebas menempatkan secara kontradiktif hak-hak sosial sebagai wilayah sekunder, atau bahkan bertentangan dengannya. Menurut pemikir neo-Liberal seperti Frederick von Hayek dan Robert Nozick tampilnya hak-hak sosial tidak hanya mengintervensi dan menghancurkan mekanisme permintaan-penawaran dalam pasar bebas, namun juga mengintervensi kebebasan individu melalui kewajiban dan beban pajak yang   memberatkan. Penguatan pentingnya hak-hak sosial akan menghancurkan sakralitas hak-hak individu terhadap kepemilikan.

Bahkan bagi penganut pandangan neo-liberal ekstensifikasi hak-hak social akan membangun kultur ketergantungan dari warga (Keith Faulks 1999; 2002). Sementara di sisi lain pemikiran marxis mengambil posisi yang kontradiktif berkaitan dengan hak-hak sipil-politik dan sosial dari warga negara. Pemikiran Marxis mengenai diskursus hak berangkat dari pandangan Karl Marx (1994) dalam karyanya “On The Jewish Question” yang mengkritik penekanan hak-hak kewargaan liberal yang menurutnya berada pada ranah abstrak. Bagi Marx, warga negara tidak mendapatkan hak-haknya secara hakiki meskipun dia diangkat statusnya secara politik dengan ditampilkannya hak-hak sipil dan politik dalam karena demokrasi liberal. Hal ini terjadi karena perjuangan dalam arena sipil dan politik tersebut melupakan ketidaksetaraan yang terjadi akibat dari mekanisme

ekonomi pasar bebas dan kapitalisme. Mekanisme pasar menurut Marx menghancurkan relasi sosial antar anggota warganegara sebagai komunitas.

Berangkat dari argumentasi tersebut, pemikir politik Neo-Marxist seperti Colin Hay (1996; 76) menyatakan bahwa hak-hak sipil-politik dan social-ekonomi pada dasarnya bersifat kontradiktif. Penekanan terhadap hak-hak sipil-politik akan mengabaikan pentingnya hak-hak social di ranah sosial-ekonomi. Berkebalikan dengan pandangan liberal, maka kalangan Marxist beranggapan bahwa hak-hak social-ekonomi bersifat inheren dalam kehidupan masyarakat, dimana arena politik dan hak-hak sipil-politiknya merupakan turunan saja dari dialektika yang berlangsung dalam ranah material sosial-ekonomi (Keith Faulks 2002).

Tulisan ini menempatkan pada posisi bahwa ketiga hak tersebut baik hakhak sipil, politik dan sosial bersifat integral dan komplementer daripada kontradiktif dan saling  meniadakan. Mengakui adanya kontradiksi antara hak-hak sipil, politik dan sosial berarti menerima argumen dari kalangan liberal maupun neo-liberal. Upaya untuk melampaui perdebatan diantara kedua kutub pemikiran politik tersebut adalah dengan membongkar argument esensialis bahwa manusia sebagai individu memiliki hak-hak alamiah baik hak-hak sipil, politik maupun sosial.

Pandangan tentang hak-hak yang bersifat esensial dalam diri individu tidak dapat dipertahankan ketika kita menyaksikan bahwa tiap-tiap orang akan tidak mendapatkan hak-hak tersebut dalam rezime negara totalitarian, otoritarian maupun kolonialisme. Alih-alih bersifat esensial, hak setiap warga merupakan hasil dari perjuangan panjang dalam arena ruang demokrasi. Hak-hak warganegara memanifes dalam perjuangan panjang kolektif di dalam ruang publik dan pelembagaan politik yang bersifat demokratik. Hak-hak tersebut tampil dalam perjuangan agensi politik aktif dalam memperkuat dan memperdalam ruang dan arena demokrasi.

Dalam konteks inilah pemikiran Muhammad Hatta (1932) yang ia tulis dalam karyanya “Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat” pada media Daulat Ra’jat No. 12, 10 Januari 1932 menemukan relevansinya. Ketika ia bicara tentang demokrasi asli Indonesia dan rumah bagi Republik Indonesia yang mewadahi warganegara Indonesia, ia tidak menjelaskan tentang hak-hak esensial yang dimiliki Individu. Kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam pengertian Hatta pada tulisan tersebut, hak-hak tidak bersifat alamiah dan esensial dalam diri individu, namun hak tersebut merupakan hasil perjuangan warga di arena politik dan rumah demokrasi dalam praktik-praktik wicara, komunikasi dan perjuangan dalam arena politik demokrasi.

Dalam karyanya Bung Hatta menegaskan bahwa rumah bagi setiap warga Indonesia bersendi pada tiga pasal pokok yang menjadi sumber dari demokrasi Indonesia, yaitu: Pertama, cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia (proses deliberasi politik, dimana setiap persoalan yang muncul dibicarakan dalam forum dimana argumentasi, fikiran dan gagasan ditampilkan diuji dan dikritik melalui arena ruang publik yang bebas). Kedua, cita-cita massaprotest, yaitu tindakan rakyat untuk melakukan bantahan terhadap setiap kebijakan yang tidak adil bagi warganya. Ketiga, cita-cita tolong-menolong (dipopulerkan pula oleh Bung Karno sebagai gotong-royong) baik dalam arena ekonomi seperti bentuk-bentuk koperasi maupun tampilnya semangat solidaritas dan hidup dalam satu komunitas politik yang menjadi bagian penting dari tanggung jawab rakyat Indonesia.

Pandangan politik ini mendekatkan kita pada pemikiran Hannah Arendt  tentang karakter artifisialitas politik dan kehidupan publik. Diskursus ekualitas politik bukanlah bagian dari watak inheren manusia maupun bagian predisposisi alamiah. Ia merupakan hasil dari prestasi kultural manusia sebagai kreasi untuk menciptakan dunia tempat manusia mengembangkan tindakan politik dan pertukaran gagasan serta komunikasi secara demokratik. Sehubungan dengan pembicaraan tentang hak-hak politik, gagasan ini membawa pada satu pemahaman bahwa hak dan kesetaraan politik bukanlah sesuatu yang secara natural dibawa manusia mendahului kontrak sosial dalam ruang politik. Ia merupakan atribut artifisial yang ia dapatkan melalui perjuangan saat ia masuk menjadi bagian dari institusi politik demokratis.

Pada sisi lain tekanan pada artifisialitas politik, yaitu politik sebagai prestasi cultural manusia memunculkan wacana pentingnya responsibilities dalam diskursus inclusive citizenship. Kesadaran akan ruang politik sebagai konstruksi manusia memunculkan akibat bahwa eksistensi, penguatan dan pendalaman arena demokrasi dalam ruang politik. Solidaritas, komitmen publik dan merawat komunitas menjadi bagian integral dalam penguatan wacana kewargaan yang inklusif. Disini wacana hak-hak warganegara berjalan seimbang dengan pentingnya tanggung jawab dan solidaritas publik, sesuatu yang dalam pemahaman artifisialitas politik dirumuskan melalui proses deliberasi politik yang berkelanjutan (sustainable deliberation politics) bersama warganegara. Pandangan akan sifat artifisialitas hak-hak, kesetaraan politik dan tanggung jawab ini membawa pada beberapa akibat penting. Pertama, ketika pembicaraan tentang kesetaraan dan hak-hak ditempatkan sebagai konstruksi manusia dalam ruang demokratis, bukan lagi hak-hak esensial dan natural yang melekat dalam individu, maka kita dapat keluar dari jebakan ideologis neo-liberal yang membawa pandangan tentang naturalitas hak manusia sebagai pembenar bagi pembatasan ruang politik dan penempatan pasar bebas sebagai prinsip pengelolaan masyarakat yang dominan. Argumen tentang artifisialitas politik memfasilitasi bagi pemahaman akan hak-hak warganegara sebagai sesuatu yang bersifat komplementer, integral dan berlangsung sebagai konstruksi dari kreasi politik manusia untuk menguatkan komunitas politik demokrasi.

 

Politik Kepedulian dalam Keragaman

Pendasaran terhadap artifisialitas politik juga membawa akibat pada penguatan sifat inklusifitas kewargaan. Dengan mengakui politik sebagai sesuatu yang artifisial dan konstruktif dan bukan esensial, maka diskursus tentang kewargaan dijauhkan dari semangat-semangat parokialisme dan fanatisisme yang mewujud dalam politik tribalisme, identitas agama maupun rasialitas. Identitas agama, etnis maupun ras tidak dapat dimasukkan sebagai dasar keanggotaan dalam komunitas politik. Tiap-tiap orang ketika masuk menjadi bagian dari komunitas politik ikatan tersebut tidak dapat dibangun berbasis atribut-atribut identitas parokial (etnis, agama, ras) yang melekat dalam dirinya. Mengingat bahwa attachment terhadap identitas-identitas parokial kerapkali memprovokasi barbarisme politik dan penolakan terhadap kesetaraan. Masuknya komunalisme dalam arena politik dan ruang publik dapat mengganggu imparsialitas dalam kehidupan publik.

Ketika tiap-tiap kelompok semakin terikat dalam kesadaran tribus-politik, maka politik dimaknai dalam arah yang sangat reduktif bukan sebagai seni untuk memahami yang lain dalam puspa-ragamnya, namun sebagai arena perang cultural dimana kemenangan kelompok identitas satu terhadap identitas-identitas lainnya menjadi jalan bagi proses penguasaan kultur dominant diatas kelompok-kelompok identitas kultural lainnya. Ruang publik justru menjadi arena bagi penggelaran politics of nemesis (politik permusuhan), daripada memfasilitasi terbangunnya solidaritas keragaman dalam tatanan polis yang inklusif. Dalam gemuruh hasrat pertarungan politik identitas, maka tatanan politik demokrasi menjadi limbung, kebencian terhadap yang lain dan penguatan sentimen tribalisme menghancurkan makna demokrasi sebagai jalan untuk menganyam bangun dialog dan saling pemahaman terhadap yang lain. Salah satu contoh dari kebangkitan politik identitas yang berpotensi meruntuhkan arena ruang publik yang bebas dapat kita temui dalam fenomena kebangkitan politik identitas agama saat ini. Beberapa manifestasi dari politik identitas agama dalam praksis politiknya telah mengkonstruksikan politics of hostility (politik permusuhan) dalam perjumpaannya dengan yang lain, baik di dalam konteks konstruksi wacana politik global maupun arena politik lokal.

Penolakan terhadap politik identitas dalam wacana kewargaan inklusif, tidak sama dengan penolakan terhadap pengakuan terhadap politik keragaman dalam inclusive citizenship. Dengan menggunakan pandangan dari Iris Marion Young (1999) tentang politics of difference, dalam bingkai politik keragaman diferensiasi kelompok lebih dimaknai dalam konteks relasi posisi subyek dalam lokalitasnya (local subject position) dihadapan hierarki struktur sosial, daripada atribut nilai-nilai esensial yang melekat dalam identitas tiap-tiap kelompok dan membedakannya dengan yang lain. Dalam perspektif politik keragaman, setiap kelompok sosial eksis dalam konteks relasi struktur sosial yang ditandai oleh adanya hierarkhi dan ketimpangan. Setiap struktur sosial menyediakan keterbatasan dan kesempatan yang mengkondisikan setiap subyek politik untuk melakukan aktivitas politik dalam hubungannya dengan yang lain maupun lingkungan sosialnya.

Kehidupan sosial terhampar dalam berbagai arena sosial yang dibentuk oleh struktur relasi kuasa, akses kepada alokasi sumber daya, dan hegemoni cultural yang membentuk kultur dominant. Dalam konteks batasan struktur inilah kontestasi politik dan pertarungan kuasa berlangsung, dan menempatkan tiap-tiap agensi sosial dalam posisi yang berbeda dalam hubungannya dengan struktur social yang memposisikan dirinya. Suatu kelompok sosial tertentu berada pada posisi yang diuntungkan terkait dengan konteks struktur sosial yang eksis, sementara kelompok yang lain berada pada posisi yang dirugikan dan mengalami eksklusi dan marjinalisasi sosial.

Proses-proses marjinalisasi, diskriminasi dan eksploitasi berlangsung dalam lintasan kelas, ras, gender, etnisitas maupun agama. Namun demikian kita tidak dapat menempatkan politik identitas sebagai acuan dalam memahami posisi setiap agensi dalam hierakhi relasi sosial yang berlangsung. Mengingat bukanlah atribut identitas esensial yang mengikatkan masing-masing agensi sosial dalam tiap kelompok, namun posisi partikular mereka dihadapan struktur sosial yang menjadi faktor menentukan. Dalam konteks batasan yang dibentuk oleh struktur social inilah posisi dari setiap agensi politik terbentuk, namun demikian ia memiliki otonomi untuk menentukan pilihan bagi aksi politik yang akan dilakukan. Setiap agensi politik dapat membangun relasi sosial yang kompleks, memahami posisi dirinya dan membangun perspektif berdasarkan pengalaman diri, dan membangun alternatif-alternatif aksi politik untuk membentuk dan mempengaruhi kondisi yang dihadapinya.

Sebagai contoh ikatan seseorang sebagai bagian dari korban lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo misalnya tidaklah didefinisikan atas atribut identitas kelompok, sentimen perasaan kolektif, maupun karakter kultural esensial yang mempersatukannya. Posisi sosial mereka dibentuk oleh konfigurasi relasional antara pemerintah dan korporasi dan warga.. Dalam konteks realitas politik Indonesia saat ini misalnya solidaritas dan aksi kolektif kaum korban lumpur tidak ditentukan oleh identitas maupun kultur esensial yang melekat dalam kelas pekerja, namun posisi partikular kaum pengungsi sangat ditentukan oleh kebijakan publik negara, relasi konfiguratif pengusaha-penguasa di level elite politik dan dinamika arena politik untuk menempatkan kasus ini dalam sinar ruang publik.

Pada sisi lain akar dari bentuk-bentuk opresi, dominasi dan diskriminasi tersebut dapat kita temukan pada fenomena kebangkitan politik identitas seperti yang tampil dalam kasus merebaknya fundamentalisme Islam. Artikulasi politik identitas yang pada awalnya bergerak dari posisi subaltern, dalam kelanjutannya dapat membangun diskursus-diskursus dominatif berbasis pada nilai-nilai patriarkhi dan penolakan terhadap hak-hak minoritas. Memori traumatik yang menempatkan mereka pada posisi subyek partikular sebagai kelompok yang tertindas mereka bawa sebagai bagian dari klaim sejarah untuk mendapatkan posisi istimewa saat ini.

 

Hal ini terjadi karena anggota dari kelompok-kelompok tersebut merasa terikat dengan atribut-atribut formal identitas dan nilai serta kultur esensial yang harus diperjuangkan sebagai kultur dominant dalam arena politik negara. Loyalitas tunggal terhadap identitas politik tertentu telah mengabaikan suatu kelompok untuk memiliki perspektif yang lebih membebaskan dan mampu melihat yang lain dalam posisi yang setara dan berbasis pada etika kepedulian.

Dengan menempatkan keagenan subyek dalam konteks local subject position dihadapan hierarkhi struktur sosial yang ada, hal ini memungkinkan kita untuk tidak melihat posisi tiap-tiap orang tidak dalam batasan sekat-sekat identitas yang kaku. Menurut Iris Marion Young (1999; 392) pemahaman agen politik dalam perspektif posisi particular mereka dalam relasi sosial, maka kita dapat menemukan pola-pola intersectionality dari posisi setiap subyek. Dalam konteks ini misalnya seorang perempuan berlatar belakang muslim-ahmadiyah yang berakar sosial dari kelas buruh miskin dalam formasi sosial masyarakat patriarkhi-kapitalistik di daerah didominasi oleh rezime pemaknaan Islam berperspektif fundamentalis, maka ia mengalami proses eksklusi sosial secara berlipat-lipat. Posisi dia sebagai perempuan mengalami peminggiran dari tatanan sosial patriarkhi yang menegakkan formalisasi syari’ah Islam, sementara pada posisi sosialnya sebagai kelas buruh miskin, dia mengalami proses eksploitasi sosial-ekonomi, sementara afinitas dia dengan Islam Ahmadiyah menempatkannya dalam posisi marjinal dan tidak diakui oleh mainstream pandangan Islam. Ekslusi dan marjinalisasi dalam realitas sosial berjalan tidak secara searah namun terbangun dalam konteks proses hierarkhi dan dominasi yang mengambil banyak bentuk.

Seperti diutarakan oleh Iris Marion Young (1999; 394) Pandangan akan kompleksitas relasional yang terbangun dalam konteks struktur sosial yang dominatif ini  memungkinkan bagi kita untuk membangun berbagai bentuk cara untuk memperjuangkan pola-pola komunikatif demokratik yang beragam. Proses eksklusi sosial yang dihadapi oleh tiap-tiap kelompok baik dalam konteks dominasi politik, peminggiran dari akses terhadap alokasi sumber daya, maupun praktek hegemoni dari kultur dominan beserta pengalaman spesifik dari setiap subyek dan perspektif pengetahuan yang menjadi orientasi mereka untuk bertindak memberi kesempatan untuk membangun proses-proses dialog dari para agensi politik yang berada pada posisi sub-altern.

Penafsiran berbasis posisi dari tiap-tiap subyek dalam struktur sosial seperti yang ditawarkan oleh wacana politik keragaman ini, lebih memberikan keterbukaan dan menjanjikan proses komunikasi yang bebas daripada perspektif politik identitas yang eksklusif dan tertutup. Politik keragaman yang memperjuangkan keadilan berbasis posisi loca subject position menghindarkan kita dari politik balkanisasi yang memecah-mecah kelompok dalam pulau-pulau insular identitasnya namun lebih memberikan peluang untuk menimbang perspektif dari tiap-tiap kelompok yang berada pada posisi subaltern dan marjinal dalam konteks relasi sosial yang berlangsung.

Akhirul Kalam

Akhirnya tulisan ini sampai pada pemahaman bahwa perjuangan mengakhiri derita seratus tahun kesunyian nasib rakyat Indonesia (meminjam istilah Gabriel Garcia Marques) dapat dimulai dengan mengungkap sinar terang ruang public dalam arena politik demokrasi. Sensitivitas kekuatan politik dan publik dalam mengangkat agenda-agenda politik rakyat akar rumput disertai dengan pendalaman proses demokrasi tidak saja secara prosedural, namun juga secara deliberatif memiliki makna penting bagi pemuliaan harkat warga Indonesia, Merdeka!

 

REFERENSI

Adams, Ian. 1993. Political Ideologies Today. Yogyakarta. Qalam

Blakeley, Georgina dan Valerie Bryson. 2002. Contemporary Political Concepts: A

Critical Introduction. Pluto Press.

d’Enteves, Maurizio Passerin. 2003. Filsafat Politik Hannah Arendt. Yogyakarta.

Qalam.

Faulks, Keith. 1999. Political Sociology: A Critical Introduction. Edibrugh.

Hatta, Muhammad. 1998. Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan.

Jakarta. LP3ES.

Young, Iris Marion.1999. Difference as a Resource of Democratic Communication

dalam Deliberative Democracy: Essay on Reason and Politics. Edited by

James Bohman and William Rehg. Massachusetts. MIT Press.

Pemimpin Muda dan Rekrutmen Politik

Pemimpin Muda dan Rekrutmen Politik

Dimas Oky Nugroho

(Peneliti di Pusat Kajian Transformasi Sosial (PsaTS) Universitas Airlangga) http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/pemimpin-muda-dan-rekrutmen-politik-3.html

Berkumpulnya para tokoh pemuda yang kebanyakan berlatar belakang ’’ekstra parpol’’ di halaman Gedung Arsip Nasional,Minggu (28/10) lalu,seakan menjawab desakan dan aspirasi yang semakin mencuat akhirakhir ini atas pentingnya kehadiran pemimpin muda alternatif menggantikan figur-figur lama dalam pentas politik nasional.Melalui ikrarnya,mereka bertekad untuk memperkuat proses transformasi menuju Indonesia yang lebih sejahtera dan terbebas dari berbagai bentuk keterpurukan.

Pertanyaannya,sejauh mana relevansi pertemuan dan ikrar kaum muda masyarakat sipil tersebut terhadap proses institusionalisasi demokrasi dan realitas politik yang menempatkan secara eksklusif institusi parpol dalam ’’menghadirkan’ kepemimpinan nasional? ’’Zaman Bergerak’’ vs ’’Zaman Transisi’’ Para tokoh dan aktivis pemuda 2007 ini gemas dan marah dengan kondisi Indonesia yang tak kunjung pulih dari krisis nasional. Kesejahteraan yang tak membaik, pengangguran yang meningkat, kebijakan sosial-ekonomi yang tidak prorakyat, ketergantungan dalam politik internasional, kepemimpinan nasional yang lemah, tantangan antipluralisme,korupsi yang masih saja merajalela,dan ancaman terhadap demokrasi yang selalu di depan mata. Partai politik, institusi yang menjadi penyangga proses institusionalisasi demokrasi dan seleksi kepemimpinan politik,pun menjadi sorotan utama. Parpol dinilai miskin kreasi dan prestasi; minus dalam program kerja; lemah dalam rekrutmen,inisiatif dan independensi; elitis dibanding mengakar; tak sedikit yang terjebak dalam politik komunalisme,klientalisme,dan pragmatisme politik-ekonomi.

Kondisi ’’zaman transisi’’ ini dianggap sebuah penurunan jika dibanding dengan masa pergerakan nasional awal abad ke-20,periode yang dilukiskan Takashi Shiraishi sebagai the age in motion alias ’’zaman bergerak’’. Berbagai inisiatif dan bentuk kreativitas ’’baru’’ gerakan politik mulai surat kabar,tulisan,propaganda, novel dan karya sastra; pertemuan dan rapat akbar; pendirian serikat buruh, organisasi dan partai; hingga pada aksi mogok dan pemberontakan mewarnai pergerakan yang dipelopori kaum muda bumi putra saat itu.

Puncaknya saat mereka berhasil membangun ikrar berbangsa satu dan berbahasa satu Indonesia.Dengan demikian,mereka ’’menjadi sejarah’’ karena dengan segala keterbatasannya mampu membangun apa yang disebut Ernest Renan sebagai ’’sebuah solidaritas masif yang tercipta dari penderitaan bersama”.Mereka berhasil membangun sebuah bangsa. ’’Kader-kader’’ politik muda transformatif sedemikian menjadi begitu langka pada zaman transisi saat ini.

Padahal, esensi pergerakan rakyat di era zaman bergerak masih sangat relevan di era zaman transisi.Shiraishi menjelaskan,kader-kader politik muda yang terdiri dari kelompok terpelajar bumi putra saat itu bergerak mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik yang baru,menggerakkan pikiran dan gagasan baru,dalam menghadapi kenyataan dunia yang bergerak menuju sesuatu perubahan. Tantangan yang sama sesungguhnya masih kita saksikan pada saat ini. Pasang-surut demokratisasi dan proses pembangunan ekonomi ditambah dinamika globalisasi telah memberikan kesempatan baru dan menyisakan perdebatan sekaligus tekanan baru bagi nation-stateIndonesia.

Institusionalisasi demokrasi yang diupayakan pasca Orde Baru demi menjamin hadirnya rotasi kepemimpinan dan rekrutmen politik yang sehat dan terbuka kenyataannya tak cukup mampu menghadirkan kualitas kepemimpinan dan kader politik yang mampu mempercepat perubahan dan mengawal proses demokratisasi. Kekesalan Ernesto ’’Che’’ Guevara terhadap mandeknya revolusi Congo menjadi sahih untuk kita pinjam dalam melihat kondisi Indonesia saat ini.

’’Mustahil bisa kita ’’bebaskan’’ sebuah bangsa yang tak memiliki desire to fight…”,ujar Che,di mana para pemimpinnya hanya sibuk mengejar kekuasaan dan kemewahan.Etos moral perjuangan yang menurun diperparah dengan situasi di mana,’’…organizational work is almost non-existent since the middle-rank cadres do not work,do not know how to work and inspire no confidence in anyone…”. Partai Politik dan Proses Rekrutmen Agar lebih produktif,diskusi publik tentang pemimpin muda harus diarahkan kepada peningkatan kualitas proses rekrutmen politik dan sistem kaderisasi yang berlangsung dalam tubuh partai. Sistem kaderisasi dan rotasi kepemimpinan partai harus mampu merangsang kemunculan kader dan calon pemimpin politik muda yang transformatif, ulet,dan bervisi progresif-kebangsaan.

Mempercepat konsolidasi demokrasi termasuk pemerintahan yang bersih dan efektif,memperkuat rekatan kebangsaan,serta membuka akses kesejahteraan,keberdayaan,dan keadilan bagi seluruh rakyat dapat dijadikan common platformoleh kaderkader politik muda yang tersebar untuk mendorong perubahan. Dibutuhkan penguatan sinergi dengan kalangan masyarakat sipil dan kelompok intelektual-aktivis untuk melahirkan kader dan kepemimpinan politik yang relevan dengan tuntutan zaman. Membangun pelatihan dan pendidikan politik bagi kader-kader politik sebaiknya tak hanya bertujuan agar memiliki keahlian berorganisasi dan berpartai, juga mampu mempertajam visi dan andal merajut tali rekat kebangsaan serta teknik advokasi-fasilitasi khas aktivis masyarakat sipil.Hal itu agar kepentingan serta kebutuhan masyarakat konstituen dan akar rumput dapat difasilitasi dan diperjuangkan dalam sebuah program politik yang transparan, akuntabel,efektif,dan efisien.(*)

Masyarakat Sipil dan Konsolidasi Demokrasi Daerah

Masyarakat Sipil dan Konsolidasi Demokrasi Daerah

Oleh: Novri Susan

(Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Unair)

http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/d/article/viewFile/436/396

Abstrak

“Konsolidasi demokrasi di Indonesia sangat memerlukan peran masyarakat sipil (civil society) untuk menjadi suatu sistem yang benar-benar menjamin terbentuknya negara yang memberi keadilan dan kesejaheraan rakyatnya. Peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil menjadi sangat penting ketika konsolidasi demokrasi ditandai oleh partisi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah. Sejauh mana demokrasi di daerah bisa berjalan salah satunya ditentukan oleh kiprah masyarakat sipil pada level ini. Berkaitan dengan persoalan tersebut, menjadi sangat penting untuk membahas dalam tulisan ini konsep masyarakat sipil, perkembangan di Indonesia, dan perannya dalam konsolidasi demokrasi daerah.“

Pengantar

Indonesia yang sedang memulai demokrasi, atau dalam masa menuju konsolidasi demokrasi menurut istilah Larry Diamond (2003), masih berada dalam fase transisi yang perlu terus disempurnakan di konteks keindonesiaan. Walaupun beberapa kalangan menganggap demokrasi sebagai sistem dianggap mampu berjalan dengan niscaya, menurut Diamond (1992) demokrasi juga menuntut tumbuhnya masyarakat beradab yang bersemangat, gigih dan pluralis. Tanpa satu masyarakat yang beradab demikian, demokrasi tidak akan mungkin dikembangkan dan menjadi langgeng. Pada jangkauan yang lebih jauh, demokrasi tidak akan mampu menjalankan misinya membentuk negara yang adil dan mensejahterakan rakyatnya tanpa adanya peran masyarakat sipil

Masyarakat sipil (civil society) dalam kasus negara-negara berkembang termasuk Indonesia berhadapan dengan dua persoalan. Pertama terminologi dan konsep masyarakat sipil yang masih bisa diperdebatkan diantara kalangan akademisi maupun kalangan aktivis demokrasi. Persoalan yang kedua adalah peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil dalam proses perubahan-perubahan sosial politik di Indonesia, terutama sekali pada saat demokrasi masih dalam fase transisi. Transisi demokrasi di Indonesia ditandai oleh partisi kekuasaan atau desentralisasi yang mempunyai dimensi-dimensi permasalahan kontekstual, terutama sekali berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan agenda terbentuknya local good government. Walaupun, faktanya kapasitas dan nilai’nilai demokrasi masih lemah. Sehingga, pada situasi ini civil society mempunyai peran yang strategis dalam mengawal konsolidasi demokrasi di tingkat daerah.

Konsep Masyarakat Sipil

Istilah “civil society” semenjak awal 90-an sampai saat ini masih menjadi diskursus di lingkungan akademik dan aktivis gerakan sosial. Pada saat yang sama, perubahan-perubahan sosial politik terus bergulir sebagai bagian dari terus bergeraknya dinamika antara masyarakat sipil dan negara. Istilah civil society oleh sebagai kalangan disepakati mempunyai kesamaan konsep dengan istilah masyarakat madani. Kedua istilah ini, civil society dan masyarakat madani, sebenarnya berangkat dari konteks historis yang berbeda. Civil society merupakan konsep dari sejarah Barat/Eropa. Pada sisi lain masyarakat madani merujuk pada sejarah Islam di awal penyebarannya. Walaupun demikian banyak kalangan akademis bersepakat bahwa konsep umum masyarakat Madani dan civil society mempunyai kesamaan.

Istilah civil society berasal dari bahasa latin, civilis societas. Cicero (106-43 SM) bisa jadi orang pertama yang menggunakan istilah itu untuk melihat gejala budaya perorangan dan masyarakat. Dawam Rahardjo (1999) menjelaskan bahwa Cicero menyebut masyarakat sipil sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturannya. Masyarakat seperti itu, dizaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.

Dalam penggunaan istilah modern civil society pertama kali dikembangkan di awal pencerahan Skotlandia. Salah satu pemikir pencerahan, Adam Ferguson dalam tulisan klasiknya An Essay on the History of Civil Society, menduga munculnya masyarakat sipil berkaitan dengan lahirnya pasar ekonomi modern. Masyarakat sipil juga wilayah khusus yang dicirikan oleh penyempurnaan moral dan budaya, perhatian terhadap pelaksanaan rule of law oleh pemerintahan, satu semangat publik, dan pembagian kerja (division of labor) yang kompleks (Chandhoke, 2005). Adam Ferguson dan beberapa pemikir abad pencerahan di Skotlandia mulai memisahkan antara fenomena masyarakat sipil dan negara (Hikam, 1996: 2). Masyarakat sipil dinilai merupakan fenomena munculnya kemandirian masyarakat yang berseberangan dengan negara dalam arti kritis terhadap struktur dan kebijakan negara.

Secara mendasar masyarakat sipil menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik serta kontrol terhadap kekuasaan. Dalam realitas empirisnya masyarakat sipil mengorganisasi dirinya secara independen dari negara sekaligus mempunyai landasan pengetahuan yang menjadikan mereka berbeda dari masyarakat biasa yang tidak kritis dan pasif dalam struktur sosial yang bisa jadi menindas mereka.

Masyarakat biasa (parokial) dan masyarakat sipil bisa dijelaskan dengan istilah mass society dan public society yang dikembangkan oleh C. Wright Mills (1956). Mass society adalah masyarakat yang cenderung pasif, tidak kritis terhadap kekuasaan dan pada sisi berseberangan public society merupakan masyarakat kritis, independen dan mampu mengorganisasi diri untuk melakukan tuntutan terhadap ketidakadilan. Neera Chandoke (2005) menyatakan dukungannya bahwa masyarakat sipil adalah lembaga-lembaga yang kritis terhadap Negara. Walalupun kritis terhadap negara, Diamond (2003) menekankan bahwa masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat politik yang mencakup semua aktor terogarnisasi terutama partai politik dan organisasi kampanye.

Selain kritis terhadap negara civil society mempunyai kemandirian dalam banyak hal. Bahwa civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam, 1996: 3). Larry Diamond dalam bukunya developing democracy toward consolidation (2003) menyimpulkan lebih luas bahwa masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial berorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Selanjutnya Diamond menekankan bahwa masyarakat sipil bersedia aktif secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki fungsi struktur negara, dan untuk menuntut akuntabilitas negara.

Masyarakat sipil yang kritis dan mandiri secara esensial didukung oleh orientasi pasarnya, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa tumbuh berkembang dan mendapat jaminan rasa aman ia membutuhkan perlindungan dari tatanan hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara tetapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law (Diamond, 2003). Berkaitan dengan pencirian masyarakat sipil Diamond mengajukan lima ciri masyarakat sipil. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman. Artinya, organisasi yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civic community adalah konsep yang lebih luas dan lebih sempit sekaligus: lebih luas karena ia mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial); lebih sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horizontal di seputar ikatan yang sekira mempunyai kebersamaan, kooperatif, dan saling mempercayai (Diamond, 2003: 281-283).

Persoalan mendasar lainnya setelah pendefinsian adalah siapa yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Pada level ini seringkali terjadi persoalan karena kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat seringkali menunjuk kepada kelompok yang lain bukan sebagai bagian dari masyarakat sipil tetapi sebagai masyarakat politik. Untuk menengahi ini kita bisa mengkutip pendapat Diamond bahwa masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi: ekonomi, kultural, informasi dan pendidikan, kepentingan, pembangunan, berorientasi isu, dan kewarganegaraan.

Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu pada pengertian ini, tampaknya civil society juga bisa merupakan kelas menengah. Kelas menengah oleh Hikam (1999) yang di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan kelompok-kelompok pro demokrasi,

Fakta menarik dalam diskursus mengani konsep civil society adalah munculnya wacana mandiri mengenai konsep civil society dari aktor-aktor yang berbeda. Dari laporan Lokakarya Pengukuran Indeks Kesehatan Masyarakat Sipil yang dilakukan oleh Yappika di 6 region, pada proses penentuan definisi masyarakat sipil dua region menolak definisi Civicus. Fenomena yang menarik sesungguhnya bahwa masyarakat sipil sendiri mempunyai konsepsi mengenai civil society yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik di daerah masing-masing. Artinya kita menyaksikan bahwa proses pendefinisian sangat dipengaruhi oleh konteks sosial politik masing-masing kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat sipil.

Masyarakat sipil sendiri akan bisa tumbuh berkembang dan menjadi penyeimbang negara ketika terdapat proses-proses yang sehat, keterbukaan dan partisipatif. Menurut Eisenstadt (dalam Gaffar, 1999: 180) terdapat empat komponen berkaitan dengan kemungkinan tumbuhnya masyarakat sipil; pertama adalah otonomi yang berarti sebuah civil society harus lepas sama sekali dari pengaruh Negara, apakah itu dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Kedua, akses masyarakat terhadap lembaga negara. Dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok, harus mempunyai akses terhadap agencies of the state. Artinya, individu dapat melakukan partisipasi politik dengan berbagai bentuknya, apakah dengan menghubungi pejabat (contacting), menulis pikiran di media massa, atau dengan terlibat langsung atau tidak langsung organisasi politik. Ketiga, arena publik yang otonom, dimana berbagai macam organisasi social dan politik mengatur diri mereka sendiri. Keempat, arena publik yang terbuka, yaitu arena public yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan rahasia, eksklusif dan setting yang bersifat korporatif.

Masyarakat Sipil Indonesia: Dari Otoriterianisme ke Demokrasi

Membincangkan masyarakat sipil dalam dunia modern dalam konteks keindonesiaan, kita menyadari hal itu tidak lepas dari transformasi modernitas yang mulai berlangsung pada masa kolonialisme. Masyarakat tradisional yang berbasis komunitas dan pengorganisasian tradisional mulai mengubah strategi untuk melakukan aksi-aksi aksi kritis. Bahkan kemunculan organisasi-organisai pemberdayaan keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis dan lainnya merupakan respon terhadap struktur kolonialisme. Pada dasarnya kolonialisme dan struktur kekuasaannya yang menindas merupakan rahim bagi kelompok-kelompok independen pribumi yang berusaha melakukan perlawanan kritis melalui proses pemberdayaan masyarakat maupun penolakan-penolakan kebijakan politik pemerintahan kolonial. Lahirnya Syarekat Islam (SI), Budi Utomo, Indische Party, dan berbagai kelompok di luar pemerintahan kolonial adalah beberapa contoh organisasi sipil yang kritis terhadap negara.Pada awal berdirinya Negara Indonesia demokrasi liberal seolah menjadi refleksi euphoria berbagai kelompok kepentingan pada waktu itu setelah lepas dari struktur politik kolonialisme. Multi partai sebagai landasan empiris bahwa demokrasi sedang berlangsung memberi kenyataan bahwa Indonesia sesungguhnya memulai bangsa ini dengan demokrasi. Akan tetapi situasi politik yang diciptakan oleh persaingan antar kelompok politik dengan agenda ideologis masing-masing terhadap negara menyebabkan lahirnya dekrit presiden pada 5 Juli 1959. Semenjak itu demokrasi hanya bunga hias di meja istana negara karena kekuasaan dipegang oleh presiden dengan menggunakan idiom demokrasi terpimpin sebagai kuda troya. Rezim otoriter berlanjut ke pemerintahan Orde Baru Suharto dengan menampilkan demokrasi pancasila yang tidak lebih dari depolitisasi masyarakat Indonesia.

Civil society di awal berdirinya Indonesia sesungguhnya mulai mendapatkan iklim yang tepat dan sekaligus berkembang baik pada awal demokrasi parlementer di awal berdirinya Indonesia sebagai negara bangsa pada tahun 1950-an. “Kenyataan ini tidak lepas bahwa organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebasa dan memperoleh dukungan dari warga masyarakat yang baru saja merdeka. Tambahan pula, pada periode ini, negara yang baru lahir belum mempunyai kecenderungan intervesionis, sebab kelompok elite penguasa berusaha berusaha keras mempraktikkan sistem Demokrasi Parlementer” (Hikam, 1996: 4). Akan tetapi perubahan politik yang tragis menyebabkan proses terbentuknya masyarakat sipil yang mandiri, kritis dan menjadi penyeimbang bagi negara terhenti. Ormas-ormas dan lembaga-lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan ideologi. Kenyataan ini semakin diperparah oleh rezim Soekarno yang menerapkan pemerintahan otoriter dengan memusatkan kekuasaan di tangannya melalui jargon demokrasi terpimpin. Mobilisasi massa di lingkungan masyarakat bisa dicurigai sebagai gerakan kontra revolusi.

Pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan pada strategi negara menciptakan sistem semu baik pada politik maupun ekonomi (erzats capitalism) yang sesungguhnya strategi praktik politik otoriter Suharto. Situasi ini jelas berpengaruh terhadap tumbuhnya masyarakat sipil. Intervensi negara Orde Baru terhadap proses sosial politik masyarakat dengan legitimasi hukum yang diciptakan rezim merupakan proses penyempitan ruang gerak masyarakat sipil dalam ruang public (public sphere). Dalam konteks persoalan ini, Soeharto menggunakan mekanisme carrot and sticks terhadap masyarakat dalam ruang publik yang telah ia kontrol. Artinya, siapa yang taat dan patuh akan mendapatkan bantuan maupun kemudahan akses sosial ekonomi sedangkan yang membangkang akan mendapatkan pukulan keras, ditangkap sebagai pelaku subversif.

Politik otoriter Orde Baru sesungguhnya tidak lepas dari ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang membutuhkan politik sentralisme untuk kontrol pembangunan. Pada dasawarsa awal pemerintahan Orde Baru pembangunan , lebih luas modernisasi, pada gilirannya merupakan topik fundamental bagi kalangan NGO sebagai bagian dari masyarakat sipil. Dalam situasi politik yang terkontrol oleh negara, NGO mencoba melakukan upaya penyesuaian dengan memberdayakan masyarakat berkaitan dengan modernisasi yang sedang berlangsung.

Pada era 1970-an lembaga-lembaga seperti LP3ES, LSP, Yayasan Dian Desa, Yayasan Bina Swadaya merupakan contoh gerakan NGOs Indonesia yang berorientasi integrasi masyarakat dalam pembangunan negara. Kontribusi utama mereka adalah mempromosikan modernisasi sosial ekonomi diantara kelompok-kelompok marjinal. Pada dasawarsa 80-an gerakan NGO di Indonesia semakin bervariasi, ditandai dengan munculnya gerakan yang mengkritik modernisasi yang dijadikan landasan pembangunan. Gerakan lingkungan hidup (WALHI), bantuan hukum struktural (LBH, YLBHI), gerakan konsumen (YLKI) mulai meramaikan peta bumi NGO di Indonesia. Sejak kekuasaan rezim Orde Baru, mencapai klimaksnya di tahun 1990-an gerakan CSO dan NGO semakin radikal dan bervariasi. Mereka mulai melakukan usaha reformasi kebijakan public secara structural. Pembentukan koalisi antar gerakan NGO Advokasi mulai bertumbuhan. Di bidang reformasi agrarian misalnya, KPA, AKATIGA, Bina Desa mulai mempersoalkan ketimpangan struktur penguasaan tanah dan ketimpangan distribusi income penduduk di pedesaan (Thamrin, 2001).

Pada awal keruntuhan Orde Baru isu-isu korupsi mulai menyeruak diantara hubungan masyarakat dan negara. Protes dari kalangan masyarakat sipil yang bukan hanya dari NGO, termasuk mahasiswa dan kalangan bisnis maupun media, melakukan gerakan protes mengenai korupsi dan perilaku birokrasi pemerintahan. Pada saat Orde Baru tidak mampu menjawab gerakan tersebut, masyarakat sipil semakin menyadari bahwa otoritarianisme adalah kunci dari munculnya berbagai dimensi persoalan yang menjerat Indonesia, baik dengan isu kerusakan ekologis, korupsi, ketimpangan sosial, dan demokrasi. Selanjutnya, gerakan masyarakat sipil mendorong jatuh rezim otoriter dan berusaha membentuk sistem politik demokratis dengan proses komunikasi dan kerjasama dengan eleit-elite politik maupun partai-partai politik reformis. Hasilnya adalah demokrasi bagi Indonesia, yang secara momentum dimulai dengan pemilu 1999 yang mempresentasikan persaingan politik multi partai.

Agenda demokrasi tidak hanya berhenti pada dilaksanakannya pemilu nasional. Demokrasi harus diterapkan konsisten untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Proses penyempurnaan yang dilakukan, dari periode pemerintahan BJ. Habibie, Abdurraman Wahid, Megawati dan SBY memberi kesan bahwa Indonesia serius dengan agenda demokrasi untuk menjawab berbagai persoalan bangsa. Kenyataan ini dipertegas dengan berbagai dukungan dan pujian dunia internasional terhadap Indonesia berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi.

Sistem politik demokrasi menjadi semakin mampu berjalan dengan baik ketika diberlakukan pada skala yang tidak terlalu besar. Diamond mencatat bahwa ketika gelombang ketiga (demokrasi, pen.) sekitar setengah dari negara-negara (merdeka) berukuran sangat kecil ini lebih demokratis (dibandingkan 23% negara-negara yang lebih besar). Secara keseluruhan, pada awal 1998, hampir 75 persen negara-negara yang demokratis, disbanding dengan kurang dari 60 persen negara-negara yang lebih besar (Diamond, 2003: 151).

Kenyataan inilah yang juga mendasari bagi pelimpahan demokrasi di level daerah (lokal) atau desentralisasi. Desentralisasi di Indonesia dimulai diterapkan melalui UU 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah yang selanjutnya diperbaiki dengan UU 33 Tahun 2004 dimana desentralisasi berada di tingkat pemerintahan Kabupaten/kota. Walaupun menurut Afan Gaffar (1999) Indonesia belum memiliki masyarakat sipil karena terutama sekali faktor transisi politik, perekonomian dan tingkat pendidikan masyarakat akan tetapi dengan melihat perkembangan politik yang semakin membuka ruang publik, kita bisa bisa berharap bahwa masyarakat sipil pada saat yang bersamaan melakukan proses pembentukan (penyempurnaan) dan melakukan gerakan sosial berkaitan dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berlansung.

Konsolidasi Demokrasi Daerah

Demokrasi daerah dalam implementasinya telah menghadirkan beberapa kasus persoalan yang merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan masyarakat sipil, baik persoalan yang muncul dari masyarakat maupun pemerintahan daerah. Tahap awal yang memperlihatkan persoalan konsolidasi demokrasi daerah adalah kasus pemilihan kepada daerah secara langsung (pilkadal). Pada kasus pemilihan kepala daerah secara langsung tahap pertama telah muncul persoalan-persoalan mendasar.

Pada kasus pilkada di Jawa Timur yang dilaksanakan oleh 15 daerah kabupaten/kota pada tahap pertama telah memunculkan persoalan berkaitan dengan partisipasi politik dan stabilitas sosial.

Partisipasi politik masyarakat dalam pilkada jika dihitung secara kuantitas terhitung baik. Bahkan Kabupaten Mojokerto mendapatkan rekor dari MURI (Museum Rekor Indonesia) karena berhasil mendorong partisipasi politik sampai di atas 80 persen. Akan tetapi partisipasi politik tidak hanya dihitung dari kuantitas warga dalam pencoblosan, lebih mendasar lagi adalah apakah partisipasi tersebut telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, seperti tidak adanya politik uang, ancaman dari pihak-pihak tertentu dan rasionalitas memilih. Kalangan akademik maupun NGO mensinyalir bahwa politik uang masih mungkin terjadi mengingat pilkada dilaksanakan pada saat kondisi perekonomian rakyat sangat buruk. Selain persoalan partisipasi politik, stabilitas sosial juga menjadi persoalan.

Kenyataan ini tidak lepas dari maraknya kerusuhan paska pencoblosan di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada.

Hampir di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada mengalami konflik pilkada yang melibatkan mobilisasi massa dan aksi kekerasan. Untuk daerah Surabaya terjadi mobilisasi massa besar-besaran dan sempat terjadi pengrusakan fasilitas di kantor Ketua DPRD Surabaya (Republika, 13 Juli 2005). Walaupun tingkat anarkisme massa lebih rendah dibandingkan dengan derah-darah lain seperti Gowa di Sulsel, ini tetap memberikan dampak terhadap stabilitas sosial. Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat akan menjadi budaya politik yang buruk di daerah. Elite-elite politik yang kalah pun cenderung tidak bisa menerima kekalahan mereka dan sebaliknya melakukan proses mobilisasi massa dan manuver-manuver politik yang tidak sehat.

Pada dimensi yang lain, arah konsolidasi demokrasi daerah (desentralisasi) juga menghadirkan persoalan mendasar yaitu diperlukannya pemerintahan lokal yang baik (local good government). Pemerintahan lokal pada periode desentralisasi ini mempunyai wewenang yang sangat besar dalam pengelolaan daerah. Bahkan melahirkan konstelasi persaingan atar elite-elite politik lokal, antara eksektif maupun legislative, antara bupati dan gubernur dalam membagi wilayah kekuasaan. Pada saat bersamaan, pemerintahan daerah dengan sistem baru berhadapan dengan kenyataan bahwa terdapat berbagai persoalan baik pada dimensi regulasi, organisasi dan sumberdaya manusia. Dalam kasus di Kota Madiun, masyarakat mempunyai persepsi kurang baik terhadap kinerja pemerintahan kota. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berubahnya kondisi perekonomian, sosial, politik yang buruk (krisis) menjadi lebih baik (Laporan LGSP Madiun USAID/RTI, 2005). Kenyataan ini harus dihadapai oleh seluruh elemen masyarakat sipil bahwa membentuk pemerintahan yang baik (local good government) sangat penting agar proses politik dan pemerintahan menghasilkan kemungkinan positif bagi rakyat daerah.Daerah juga membutuhkan dana-dana untuk kas keuangan daerah sehingga ada kencenderungan melakukan eksplotasi sumber alam dan peningkatan pajak usaha maupun retribusi pada awal otonomi daerah dilaksanakan. Kebijakan ini semakin memperluas persoalan, eksplotiasi alam menyebabkan konflik dan peningkatan pajak usaha akan menyebabkan proses ekonomi menjadi lamban karena para pengusaha tingkat menengah dan bawah sulit berkembang.

Beberapa kasus eksploitasi sumber alam daerah memberi dampak terhadap kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Laporan assessment PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Universitas Airlangga mengenai konflik lingkungan di Klaten Jawa Tengah menunjukkan bahwa eksploitasi air menyebabkan kerusakan lingkungan dan menurunnya kemampuan petani mengelola sawah ladang karena pengairan semakin sulit. Konflik antara petani terhadap pemerintah daerah dan Aqua Danone dengan bendera PT. Tirta Investama sampai saat ini tidak terpecahkan karena eksploitasi masih terus berlanjut. Di sini, peran masyarakat sipil menjadi sangat krusial berkaitan dengan penyelesaian konflik dan kontrol terhadap penguasa lokal yang bekerjasama dengan pihak penanam modal.

Jika kita melihat kasus-kasus di atas sesungguhnya elemen-elemen sipil saat ini sedang berhadapan dengan persoalan-persoalan yang muncul dalam proses konsolidasi di tingkat daerah. Kalangan NGO maupun CSO perlu meletakan peran (role enactment) yang strategis agar konsolidasi daerah bisa berlangsung dengan maksimal. Konsolidasi demokrasi pada dasarnya berlangsung pada dimensi kultural dan sistem. Baik mencakup persoalan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan perilaku birokrasi pemerintahan dan kebijakan-kebijakan lokal. Akan tetapi pada saat bersamaan kalangan sipil sendiri masih perlu melakukan konsolidasi gerakan.

Demokrasi di tingkat daerah adalah suatu tugas baru bagi elemen-elemen masyarakat sipil. Secara mendasar masyarakat sipil harus mampu melakukan gerakan-gerakan sosial yang mampu mensukseskan proses demokrasi di tingkat loal. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan elemen-elemen sipil di darah, berkaitan dengan presoalan-persoalan di atas, dalam konteks konsolidasi demokrasi daerah dapat kita lihat pada; 1) pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal, 2) partisipasi politik warga berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan dan pemilu, 3) pendidikan politik bagi elite-elite dan kelompok-kelompok politik , 4) pendampingan (advokasi) masyarakat berkaitan dengan kebijakan pemda, dan 5) agenda mendukung pembentukan pemerintahan yang baik (good government).Agenda masyarakat sipil ini akan menjadi titik keberhasilan konsolidasi demokrasi daerah. Konsolidasi demokrasi daerah tidak akan berjalan tanpa peran yang diberikan masyarakat sipil karena posisi strategis mereka dalam struktur sosial. Mereka sekaligus adalah kelas menengah, yang bisa bernegosiasi dengan pemerintah dan bisa berkomunikasi dengan kebutuhan masyarakat bawah.

Penutup

Kita tidak bisa memungkiri bahwa proses menuju konsolidasi demokrasi akan timpang dan runtuh jika masyarakat sipil gagal menempatkan peran strategisnya. Demokrasi yang dipartisi pada level daerah sesungguhnya memberi ruang yang semakin luas terhadap masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi. Isu-isu penting berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, partisipasi politik dan pembentukan pemerintahan lokal yang baik harus digarap dengan komitmen dan konsentrasi. Walaupun masing-masing elemen mempunyai isu dan kepentingan yang berbeda, paling tidak sebagaimana disebutkan Diamond (2003) bahwa gerakan elemen-elemen sipil akan mengarah pada pengakan hukum (law enforcement), pengawasan kinerja dan perilaku pemerintah, dan melindungi masyarakat melalui pemberdayaan dan advokasi.

Daftar Pustaka

Chandoke, Neera. 2005. What the hell is Civil Society? http://www.Open Democracy.net diakses 23 Desember 2005.

Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press.

Diamond, Larry (peny). 1994. Revolusi Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hikam, AS, Muhammad. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES

Hikam, AS, Muhammad. 1999.Politik Kewarganegaraan. Jakarta: Millenium Baru

LGSP, USAID/RTI. 2005. Laporan Penelitian Need Assessment LG AMP Kota Madiun. Surabaya: PUPUK

Mills, Wright, C., 1956. The Power Elite, Oxford University Press, New York

Rahardjo, M Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.

Thamrin, Juni. 2001. Peta dan Peran Civil Society Organization di Indonesia Paska Pemerintahan Wahid. Makalah Seminar. Jakarta: The Japan Foundation Asia Center (30 Oktober 2001).

Media

Republika, 13 Juli 2005

<!–[if !supportFootnotes]–>

 


<!–[endif]–>

<!–[if !supportFootnotes]–>[1]<!–[endif]–> Pembahasan yang lebih mendalam mengenai perbedaan maupun persamaan dari civil society yang berakara dari sejarah Barat dan masyarakat Madani yang berakar dari dunia Islam (Timur) bisa dibaca dalam buku Dawam Rahardjo, 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jkarata: LP3ES.

<!–[if !supportFootnotes]–>[2]<!–[endif]–> Untuk melihat lebih jelas definisi-definisi setiap kelompok masyarakat sipil model Larry Diamon lihat dalam bukunya yang sudah diterjemahkan, 2003. developing democracy toward consolidation, Yogyakarta: IRE Press.

<!–[if !supportFootnotes]–>[3]<!–[endif]–> Civicus mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “Sebuah arena, yang berlainan dari negara dan pasar, dimana anggota masyarakat berkelompok dan berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendefinisikan, menyatakan dan mendorong nilai-nilai, hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka”. Definisi ini dikutip laporan Hasil Penilaian Tingkat Kesehatan Masyarakat Sipil di Indonesia Tahun 2002, Yappika.

<!–[if !supportFootnotes]–>[4]<!–[endif]–> Penjelasan mengenai kelompok-kelompok tradisional keagamaan pada masa kolonialismedi Indonesia bisa dilihat dalam buku Greg Feally, 2003. Ijttihad Politik Ulama. Yogyakarta: LKiS