Korelasi Islam dan Radikalisme

Korelasi Islam dan Radikalisme
Oleh: Ranang Aji SP
Deputi Publikasi PsaTS Unair
http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/07/kha2.htm

ISLAM dalam sepanjang sejarah mengalami masa silih berganti. Pada awal pertumbuhannya, Islam adalah sebuah ajaran yang masih murni dihayati sebagai keyakinan terhadap ketauhidan atau monoteisme. Keyakinan akan keesaan Tuhan Sang Pencipta diterjemahkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tidak mengagungkan apa pun di dunia ini kecuali kepada Allah Sang Mahaesa.

Masa-masa itu kemudian dikenal sebagai generasi Salaf, Tabi’in dan Tabi’it. Sebuah lingkungan masa yang dipastikan sebagai kesempurnaan generasi muslimin dalam menghayati dan mengaplikasikan ajaran Muhammad SAW.

Seperti apa yang tercatat dalam sejarah Islam, agama ini sebuah kesatuan ajaran tentang nilai kemanusiaan dan keharusannya. Muhammad SAW mengajarkan bagaimana seseorang harus hidup di dalam lingkungan sosial yang luas. Beliau juga mengajarkan bagaimana berniaga yang adil atau meratakan sebuah kepentingan ekonomi bersama. Rasul Allah ini secara umum mengajarkan – apa yang kita sebut sebagai politik. Di dalamnya tentu saja memuat tentang hukum, ekonomi dan norma sosial. Seluruh ajaran ini bukan saja merupakan kegiatan yang terputus pada soal dunia saja, tetapi meliputi konsekuensi horizontal maupun vertikal atau berimplikasi ibadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Seluruh kegiatan ini melahirkan sanksi dan pahala.

Sebagai sebuah ajaran (secara umum) politis, penguasa tunggalnya adalah Allah Yang Maha Penguasa, seperti tertulis di dalam Alquran, “Kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah, dan kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. (QS Al-Hadid: 5).

Islam di masa Muhammad pun berkembang ke seluruh dunia dengan cara damai maupun perang dalam rangka menyeru kalimat La illahaillallah. Sejarah dunia pun mencatat kekuasaan Islam mencapai hampir seperempat dunia, hingga kekhalifahan di Turki abad 20.
Di dalam masa kehidupan yang mutakhir, Islam adalah sebuah ajaran yang tereduksi sedemikian rupa. Islam berkembang menurut konteksnya dan bukan teksnya. Ia tumbuh dan terbelah seperti halnya sel-sel jamur. Pada setiap belahan hidup dan berkembang menurut apa yang diyakini dan ditafsirkannya.

Kondisi ini pun sebenarnya telah diprediksi oleh Muhammad SAW di dalam hadisnya, “Umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Dan demi jiwaku yang ada di dalam genggaman-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semua masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al-jama’ah.”

Kemudian seorang sahabat bertanya, siapa Al-jama’ah itu? Muhammad SAW pun kemudian menerangkan bahwa mereka adalah segolongan umat yang teguh mengikuti jalannya (sunah) dan jalan para sahabatnya. (Ash-Shahihah, 1492). Radikalisme atau fundamentalisme sebenarnya tidak ada di dalam terminologi Islam, khususnya pada kamus sekte di tubuh Islam. Istilah ini dikenalkan dan dikembangkan oleh Barat untuk menyebut kelompok Islam murni.
Kelompok ini disinyalir telah melakukan berbagai aksi kekerasan atau teror terhadap masyarakat Barat. Aksi itu muncul setelah kaum Yahudi yang didukung oleh Barat mendirikan negara di tanah bangsa Palestina sejak tahun 1947.

Aksi-aksi tersebut oleh sebagian masyarakat dunia (Timur) diyakini bertujuan untuk mencoba menghancurkan hegemoni Barat terhadap dunia muslim. Barat meyakini aksi mereka bertujuan penyebaran “kejahatan” di muka bumi. Dua keyakinan itu, merupakan dua hal yang sama-sama sahnya.
Terlepas dari kenyataan di atas, pertanyaan seharusnya diajukan: Apakah Islam membenarkan kekerasan?

Islam dan Kekerasan

Banyak tokoh Islam kita menyitir kalimat ini,”Islam adalah rahmat bagi semesta alam” atau Islam memayungi seluruh alam beserta isinya sebagai sebuah apologis terhadap tudingan kalangan Barat. Lantas mereka pun secara aktif melakukan kampanye perdamaian. Kalimat rahmat bagi semesta alam bukan merupakan jargon semata, karena sesungguhnya kalimat itu adalah substansi dari Islam itu sendiri. Namun demikian, aksi terorisme yang dituduhkan Barat kepada kaum muslimin begitu nyata.

Stigma buruk pun kemudian diyakinkan oleh masyarakat dunia terhadap kaum muslimin. Lalu, bagaimanakah sebenarnya kedudukan kekerasan di dalam Islam atau benarkah Islam merestui adanya kekerasan? Jawabannya adalah ya dan tidak. Islam seperti halnya yang dipahami di atas adalah sebuah ajaran tentang keyakinan di mana segala perilaku sosial-politik beranjak dari hukum Tuhan (Nomokrasi). Kekerasan ada dan diatur di dalam bab-bab Jihad dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Seperti Firman Allah dalam Alquran, “Diwajibkan bagi kamu berperang, sedangkan (perang) itu adalah kebencian kalian, dan kiranya kalian membenci sesuatu, sedangkan ia baik bagi kamu, dan sekiranya kalian menyukai sesuatu, sedangkan ia buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui akan sesuatu, sedangkan kalian tidak mengetahuinya.” (QS Al Baqoroh: 216).
Dari ayat ini kita memahami kekerasan di dalam Islam dibolehkan, tetapi dengan syarat tentu saja haruslah berada pada wi layah perang yang terbuka.Islam tentu saja tidak merestui penyerangan terhadap masyarakat sipil.

Dalam sebuah peperangan, apa pun bentuknya, masyarakat muslim terikat kaidah atau norma-norma agamanya. Bahkan Abu Bakar Ash-shidiq RA, dalam pidato pelepasan pasukannya, membekali umat Islam dengan larangan membunuh: pohon-pohon, anak-anak, wanita, orang tua, para pendeta dan melarang menghancurkan gedung-gedung atau gereja.
Di dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar, kekerasan di dalam Islam pun dianjurkan, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), meskipun dengan batas-batas tertentu pula dalam rangka taat kepada Allah azza wa jalla.

Kata Alquran, “Dan hendaklah di antara kalian suatu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang berbuat munkar”. (QS Ali Imron: 104), kemudian Muhammad SAW pun memerintahkan, “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya (kekuatan), kalau tidak dapat dengan lidahnya, kalau tidak dapat juga dengan hatinya, itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Bukhary dan Muslim).

Rasul Allah itu pun memperingatkan, “Tidak ada suatu kaum yang di tengah-tengah mereka dilakukan maksiat kemudian mereka mampu mengubahnya melainkan Allah akan menyegerakan untuk meratakan siksaan-Nya kepada mereka.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sebagai sebuah catatan akhir, saya tidak membuat kesimpulan, tetapi menarik untuk mengutip apa yang pernah dikatakan oleh penyair besar Jerman Goethe dan sejarawan Inggris Thomas Carlyle di dalam bukunya On Heroes, Hero-worship and Heroic in History, dan pada ceramahnya The Hero is Prophet, Mahomed, Islam (Jurnal UQ, Risalah: Ensiklopedi Alquran):
Betapa aneh, bahwa dalam kasus khusus seseorang memuji jalannya sendiri!
Pabila Islam berarti “pasrah kepada kehendak Tuhan”, maka hanya dalam Islam kita semua akan hidup dan mati.
…..demikianlah pada halnya ‘islam’. Bahwa kita mesti menyerahkan diri kita kepada Tuhan. Bahwa seluruh kekuatan kita terletak pada penyerahan diri yang menyeluruh kepada-Nya, apa pun tindakan-Nya kepada kita.

Untuk kehidupan di dunia ini atau untuk kehidupan yang lain nanti! Apa pun yang diturunkan kepada kita, apakah itu kematian atau lebih buruk lagi dari itu, akan baik dan terbaik; kita menyerahkan diri kepada Tuhan. Apabila ini ‘Islam’, kata Goethe, “apakah kita semua tidak hidup dalam Islam?”. Ya, semua kita yang memiliki suatu kehidupan moral, akan hidup secara demikian.

Leave a comment