KoranOpini www.koranopini.com –media gagasan Kita–

KoranOpini.com merupakan media yang diselenggarakan oleh Democracy and Conflict Governance Institute (DCGI). Media ini dimaksudkan sebagai ruang publik untuk mengakomodasi pelbagai wacana masyarakat Indonesia, baik kalangan akademisi, mahasiswa, pelajar dan masyarakat umum.

KoranOpini.com tidak saja memberikan ruang bagi wacana diskursif tetapi juga memberikan ruang bagi karya-karya fiksi seperti cerpen, puisi serta karya-karya seni lainnya.

Dalam media ini, kami mengundang secara terbuka khalayak luas untuk mengirimkan karya-karyanya. Secara berkala kami juga akan menerbitkan kumpulan tulisan yang terkumpul di KoranOpini.com dalam sebuah buku antologi. Kami memahami dan menghargai setiap jejak pemikiran dari masyarakat Indonesia sebagai proses realita dan dialektika. Untuk itu upaya menjadikannya sebagai buku adalah awal yang baik supaya jejak pemikiran tersebut bisa dibaca masyarakat secara luas. (red)

Baca gagasan-gagasan aktual dan transformatif di setiap rubriknya. Kirimkan naskah artikel Anda ke redaksi@koranopini.com

http://www.koranopini.com

DCGI

Bank Syariah adalah Eksklusivisme!

Bank syariah adalah sistem ekonomi eksklusif yang memberi efek terhadap resistensi identitas. Hanya bisa berlaku pada komunitas tertentu, namun kenyataannya dipaksakan menjadi bagian dari sistem ekonomi nasional. Wacana ini memiliki beberapa nalar. Pertama istilah syariah adalah produk dari komunitas agama tertentu saja, yaitu agama Islam. Kedua, bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam adalah strategi lain dari gerakan formalisasi Syariat Islam oleh sebagian kelompok Islam. Nalar yang memposisikan bank syariah sebagai produk dari eksklusivisme agama tertentu ini, bukan hanya dari kalangan di luar agama Islam. Beberapa kalangan beragama Islam pun memiliki nalar penolakan ini, terutama kalangan yang mentasbihkan diri sebagai kelompok liberalis. Bagaimana baiknya merespon penolakan ini?

 

Common Bonnum

Kemampuan teknologi informasi tidak hanya selesai pada mempertukarkan berbagai bentuk informasi, namun sifat sosiologis manusia telah menjadikannya sebagai cara menemukan common bonnum. Common bonnum asali katanya adalah bahasa latin, common merujuk pada kebersamaan dan bonnum merujuk pada kesepakatan yang mampu memberi kebaikan. Pengertian dasarnya dari common bonnum pada gilirannya adalah kesepakatan mengenai kebaikan bagi seluruh pihak.

Pada masa ’global village’ dan gelombang demokrasi, dinamika sosial dipengaruhi oleh kesadaran sosial konstruktif, yaitu kemauan saling menerima entitas budaya di luar kelompoknya sebagai bagian dari dunia hidup sehari-hari. Entitas tersebut direpresentasikan secara simbolis seperti pakaian (fashion), arsitektur, sampai cara kerja. Sebagian orang Indonesia mungkin suka menggunakan jas dalam acara-acara pesta, mempunyai rumah bergaya Eropa, dan mengkonsumsi pizza setiap minggu. Begitu juga, sebagian pemuda di Jepang mereka suka mengenakan baju batik, rumah bergaya Joglo, dan suka nasi goreng a la Indonesia. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat dunia melihat kesadaran konstruktif dalam mempertukarkan kebudayaan yang baik adalah modal dalam global village.

Kesadaran konstruktif terhadap budaya lain inilah yang tidak ditangkap oleh kalangan yang menolak bank syariah sebagai bagian dari ekonomi nasional. Mengapa? Kelompok ini tidak mengambil alih substansi demokrasi dan nilai liberal sebagai cara mempertukarkan hal-hal yang baik dari setiap kebudayaan dan menggunakannya sebagai common bonnum. Namun yang terjadi adalah keterbalikannya, bahwa kebudayaan dan identitas lain, seperti bank syariah sebagai produk kebudayaan Islam, direspon sebagai ancaman. Respon pun pada gilirannya lebih terfokus pada mereproduksi isu identitas dan kekuasaan. Seperti wacana di atas bahwa bank syariah adalah bagian dari gerakan kelompok Islam tertentu. Padahal pertukaran simbol pun dalam konteks masyarakat inklusif saat ini terjadi sangat lentur dan manis. Kesadaran konstruktif akan cenderung melihat bahwa perbankan syariah adalah bentuk dari common bonnum.

 

Metodologi Perdamaian

Perbankan syariah merupakan salah satu sistem teknis dari metodologi perdamaian. Konsep perdamaian merujuk pada Galtung (2004) salah satu pondasinya adalah kondisi struktural yang adil dengan ditandai penyediaan berbagai kesempatan bagi masyarakat untuk bisa hidup sejahtera. Sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhan dasar manusia seperti sandang pangan dan papan, serta pendidikan, dan kesehatan. Pada cita-cita perdamaian inilah sebenarnya konsep perbankan syariah merupakan salah satu metodologi perdamaian yang akuntabel. Karena mampu mempertanggungjawabkan konsep dan implementasinya pada kepentingan perdamaian.

Selain konsep perbankan syariah dan sumberdaya manusia, kendala perbankan syariah sebagai metodologi perdamaian adalah nalar penolakan berbasis pada eksklusivisme identitas di atas. Penolakan dari nalar ini sebenarnya, berdasar pada ulasan ini, tidak menciptakan common bonnum dan perdamaian universal. Selama ini pertukaran pengetahuan dan identitas antar kelompok telah menciptakan sistem kehidupan manusia, termasuk demokrasi itu sendiri. Demokrasi secara etimologi dan sejarahnya boleh dari Yunani klasik dan masyarakat Barat modern, namun substansi dan penyempurnaannya dalam ’global village’ adalah hasil pertukaran dari berbagai kebudayaan dunia, termasuk Islam.

Judul di atas menjadi tidak relevan lagi. Nalar yang menyatakan bank syariah adalah bentuk eksklusivisme sepertinya tidak menyadari bahwa masyarakat global harus keluar dari berbagai bentuk identitas dan simbolisme sempit. Pada masa global dan keterbukaan ini, selama satu bentuk kebudayaan bisa menawarkan metodologi perdamaian maka perlu diterima. Walaupun tentu saja, ini bukan paksaan! Karena mereka yang menolak, memiliki kebebasan 100% untuk menggunakan bank bukan syariah (bank konvensional). Peace!

Resensi Buku

Mempetakan Teori-Teori Konflik

Oleh: Ranang Aji, SP (Deputi Publikasi PsaTS Unair)

Judul Cover: Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer

Pengarang: Novri Susan, MA.

Penerbit: Prenada Media Jakarta

Terbit: Maret 2009

Tebal: xi+223 hal.
Buku ini menjawab kekosongan satu referensi mengenai teori-teori konflik dalam disiplin ilmu sosiologi. Walaupun bisa dipastikan materi yang dibahas dalam buku ini sangat bermanfaatbagi kepentingan analisis konflik multidisipliner. Ada beberapa kelebihan yang disajikan buku ini. Pertama pemetaan mahzab-mahzab ilmu sosial, dari positivisme, humanisme, sampai kritis ilmu sosial. Pemetaan ini memberi kemungkinan bagi para pembaca untuk memahami keterkaitan perkembangan peta teori sosiologi konflik dan mahzab-mazabnya. Sehingga menjadi mungkin untuk melakukan pendifinisian metode penelitian konflik yang tepat.

Buku ini cukup berhasil mempetakan teori-teori sosiologi konflik klasik dan kontemporer, dari Ibnu Khaldun, Karl Marx, Weber, Simmel, dan Emile Durkeim. Hal yang menarik, buku ini mencoba mendekati Durkheim yang merupakan ilmuwan sosial konservatif dan fungsional untuk menganalisis konflik. Sayangnya elaborasinya terlalu seingkat.

Bagi mereka yang merasa perlu mengetahui peta sosiologi konflik kontemporer akan sangat terbantu. Dari tradisi positivisme yang direprenstasikan oleh Lewis Coser dengan teori fungsi konflik sosial, Ralf Dahrendorf dengan dialektika konflik, dan Paul Wehr dengan tindakan dan sumber konfliknya. Tradisi humanisme ilmu sosial dalam menganalisis konflik juga sangat menarik, seperti konstruksi sosial konflik dan interaksionisme simbolik. Tradisi ilmu sosial kritis yang direpresentasikan oleh Habermas, C. Wright Mills, dan Bourdieu, menjelaskan keterkaitan dominasi kekuasaan dan penindasan.

Setelah memamparkan tiga tradisi utama di atas, penulis yang seorang sosiolog konflik dan perdamaian di UNAIR menambahkan peta teori sosiologi konflik, yaitu sosiologi konflik ekletis dan multidispliner. Sosiologi konflik ekletik adalah kombinasi analisis perspektif humanisme ilmu sosial dan kritis. Sedangkan sosiologi konflik multidisipliner merupakan kombinasi lintas disiplin ilmu sosial seperti psikologi, ekonomi, dan hubungan internasional. Selanjutnya pada bab yang sama, penulis memaparkan analisis multidispliner dan teknik-teknik analisis konflik yang mudah dipahami, dari pemetaan dan dinamika konflik.

Pada bab IV buku ini memaparkan keterkaitan konflik dengan kekerasan, dan konflik dengan perdamaian. Bab ini tampaknya ingin menjawab pentabuankonflik yang dilekatkan dengan kekerasan. Konflik tidak harus berarti kekerasan, namun bisa juga menciptakan proses konstruktif dan dinamis. Namun demikian pencapaian itu perlu tata kelola konflik (conflict governance) yang demokratis.

Pada bab V buku ini memberikan tiga contoh analisis konflik, dari konflik separatisme Aceh, konflik etno keagamaan Ambon, dan konflik nelayan di Jawa Timur. Bab ini menjadi sangat bagus bagi para mahasiswa yang ingin mengetahui teknik analisis konflik.

Pada bab terakhir, buku ini menyajikan isu-isu konflik kontemporer yang dibagi menjadi tiga tema besar, yaitu tema pembangunan dan konflik, tata kelola konflik, dan pendidikan perdamaian. Isu-isu konflik dalam bab ini menjadi sangat penting bagi pemebaca, mahasiswa, yang ingin mencari tema penelitian. Selain itu bab ini memberikan berbagai strategi pemecahan masalah dari isu sosial, politik dan ekonomi.

Beberapa catatan mungkin bisa diberikan. Pertama penulis tidak menjelaskan keterkaitan teori konflik klasik dengan mahzab-mhahzab utama ilmu sosial. Seperti Marx masuk dalam mahzab apa dan Khaldun apa? Kedua pada setiap perspektif teori konflik, penulis tidak menyajikan contoh-contoh aktual. Sehingga pembaca perlu melakukan refleksi sendiri. Penjelasan mengenai fenomena-fenomena yang bisa dianalisis oleh perspektif dalam setiap teori konflik terlalu pendek. Walaupun demikian buku ini telah memberikan penyegaran dan pemantapan mengenai pemahaman teori konflik yang masih jarang di Ind0nesia.

Sebagai buku referensi sosiologi konflik yang pertama di Indonesia, buku ini sangat penting untuk dibaca. Penulis berhasil mempetakan teori-teori konflik, memberikan teknik analisis konflik, dan mempetakan isu-isu konflik di Indonesia. Sayang jika buku ini dilewatkan oleh para mahasiswa sosial politik dan humaniora, para aktivis pemberdayaan sosial dan pembangunan, sertapara pemegang kebijakan (ran).

Touch Your Hand

…Touch Your Hand..

@Novrisai

check for the song at

http://www.youtube.com/watch?v=iywbFPgHt74

May be you and I don’t understand

Why they give up

May be you and I don’t understand

What their fear in every day

Oh…

Don’t stand away from them

Let the wind tell you their feeling

Send the message of empty heart

Tell us how they lose hopes…many times

Ref:

May be you and I don’t understand

Why they give up

May be you and I don’t understand

What their fear in every day

Hi…

Let they draw the story of dust

About steep paths to survive of live

About careless of people around

But there is no tear anymore to find a way

….

Until they can

….touch your hands

Modal Sosial Demokrasi

Modal Sosial Demokrasi

Novri Susan

Sosiolog Universitas Airlangga

@2008

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/modal-sosial-demokrasi-2.html

Tidak sedikit artis-artis yang sudah cukup tenar beralih profesi sebagai politisi. Sebagian mereka sukses sebagian lagi masih timbul tenggelam. Sebut saja para artis yang sukses di Indonesia seperti Rano Karno, Dede Yusuf, sampai Marissa Haque. Para pengamat politik sebagian setuju (tidak masalah), namun sebagian lain pesimis. Persepsi umum melihat para artis terbiasa hidup enak, nongkrong di kafe sampai pagi, bekerja menghibur orang dengan keahlian suara atau tubuhnya. Sebaliknya di tingkat ideal politisi adalah pekerjaan yang serius. Perlu pengetahuan yang cukup mengenai good governance, perlu teliti terhadap laporan statistik kemiskinan, dan sensitif terhadap dinamika kekuasaan. Kehidupan sehari-hari artis dan politisi jelas berbeda.

Kedua identitas ini memiliki dunia hidup (lebenswelt) yang tidak sama. Lantas apakah para artis yang berpindah profesi menjadi politisi bisa menciptakan praktek ideal politisi; berdialog tentang pembangunan dengan masyarakat, bernegosiasi dengan lawan politik, sampai menulis laporan panjang mengenai kebijakan negara?

Justifikasi Teoritis

Jika kita adalah penganut teori sistem Parsonian, artis yang beralih menjadi politisi tidak memberi banyak rasa pesimis. Teori ini mempercayai bahwa praktek sosial selalu mengikuti nilai dan norma yang mengakar dalam setiap institusi dimana individu tinggal menjalankannya. Ada sifat ‘koersif’ dari setiap institusi tersebut terhadap individu. Para artis yang menjadi politisi bisa mengikuti dalil ini bahwa institusi politik akan bekerja secara otomatis dalam membentuk praktek sosial mereka. Perangkat nilai dan norma dalam institusi politik telah tersedia dan tinggal memanfaatkannya. Terlebih lagi fakta politik Indonesia menyediakan institusi politik demokratis menyediakan norma dan nilai-nilai yang cenderung mudah diabsorbsi karena sifat fleksibilitasnya.

Teori pembelajaran sosial (social learning theory) dari Albert Bandura (1977) memberi fundamen justifikasi dalam soal kapasitas subyektif. Proposisi teori ini mengakui bahwa sifat individu adalah selalu belajar dari proses kontak sosial. Individu dalam institusi baru akan mempelajari dari praktek-praktek yang telah tersedia dari mereka yang sudah mapan. Bandura menyebutnya sebagai proses reproduksi perilaku (reproduction of behavior). Tentu saja para artis yang menjadi politisi akan mengikuti pola praktek politik dari orang-orang yang berada dalam organisasi politik yang sama.

Teori sistem dan pembelajaran sosial cukup menjadi landasan pijak para artis untuk menjadi politisi. Walaupun demikian pesimisme sebagian publik adalah fakta sosial yang harus dipertimbangkan. Contoh buruk Joseph Estrada di Filipina adalah satu hal menonjol mengenai perilaku artis yang tidak bisa berganti begitu saja. Namun pesimisme ini tentu saja tidak berhak melarang transfer profesi, dari artis menjadi politisi. Ada sistem lain yang harus bekerja menangani pesimisme ini tanpa harus menciderai nilai kebebasan dari demokrasi.

Modal Sosial

Sistem demokrasi di Indonesia di tingkat formal bisa disebut cukup ideal. Bangunan struktur politik di tingkat pusat dan daerah yang bersumber dari konsep trias politica Montesquieu cukup mapan. Walaupun demikian kita semua setuju bahwa demokrasi Indonesia masih mencari jalan menjadi demokrasi yang terkonsolidasikan. Konsolidasi demokrasi yang ditandai secara ideal oleh kuatnya penegakan hukum, berjalannya sistem deliberasi, dan kepercayaan sosial terhadap nilai-nilai demokratis masih belum terealisasikan.

Para politisi lebih asik dengan norma politik kelompok masing-masing daripada norma politik demokrasi yang dikonstitusikan bersama. Hal ini merupakan akar berbagai praktek politik kotor para politisi yang menciderai rakyat seperti praktek korupsi di berbagai institusi negara dan pembuatan kebijakan anti rakyat. Fakta ini memperjelas kemungkinan bahwa artis yang menjadi politisi baru akan menciptakan reproduksi praktek politik yang menyakiti rakyat. Reproduksi perilaku politik dari para mantan artis menjadi ancaman tersendiri bagi rakyat, mengingat kini banyak artis yang menjadi politisi. Kesempatan mereka bekerja di dunia pembuat kebijakan sangat besar karena popularitas mereka memungkinkan mereka mendapat perhatian dalam pemilu legislatif dan eksekutif.

Pada kondisi inilah masyarakat memiliki kepentingan untuk membentuk praktek politik ideal para politisi, termasuk politisi yang sebelumnya artis. Walaupun demikian kapasitas masyarakat dalam membentuk praktek politik para politisi dipengaruhi oleh seberapa besar modal sosial yang ada. Artinya seberapa besar kualitas dan kuantitas berbagai asosiasi masyarakat melakukan proses politik melalui institusi politik demokrasi yang telah tersedia. Proses politik yang mengawasi terus pelaksanaan hukum oleh aparatur yudikatif, menegosiasi kebijakan pembangunan di lembaga legislatif, dan ikut mendesain dan melaksanakan pembangunan bersama lembaga eksekutif. Singkatnya modal sosial membentuk civic engagement yang bisa mempengaruhi terciptanya praktek politik ideal politisi dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya.

Berkaitan dengan fakta hijrahnya para artis menjadi politisi, dalam negara demokrasi tidak perlu dianggap sebagai batu sandungan. Setiap individu memiliki hak berpartisipasi dalam politik di negeri ini. Yang harus dikuatirkan adalah sejauh mana masyarakat mampu mengoperasikan sistem ideal demokrasi, menginsitutisionalisaikan berbagai nilai dan normanya, sehingga terbentuk praktek ideal politisi di negara demokrasi. Untuk itu memperkuat modal sosial dalam konteks membentuk praktek ideal politisi perlu jadi pikiran bersama. Langkah selanjutnya adalah bagaimana menciptakan dan memperkuat modal sosial ini (*).

Why Does Gender Inequality Prevent Progress towards Peace in Sri Lanka?

Why Does Gender Inequality Prevent Progress towards Peace in Sri Lanka?

Analyzing Azar’s Model of Protracted Social Conflict

 

 Saman Gunathilaka

University for Peace, International Peace Studies Dual Campus Program

February 15, 2008

 

 

Why Does Gender Inequality Prevent Progress towards Peace in Sri Lanka?

Analyzing Azar’s Model of Protracted Social Conflict

Introduction

In the 21st Century, many governments and organization are mainly concerned with gender perspective for peace-building activities. Gender imbalance and inequality in past and present societies provide much evidence to the creation of various social conflicts. The gender discrimination in the Sri Lankan postcolonial period influenced social conflict. In this situation, the power imbalance and deprivation of the Sri Lankan civilians led to many people violating the rights of women in order to gain power and opportunities. From a gender perspective, there is a general realization that women’s rights are being infringed upon. This paper examines the following gender related questions in order to explore the social structure in Sri Lanka:  What kind of gender violence and discrimination exist in Sri Lanka? Why does that gender discrimination affect building for peace in Sri Lanka? How can we theoretically analyze the gender discrimination? and often recommendations for conflict transformation and management. The answer to the above issues, as they relate to the Sri Lankan social structure, can be understood through Edward Azar’s theory of Protracted Social Conflict (PSC).  More specifically, Azar’s PSC theory contributes to explain the Sri Lankan social structure which prevented gender balance. The analysis concludes by summarizing the most crucial findings.

Definitions of Azar’s Model of PSC

According to Azar, a Protracted Social Conflict (PSC) is described as “…the prolonged and often violent struggle by communal groups for such basic needs as security, recognition and acceptance, fair access to political institutions and economic participation” (Ramsbotham, Woodhouse & Miall, 2005, p. 84). Azar also defined the following clusters of variables as preconditions for PSCs. These are the communal content of a society, deprivation of human needs, governance and the state’s role and international linkages.

Azar considered the communal content of a society the most important source of a PSC. He linked the conflict history and the colonial period where community groups are directly influenced by the colonial policy of divide and rule. In the post-colonial period, many multiethnic societies appeared which are dominated by a single communal group. This communal group ignored the needs of other communal groups, thus, breeding fragmentation and protracted social conflict.

In terms of deprivation of human needs, Azar mentioned that all individuals aim at fulfilling their needs through their collective identity group. Needs deprivation leads to increasing grievances, which individuals express collectively. He particularly referred to security needs, development needs, political access needs, and identity needs (religious and cultural expression).

Azar noted governance and the state’s role as the significant cause in the satisfaction or frustration of individual and identity groups needs.  Four characteristics: incompetent, parochial, fragile and authoritarian, influence the protracted social conflict according to the unsatisfied basic human needs. The unsatisfied social groups are frustrated and feel marginalized and excluded from the social, economic and political participation. The political authority of newer and less stable states limited the policy capacity and political access needs of the dominant community – at the expense of all other identity groups. This monopolization of power of the dominant community results in “crises of legitimacy” as the state is not able to meet the political participation needs of the public. 

At the same time, most PSCs are increasingly dependent on international linkages; that is, the state is shaped by economic and military dependency.

 

Definition of Gender

The report of the United Nations Development Programme (UNDP) noted that gender involves “The roles and responsibilities of men and women and the relationship between them. Gender does not simply refer to women or men, but to the way their qualities, behaviors and identities are determined through the process of socialization” (2003, p. 8). The biological differences of men and women can be critically used to discriminate women’s rights in a patriarchal society. Men are key players of decision making processes because they are physically stronger. Women always dominate on their feminine characteristics. Also, sex differences have been used to justify reasons women were unable to positively intervene in peace processed in past decades. Strickland and Duvvury (2003) explained,

Despite cultural variations, there is a consistent difference between women’s and men’s gender roles based on power, e.g., access to productive resources and ability to exercise decision making authority. The power imbalance that defines gender relations influences women’s access to and control over resources, their visibility and participation in social and political affairs, and their ability to realize their fundamental human rights (p. 5).

Analyzing Gender inequality in Sri Lanka

Azar’s four clusters, communal content of a society, human needs, state’s role and international linkages are taken as analytical indicators to the study of gender in Sri Lanka. The analytical focus is on the gender-sensitivity of Azar’s clusters. That is, how each cluster is open to discuss gender and what gender-sensitive perspectives of all four clusters might look like?

Communal Content of a Society

The first cluster, the communal content of a society, refers to the colonial period, where community groups are blamed by historical challenges and colonial legacy of divide and rule. As a consequence, in the post-colonial period a single communal group or a coalition of groups emerged and dominated in many multiethnic societies.

In the British colonial period (1796-1948), there were two major changes that influenced the discrimination in Sri Lankan gender rights. First, the British introduced a new rule for land rights and second, they changed the laws concerning marriage, divorce and heritages.

According to the British new land law, the native and local population became a landless community. Many paddy lands were owned by Sinhalese and Tamil female in the Sri Lankan society before British colonialism. Also, the British introduced marriage laws to attain land properties. This rule helped to indirectly turn the ownership of land properties to male parties. As a result, women’s access to inherited land was dramatically restricted and women’s economic position and status was weakened.

Deprivation of Human Needs

According to Azar, the frustration and grievance will be increased by individual’s needs collection. This applies to the Sri Lankan society because female frustration can be seen quite often as a result of denial of needs by males. The security needs, development needs, political access needs and identity needs of women are discriminated in the Sri Lankan society. I discuss below each women’s needs which caused gender imbalance and inequality in the Sri Lankan society.

Security Needs

Although, different types of gender based violence and discriminations are occurred in Sri Lanka, these are difficult to discover due to high levels of underreporting and lack of documentation by the police and other stakeholders. Some of the most common forms are domestic violence, rape, psychological abuse, incest and sexual harassment (UNHCR, 2006, p. 17). Sri Lankan women are typically bound by social and cultural norms. Therefore, if husbands abuse or rape them, they accept this as a part of their marriage life. Cultural norms keep family problems within the family.

The number of households headed by women has been increased gradually in the Northern and Eastern part, as well as Southern part of Sri Lanka under the ethnic conflict situation. Their vulnerability makes them an easy prey to acts of abuse. Also, the social and cultural norms are often used to discriminate women’s rights and opportunity. For example, second marriage of widows or widowers is not accepted by cultural and social norms even it is legally accepted. This situation perhaps dooms them to loneliness forever. According to the Department of Census and Statistics (n.d.), “the majority of the household heads are widows and their educational level is comparatively lower than that of male heads” (p. 14). The less education qualification causes them to receive less job opportunity as well as financial dissatisfaction, and poor family lives. 

Development Needs:

In Sri Lanka both men and women have equal access to free education from primary to tertiary under the national welfare system. Therefore, literacy rates of men and women are almost the same and the gap is decreasing over time. According to the Department of Census and Statistics (n.d.), “In 2001, male literacy rate was 92 percent while female rate was 89 percent” (p. 6). Further, the same author noted that the literacy rate of women in the rural sector and estate sector are lower compared to the women in urban sector (p. 6).  Their comparatively greater mobility allow urban women to go to school, while the rural and estate women face various cultural and economic difficulties that obstruct their completion of the required schooling. Indian Tamil women work in plantations at an early stage in life. In general, Indian Tamil women in the estate sector have lower educational levels, literacy rates, health status and life expectancy than women elsewhere in the country.

Most women work in low-paying, low-skilled jobs and unemployment rate for women is higher than that of men. The women participation in the high skill and managerial sector is rare. The Department of Census and Statistics (n.d.) noted, 

Women have entered the labour force slowly, but has shown a continuous growth lover the years… labour force participation rate for women which stood at 20.0 in 1963, has risen to 31.4 by 2003, reflecting a growth of over 50% within a time span of four decades (p. 8).

The same report mentioned that the unemployment rate of the men and women are 33 percent and 69 percent in 2003 respectively. Also, the highest rate of unemployment is found among women who have higher educational qualifications. In 2000, 61 percent of women with educational qualifications between grade 0-10 were employed while only 16 percent of women who have reached General Certificate of Education (GCE) Ordinary Level. Majority are employed either as semi-skilled or unskilled workers (p. 8).

Political Access Needs

In regards to political opportunities, the Sri Lankan women have the right to vote. In fact, a number of Sri Lankan women have been elected to positions of power in the country. Some have even managed to win the highest seats in government. However, the political participation of women is quite low in comparing it to the overall women’s population. There were only 12 members out of 225 elected for Parliament in the year 2000. Also, in 2000, out of a total of 379 representatives in the Provincial Council (PC), only 15 were women (4 %). The percentages of women in the Urban Council (UC) and Municipal Councils (MC) were even lower at 1 percent and 2 percent, respectively. There were three women elected as Mayors. These were in the provinces of Kandy, Jaffna, and Nuwara-Eliya (UNECAP, n.d., p. 15).  According to the PAFFREL and CMEV (2004),

One of the most serious problems in contemporary Sri Lankan politics is the shortage of women engaged in the political system. Though 52 percent of the population is female, the percentage of women in political office remains at 1.9 percent of all local and national government offices (p. 10).

State’s Role

According to Azar, the state’s role and state governance are important factors in satisfying or frustrating individual and identity group needs. In PSCs the monopolization of power by the dominant social group limits the state’s ability to meet the needs of all social groups. The role of state was transferred to the private sphere – to Sinhala families. These families were key players of all the control in political and economic organizations. There are two family related political parties in Sri Lanka: United National Party (UNP) and Sri Lanka Freedom Party (SLFP) which governed the country in 1948 to present (post-colonial period). These two parties applied their individual ideologies into the state body and dominated other’s opportunities such as access to political participation, and decision-making processes. The male members of these families represented the role of party leader.  One exception can be made in the case of Chandrika Bandaranayike and her mother.

International Linkage

International linkages crucially affect gender discrimination in Sri Lanka. This discrimination emerges from labour immigrants/migrant workers and the Export Processing Zones (EPZs) or Free Trade Zones (FTZs). I will take a closer look at both examples starting off with labour immigration.

The migration rate of Sri Lankan women is considerably increased in the last decade. They worked mainly in the garment industries and as housemaids of the Middle East, East Asian and European countries. Most leave due to a high unemployment rate in Sri Lanka and relatively higher wages outside Sri Lanka. These women are often subjected to violence, and to appalling working and living conditions. The Centre for Women’s Research estimates that around 10 percent of the approximately 500,000 female migrant workers from Sri Lanka have been victims of some form of physical, psychological or sexual abuse (OMCT, 2002, p. 13).

Most of the women who have lower education particularly work within the garment industry in Sri Lanka’s Export Processing Zones (EPZs) where over 80 percent of the workers are women. Many of them are employed in the informal sector, where hours of work, wage rate, and work environment are largely unregulated. Women and girls working in the EPZs are also often subjected to sexual violence in the workplace and there have been reports that many of these women workers have subsequently been forced into prostitution either in brothels in Colombo or in the tourist centres in the coastal area (OMCT, 2002, p. 12).

Gender equality and Peacebuilding

The cultural norms, women marginalization, lack of political participation, lack of involvement of the decision making process, less economic opportunity, power sharing between men and women are critically affected for building positive peace in Sri Lanka. To achieve and maintain peace requires the participation and involvement of both male and female regardless of their class, age, race and ethnicity in the process of peacebuilding. Gender equality requires us to consider and value different aspirations, concerns and needs of women and men fully participating in social/cultural, economic and political spheres.  This helps promote a democratic and peaceful society. Kebede (2005) described that “In talking about gender and peace it is critical to address the issue of unequal power relation and participation in decision-making between women and men, which are amongst the structural causes of social and political instability…” (p. 74). Therefore, the law and regulation need to be made strong to prevent the discriminations against women in the privet and public sector, while promoting women rights and their equality at different levels. In order promote these rights, participation of government, non government and privets sectors are very important.   Thus, in order to achieve a peaceful and democratic society in Sri Lanka, gender equality and equal political participation need to be institutionalized in all sectors of the society. 

Conclusion

The study tries to understand gender discrimination and vulnerability in analyzing social construction, social change and historical hierarchical power structures through Azar’s model of PSCs. In terms of identity as a social construction, it becomes clear that Azar has a fixed idea of identity and human needs. While this has been helpful in understanding the conflict in Sri Lanka, it could also be argued that Azar’s four clusters ignore the following underlying gender-specifics of PSCs: increasing domestic violence, gender specific needs, grievances and gender related interests and the changing of labour.  This posed some difficulty in analyzing factors of gender discrimination.  However, the analysis showed how Azar’s work recommends some gender-sensitive entry points to conflict analysis and conflict resolution.

Also, Azar’s model of PSCs helped to open up the social structure, gender discrimination and inequality situation in Sri Lanka. The role of needs, injustice and fears and identity of the parties and state-based approaches to conflict resolution play an important role most of social conflicts. According to Azar, the historical approach is a vital issue to the analysis, understanding and explanation of any social conflict. This approach provided a framework to understand the discrimination against women in the colonialism period and how the domination continues into the modern era. Azar’s four clusters help facilitate our understanding about gender as part of a hierarchical and hidden power structure.

 

 

 

 

References

Department of Census and Statistics. (n.d.). Social condition in Sri Lanka. Retrieved

February 10, 2008, from

http://www.statistics.gov.lk/social/social%20conditions.pdf

Kebede, E. (2005, September). Gender, peace and international law. D. Rodriguez (Ed.),

Gender and Peace building in Africa (pp. 73 -86). University for Peace: Costa Rica.

People’s Action for Free and Fair Elections (PAFFREL) & Centre for Monitoring Election

Violence (CMEV). (2004, November). From dialogue to action: Recommendations

and strategies for electoral reform in Sri Lanka. Colombo: Sri Lanka.

Ramsbotham, O., Woodhouse, T., & Miall, H. (2005). Contemporary conflict resolution:

Second edition. Cambridge: UK.  

Strickland, R., & Duvvury, N. (2003). Gender equity and peacebuilding: From rhetoric to

reality: Finding the way. Retrieved February 11, 2008 from

http://www.icrw.org/docs/gender_peace_report_0303.pdf

The World Organisation Against Torture (OMCT). (2002, November). Violence against

women in Sri Lanka. Retrieved February 10, 2008, from

http://www.omct.org/pdf/VAW/SriLankaEng2002.pdf

United Nation Development Programme (UNDP). (2003, February). Mainstreaming gender

in water management. Retrieved February 10, 2008, from

http://www.undp.org/water/docs/resource_guide.pdf

United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP).

(n.d.). State of women in urban local government Sri Lanka. Retrieved February 10,

2008, from http://http://www.unescap.org/huset/women/reports/sri_lanka.pdf

United Nations High Commission for Refugee (UNHCR). (2006, May). 2006 Work plan and

supporting documents. Retrieved February 11, 2008, from

http://www.unhcr.lk/protection/docs/IDP-working-group-2006workplan.pdf

 

Identity Resistances against State Policy in Mindanao, the Philippines: A communicative Political Structure’s Method in Managing a Vertical Resistance

Identity Resistances against State Policy in Mindanao, the Philippines:

A communicative Political Structure’s Method in Managing a Vertical Resistance

 

Novri Susan

Sociology Department Airlangga University

2008

 

Identity Resistances against State’s Policy in the Philippines

Why do identity resistances often occur against state’s policies? In a specific case such a policy of the Philippines government that aims to integrate Mindanao people into the larger culture of the Philippines is a prominent case in Southeast Asia. The policy has been perceived as a threat by Mindanao community which it is threatening their social existence; their beliefs, norms, and values. As in the historical facts, identity groups in Mindanao do not feel secure, and they are forced to resist for defending their existence. In the late 1960s, the Moro National Liberation Front (MNLF) was declared by Nur Misuari in Mindanao to resist the Philippines government. Quevedo (2003) mentioned that there are three main injustices policies in the Philippines to Bangsa Moro namely ‘Injustice to the Moro Identity’, ‘Injustice to Moro Political Sovereignty’, and ‘Injustice to Moro Integral Development’.

Historically, the resistance movement in Mindanao by Moro people has been begun since the treaty agreement between Spain and America in 1898. Spain gave all their territory to America including Mindanao and Sulu. The people in these two regions did not accept with the treaty since they are never colonized by Spain. In 1913 US got success in bringing Mindanao and Sulu in to their colony of the Philippines. This annexation then was followed by creating many policies designed to assimilate Muslim Filipino to the majority Christian Filipino society. In spite of the success the policies, resistance movement by involving armed actions by different Muslim Filipino groups kept growing from time to time throughout American colonial rule until the Philippines got its independence (Madale&Medina, 2004, p. 2).

Injustice facts are related to the content of state’s policies to Mindanao society, however this paper will not come to content of policy. This paper is going reveal how the political structures of the Philippines government work for making any policies, and how this process has ignored a local belief and concept of the society. For analyzing this topic, mainly the writer will use two models; Lederach’s leadership triangle model in explaining how a political involvement in decision making process. (1997). Galtung’ triangle (Ramsbotham, Woodhouse, and Miall, 2005, p. 10) in explaining how conflict occur at three stages process also will be used to look at the emergence of resistance movement in Mindanao.

An Oppressive Political Structure and Top-Down Policy of the State

In a modern concept, a policy is a result of state political structures in realizing social, economic, and political goals. Most of states with vary political systems in this world claim that a social policy they made is aimed to serve and to realize a prosperity. However, in many cases a social policy such as education, transmigration, and amalgamation is a product of an oppressive political structure.[1] The Philippines government policy about migration by sending people from Luzon and the Visayas to Mindanao is also a product of political structure. This policy aims to fulfill state’s goal rather than the society’s need.

According to May that this migration policy is to promote the increase of northern lowlands cultures, and to decrease the threat of Moro (and also lumad ) rebellion. In fact, however, in the beginning of 1970s the policy rapidly inmigration had resulted a situation in which inmigrant settlers were repeatedly disputing with Muslim and lumad landowners, the political machines of growing in-migrant (Christian) clans were disturbing on the territories of local Muslim leaders, and adversary gangs of local elites and warlords were coming into increasingly violent conflicts. Local Muslim in Mindanao perceived that policy is the part of an oppressive political structure of a state that does not recognize their needs.

May testified that the founder of MNLF and his followers perceived that the political structure of the Philippines does not give any advantages for their needs (2003, pp. 1-2). In this case, state’s political structure that makes a policy does not create a deliberative process for catching up people’s feeling about their needs.

This is a fact that an oppressive political structure still exist in many countries such in the Philippines in creating a policy, even in a country that claims them selves as a democratic state. In some ways, a state political structure is representing the interests of dominant elites group. This political machine serves a partial interest of the state which never involves the society in making a policy. In this political fact, such the case of migration policy in the Philippines is not compatible with the society’s needs. The policy is perceived as a threat from the state. This political fact often bears a conflict between state and its people by involving violent actions. In a case of profound resistance, identity groups create a militia to resist their government as MNLF/MILF resistance in Mindanao. Then a war can not be evaded in which women and children always become the main sufferers.       

Identity Resistance as a Behavior

In Lederach approach of decision making process, he divided three level of ranges decision making namely top leadership, middle range leadership, and grass root leaderships, which each decision will affect to each population effectively (1997, p. 39). However in order to interpret this triangle, the understanding of Lederach’s approach in creating a peace building theory is a first essential step. Lederach in his book Preparing for Peace (1995, p. 7) committed to a social construction and phenomenology theory in creating peace which this theory is concern on knowledge and reality.[2] Social construction is a theory with its interest is to bridge an inter-subjective of multi realities in a society. This proposition means each knowledge as a set of concept that creates a reality of one community will meet the others knowledge.

A policy as a product state political structure in Lederach’s triangle can be understood as a reality that contains a set of concept of the government about good things or bad things in social life. According to Habermas, the incompatibility of a social policy and people’s concept may take place when there is no ‘dialectic of reason’ between government’s will and society’s potential (Vitale, 2006, p. 742). This fact occurs since a state does not provide a political structure that institutionalizes a deliberative process between state and people. In an authoritarian regime all policy is made strictly by the state and transformed to its people by using power.[3] A state creates an oppressive political structure which all communication is based on domination.

When a political structure does not involve the society in making any policies, their policy often become a new reality for the targeted policy. This policy, then, is not compatible with the set of concept of the society about what reality should be practiced. As in Galtung’s triangle conflict model (Ramsbotham, Woodhouse, and Miall, 2005, p. 10), the migration policy as a structural product of the state such in the Philippines is brought to the society. This policy is seen as a government’s behavior by the society which the set of concept of the society evaluate this behavior (reality) is not compatible with their concept about needs. The establishment of MNLF and its army wing at the beginning of 1968 in Mindanao by Datu Udtog Matalam is the society’s response at the social level. The behavior of this social response, then, is a resistance movement by involving an armed resistance.

MNLF resistance against the Philippines basically is a process to struggle their basic needs as in the set of concept of Mindanao’s people. The human basic needs as John Burton mentioned such as security, recognition, and identity (Ramsbotham, Woodhouse, and Miall, 2005, p. 45) is defined subjectively and taken from the set of concept by the conflicting parties. Following this theory, MNLF resistance is a behavior that showing the needs to the state through rebellion since there is no room for them to communicate their aspiration. There is no a communicative political structure of the state in order to involve the society in making any policies that relates to their lives.

An Involvement in Decision Making Process: Peace Agreement in 1996

Opposite to an oppressive political structure, a state may create a communicative political structure that facilitates a government’s will with the people’s potential in an equal dialogue. If an oppressive political structure creates a communication through a domination relation, a communicative political structure creates a communication through a moral relation. A moral relation is able to make ‘dialectic of reason’ in a deliberative process in which parties develop their reason of ideal policies. In this communicative political structure a flexibility of negotiation[4] may be developed together since the actors morally want to understand to each other. An inter-subjective reality between state and people is likely achieved in this process.

A state policy that is created from a communicative political structure will be able to manage a vertical conflict without an oppression and strength. The groups who are involved in creating a social policy as an inter-subjective reality will join in maintaining its implementation. The government will get a strong support from an acceptance behavior. However according to Habermas this process only possible exist in a participatory democracy system that a state and society are involved in a democratic decision making process (Vitale, 2006, p. 750).

The full peace agreement in 1996 between the Philippines government and MNLF leaders is a political fact that shows how a deliberative process in a communicative political structure results an ‘inter-subjective reality’. The peace agreement as a policy, in this case, is a product of deliberative process which each party has tried to understand each other. This policy is representing a mutual need of Mindanao people and the government. This policy, then, built a communicative political structure that mainly aims to deliberate any policies by involving all communities. As May mentioned that 1996 agreement established some political agencies, as the part of state’s structure, such as a Special Zone of Peace and Development (SZOPAD) and a Southern Philippines Council for Peace and Development (SPCPD) (2002, p. 3).

However, the agreement did not involve another identity group such MILF (Moro Islamic Liberation Front) in the negotiation process (May, 2002, p. 7). This fact then becomes a significant political point by which this identity group does not perceive that agreement as their reality. This resistance was responded by Estrada through “all-out war” by which the violent conflict is protracted in a retaliatory cycle. After replacing Estrada, Arroyo has been developing a communicative process through engaging some political dialogues (Timberman, 2001, n.p.). This negotiation process is still walking for finding the mutual understanding. This communicative political structure results some cease fire agreement in which both the government and MILF is in an effort to resolve the conflict through a political negotiation.

Conclusion

A state with a communicative political structure will not face a high level of resistance from their people since this state is able to create a dialog for making any policies that are compatible with the people’s concept. A communicative structure of a state will catch people needs through a deliberative process with using any political institutions in a different level.[5] A social policy, then, is a result of deliberative process between state and its people. However, in order for a state to create a communicative structure is not a simple way. It always requires a good political will and an awareness of relative truth from the state.

This paper has revealed how a political structure of a state is an important issue in managing any types of vertical conflict. In the case of identity resistance in the Philippines as this paper has explored, there is a fact that shows how an oppressive political structure creates a policy which is incompatible with the society’s needs. In fact, the communicative political structure in which the government and the society do a dialogue equally will create a mutual understanding. It means when a policy is a form of an inter-subjective reality between the government and the society there is a high possibility of reducing the level of resistances.


Bibliography

Arendt, Hannah. (1970). On violence. New York: Harcourt, Brace and World.

Berger, L& Luckmann, T. (1966). A social construction of reality: A treatise about sociology of knowledge. New York: Anchor Books.

Lederach, J.P. (1995). Preparing for peace: Conflict transformation across cultures. Washington DC: United State Institute of Peace Press.

Lederach, J.P. (1997). Reconciliation in divided societies. Washington DC: United State Institute of Peace Press.

Madale&Medina, (2004). The Mindanao Conflict and Prospects for Peace in the Southern Philippines. Retrieved February 10 2008 from http://www.cseas.niu.edu/outreach/MindanaoPeace.pdf.

May, R.J. (September 2002). The moro conflict and the Philippine experience with Muslim autonomy. Retrieved February 17 2008 from http://rspas.anu.edu.au/papers/conflict/may_moro.pdf.

Rochman Achwan, Hari Nugroho and Dody Prayogo with Suprayoga Hadi. (2005). Overcoming Violent Conflicts. Retrieved February 2 2008 from http://www.undp.org/cpr/documents/prevention/integrate/country_app/indonesia/Kalimantan-final%5B1%5D.

Ramsbotham, O., Woodhouse, T., & Miall, H .(2005). Contemporary conflict resolution: The prevention, management and transformation of deadly conflict. New York: Polity.

Timberman, D., G. (November 26, 2001). The peace agreement with Muslim Mindanao isn’t working? (Herald Tribune). Retrieved February 17, 2008 from http://www.iht.com/articles/2001/11/26/eddavid_ed3__0.php.

Vitale, Denise. (2006). Between deliberative and participatory democracy: A contribution on Habermas. Retrieved November 6 2007 from http://psc.sagepub.com.

Quevedo, A.O.B. (2003). Injustice: The root of conflict in Mindanao. Retrieved February 10 2008 from cpn.nd.edu/Injustice%20article.doc.

 

 


[1] Some cases such in Indonesia a transmigration program has created civil wars and grievance movements to the government in some areas Indonesian main islands. See in Rochman Achwan, Hari Nugroho and Dody Prayogo & Suprayoga Hadi (2005).

[2] As Peter L. Berger and Thomas Luckman (1966) mentioned that knowledge is a concept of individuals as a community members which this knowledge will define a true or wrong as a reality. In everyday life, this knowledge will be externalized in many behaviors that maintain or change their social structure.

[3] Arendt (1970) explained that power that forces a people can be understood as a strength by which a state can do harm.

[4] Terrence (1……..

[5] In a democratic and non democratic state there is a level of political structure from central to local government. This different level of political institution is aimed to govern state’s policy in each level.

A Discourse of Arms as an Identity: The Structure of Arms Proliferation in World Societies

A Discourse of Arms as an Identity:

The Structure of Arms Proliferation in World Societies

 

Novri Susan

Sociology Department

Airlangga University

 

2008


 

“You cannot simultaneously prevent and prepare war”

Albert Einstein (in Barash and Webel 2003).

 

A Discourse of Arms as an Identity:

The Structure of Arms Proliferation in World Societies

Small arms in our modern society are claimed as a neutral instrument which it does not have any political values and interest. An arm such firearms can be an instrument to kill other people in a robbery or to save people from an animal attack. There is also a common philosophy of gun supporter “guns don’t kill people; people do” in which people is morally justified to have small arms under their pillow. People are the actors who have an interest whereas an arm is only a means to struggle an interest. However considering small arms as a neutral means is a first mistake for controlling arms proliferation itself.

The proposition of arms as a neutral instrument gives a strong legitimacy for some countries in permitting small arms ownership by the people such in USA or any other countries. A personal or collective security issue becomes a discourse in the public spheres for answering some criticisms against their stand. In a simple analysis the proposition of ‘neutral instrument’ and the philosophy of gun have played role as a moral justification in sustaining and proliferating small arms.

The government and some communities, then, create a policy in realizing a legal small arms proliferation and circulation. In this level, a state policy that maintains small arms proliferation and circulation is a political fact in which the term of “neutral instrument” is protected by power of the state. An apprehensive question may occur in this course; is the term of “neutral instrument” a political way of some groups to sustain small arms proliferation and circulation? Then, this question gives another suspicion that a small arm is not neutral originally. Small arm is not only a means of personal or social security but as a political identity which there is strong interest and value behind its existence in the society. Furthermore this discourse brings a plausible fact; small arms as a political identity have created the structure of small arms proliferation and circulation in the world societies.

By relying on the work of social construction theory from Peter L. Beger, this paper is going to understand how a small arm becomes an identity for some societies. Further mission of this paper is to reveal how a small arm as a political identity creates a dominant discourse in a social system and build a structure of arms circulation. This paper’s perspective will be supported by a discourse analysis in which the writer will use information from media, movie, and research report. This paper is not a case study but a discourse in arms proliferation and circulation.

The Objectivation of Small Arms as an Identity

       Small arms are possessed personally and socially by people in each generation in our history. Karl Marx through his materialism history may put an arm as a means of production in the ancient society such in a hunt era thousands years ago. An arrow or spear is used to produce food store by hunting animals in the jungle. However the function of arms is not only as a means of production but as a protection from wild animals. In a different social character of a tribe group, small arms can be useful as a means of aggression to other tribes. This short illustration actually explains that an arm as a product of human’s needs is always meaningful socially. When an arm sprawls on the floor and nobody holds or has it, there is still a value in it. An arm is not neutral anymore since it is a product of people’s intention in producing food, self protecting, or attacking other people. An arm of every generation may has a different meaning behind of its form such a sword in classic society can represent the king existence in front of their people. In turn, an arm is not like a stone on the road but a social product which always sends a meaning to our lebenswelth (life world).[1]

       In our modern society firearms is a dominant social product from a specific community. Historically firearm—musket was found 1500 after Western people got ammunition powder from China. The main purpose of making musket was to provide a lethal weapon to their army during colonialism era. Firearms are the social product of modern colonialism of Western countries. However many identities group have accepted this social product as the part of their identity by putting a special definition and function. Firearms in the hands of Taliban’s members are not only an instrument to attack their enemies but an art of resistance against domination.[2] Gandhi may one different case which shows how an identity defines what arms should be taken to create the art of resistance. For Gandhi and his followers a great means to resist is a compassion or silence itself (ahimsa) without adopting firearms (violence). Firearms are not compatible with their identity since their identity defines a silence as an arm for resisting such colonialism structure.

In this sense, an arm—firearms in our modern society—is always representing an identity. An identity will define a lebenswelth by providing a set of concept that is maintained and transferred socially by each generation of some communities. A set of concept that introduces its members the way of they live. Individuals of a community then will define their social practices by quoting their set of concept. The social practices can not be avoided and denied since their every practice is an objective reality. Such a Japanese people always believe that tea without sugar is a reality whereas Javanese people a glass of tea should be sweet with much sugar. An objective reality here is an acknowledged practice in everyday life which all members maintain it collectively. Under this objective social reality individuals know who they are in social environment.

Berger explained that an objective reality has passed a social history of institutional order in which individuals behave. In order for individual as the members to understand their objective reality a symbolic universe is one important element created in their social history. A symbolic universe is a social ‘material’ of everyday life which has a specific meaning in a social environment by which social structure is sustained. “The symbolic universe is, of course, constructed by means of social objectivations. Yet its meaning-bestowing capacity far exceeds the domain of social life, so that the individual may “locate” himself within it even in his most solitary experiences” (Berger&Luckman, 1966, p. 96). A symbolic universe, then, is always embedded as a social identity which individual identify how to live in their environment as a community’s member. Every society creates identity types that may be different to each other. Berger and Luckman explained that various “identity types are social products tout court, relatively stable elements of objective social reality” (1966, p. 174). A small arm in this social construction theory can be a social identity since it is a symbolic universe for individual and community. Small arms—firearms in our modern society— is created from identity types of the world societies particularly.  Following Western countries dominance in international social system, firearms as a ‘western identity’ has been produced and reproduced under the institutional order of international structure.[3] Ipso facto small arms with any types in this world are an identity institution of Western people in dominating the world social system. To see this proposition, according to Small Arms Survey in 2007 from 875 million firearms circulated 73%-77% of firearms are in civilian hands which US civilian owned-gun is 30-35%, 20-25% firearms are in military and 2.5%-3.5% firearms are used in law enforcement. The illegal small arms in civilian hands which not registered with authorities are up to 79 million. Furthermore as Small Arm Survey testified that from eight million new small firearms produced yearly around the world, approximately 4.5 million are bought by US people (2007, pp.43-4). This statistical report shows us how US people choose a firearm as their identity. CNN reported that in a recent survey “two-thirds of Americans say they believe the Constitution guarantees each person the right to own a gun” (CNN, December 16, 2007).

In Pakistan society there is a tendency of owning firearms. However it shows a different definition in owning firearms. The clash of identity within Pakistani social system such between Sunni and Shi’a community is worsened by the using of firearms. In any social political events such general election or religious festival using of small arms has injured and killed civilians from both communities. However in this general fact of small arms use, there is a trend of firearms preference such Taliban members prefer to use Kalashnikov machine gun. As Ralph Joseph testified in his report that one biggest illegal producer of small arms namely Darra Adam Khel often reproduce, the popular Kalashnikov submachine gun, which became the weapon of choice for Islamic radicalist groups after the power of Taliban in Afghanistan, in 2001 (2008, n.p).

The preference of small arms using in some ways is shaped by a technical reason such flexible or not for the owner. However a preference is also about a symbolic universe of people relates to an ‘object’ since the object will give them a meaning in their social environment. The meanings of Kalashnikov for some identity groups such Taliban may be a resistance symbol against domination of US symbol such M16. A symbolic universe has created a social preference about what arms should be used in their resistance and how to get this object. In this point, an arm is an objective reality.

Legal and Illegal Small Arms are Equally Illicit?

As Barash and Webel testified a paradox of Arms trading policy of USA often occur in some social political issues from some importer countries such as in Sri Lanka, Indonesia, and the Philippines. Those states have used legal arms from USA to kill their own people in some conflict areas. Indonesian’ army by using the legal arms have killed thousands people in East Timor during their independent movement (2003, p. 331). In the Philippine army have killed and threatened Moro in people Southern Mindanao during their conflict with MILF (Moro Islamic Liberation Front) until now (Docena, 2006, n.p.). This fact does not change any policies of USA to export arms to the Philippines or Sri Lanka but exporting arms keep continuing. This arms transaction under some agreement, such Acquisition and Cross Servicing Agreement (ACSA) in 2002 between Sri Lanka and US (BBC, December 22, 2002), is claimed as a legal which means legitimated weapon. In this sense, then it is not illicit to use arms for killing separatist people in their villages.

At the other spaces of this world arms proliferation and circulation is stated as an illegal and illicit arms. As indicated by Small Arms Survey that 2 million of an estimated 18 million arms in Pakistan is legal. This means 16 million are illegal. Craft production of firearms in Pakistan approximately is 20,000 units per year, centered mainly in Darra in the Northwest Frontier Province. Craft production of small arms is also growing up across the Philippines. In 2002, it is estimated that 3,000 gunsmiths operated in Mindanao City, and around 25,000 people worked on the gun trade for their income. Yet in other places, such as Papua New Guinea and the Solomon Islands, enterprises may be isolated and small-scale (Florquin, 2006, p. 42).

Craft production of small arms in Darra is stated as an illegal producer by national and international system. However the arms from both legal and illegal factually have been used to kill people in a different view. MILF militias in Southern Mindanao used ‘illicit arms’ to struggle their identity since there is no trust to the political system of the Philippines (May, 2003, p. 2). They kidnapped and killed both civilians and military personnel by using their ‘illicit arms’. At the same time, the Philippines army killed both civilian from Moro (Muslim) community and MILF members by using their legal arms. This phenomenon generally is happening in some other countries such as in Pakistan between government and Taliban’s supporters, Indonesia between government and Organisasi Papua Merdeka (Organization of Papua for Independence), and in Thailand between government and Muslim people in southern Thailand.

There is a screen of violence between legal and illegal arms in which all actors create a same condition of violence. One side may claims that they are using the legal arms to protect security as they are interpreting. The legitimacy of using guns is their hand; in the hand of state and a dominant identity. At the same time, actually this claim is acknowledging a brutality of legal arms within social life. In a philosophical criticism; how can one claim be a truth in our lebeswelth when it negates its own truth? If a legal arm proposition is stated as a truth then it creates a same condition with their opponent, illegal arms, it means the truth negates its own truth. In our discourse here, then, there is no different between legal and illegal arms since the two definitions always create a same condition namely a screen of violence.

Ipso facto, in this screen of violence the status of legal and illegal are not clear anymore. In a conventional—formal analysis, illegal and legal definition is aimed to differentiate between trading with using a legal procedure of arm trading. The legal procedure that is acknowledged by international system such Arms Treaty Trade or others international covenants are a social product of dominant identities. The treaty gives a wide space and legal protection for some identities keep producing and reproducing arms.

The problem of arms transaction in arms market such a change of market status from legal to grey, and to black market, may be one of hardest issue in internal law enforcement. However the main concern here is the entity of arms in its presence in the society, the status of legal and illegal depends on in who holds the gun. People can be wrong and unlawful by owning a firearm when state and its institutional order assert it. In the state’s claim, a firearm from black or grey market can be a legal arm when it is used by a security apparatus to secure their country. How if firearms from a legal market are used to approach political issues such in Sri Lanka or the Philippines?

There is a one statement of Oscar Arias Sánchez (1987) Nober Peace Laureate related to the global society constitution of arms:

“Peace is not just a dream; it is hard work, and requires real world, practical efforts to come to fruition…Humanity cannot wait. The poor and forsaken cannot wait. Now more than ever, the ratification of a set of universal rules on arms transfers is essential, if we still dare to hope that the twenty-first century will be more peaceful and just than the previous one.” (cited from http://www.armstradetreaty.com/, n.d.)

This statement appeals a ratification of universal rules on arms transfers. In a simple interpretation, this statement still believes in arms as a universal identity of human being. However this statement uses the words of ‘arms transfer’, we can see that there is a spirit to build a border between ‘states of guns culture’ and ‘states of peace culture’. The main appeal is to prevent ‘states of guns culture’ reproduce arms and send it to many countries around the world.

Conclusion: Transforming Identity of Arms

       This sub title may become a weird in our discussion since our social system still believes in arms as their identity. Gandhi may cry in his heaven now. His thought of silence to create compassion to other people is killed by guns culture of Western people. Not even in India or Sri Lanka, Ahimsa identity is irritated by arms proliferation. What Oscar Arias Sánchez stated above about a set of universal rules in arms transfer some ways can resist the dominant identity in our international social system. However this effort should be started from the foundation of law as an institutional order. As it has been discussed previously, a symbolic universe of society and state relates to arms is the infrastructure of institutional order. Many big companies that reproduce firearms such in US, UK, India, and China basically are supported by social and political associations. Such in USA, the National Riffle Association always support the production of arms through their social campaign and political movement.

       To transform arms as an identity may be an absurdism. However a social transformation can save some parst of this world from the arms identity. Some organization may have started this effort such Control Arms that create a ‘the million faces petition’ as an identity resistance (control-arms, n,d.).

       Arms are not neutral but a social product with many meanings and values. This is the fact that arms circulation around the world have been spread over since arms are not neutral. Firearms as a social product of Western people are an identity; how they define their social environment. The arms identity of Western people then has been planted in the world societies to dominate world societies’ identities. The discourse of illicit arms then is a matter who dominates the social system.

      


Reference

 

Berger, L& Luckmann, T. (1966). A social construction of reality: A treatise about sociology of knowledge. New York: Anchor Books.

BBC. (December 22, 2002). US seeks Sri Lankan military support. Retrieved Marc 23 2008 from  http://news.bbc.co.uk/2/low/south_asia/2595531.stm

Docena, H. (February 25 2006). When Uncle Sam comes marching in. Retrieved March 23 2008 from  http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HB25Ae04.html

Florquin, N. (2006). The illicit trade in small arms and light weapons Retrieved March 22 2008 from http://www.smallarmssurvey.org/files/sas/publications/external_pdf/external_IIAS.pdf.

Joseph, Ralph. (February 5, 2008). Arms makers face closure. Retrieved March 23 2008 from http://washingtontimes.com/apps/pbcs.dll/article?AID=/20080205/FOREIGN/630887051/1003.

May, R.J. (September 2002). The moro conflict and the Philippine experience with Muslim autonomy. Retrieved February 17 2008 from http://rspas.anu.edu.au/papers/conflict/may_moro.pdf.

Smallarms. (n.d.). The Philippines. Retrieved March 24 2008 from http://www.controlarms.org/events/philippines.htm.

Scott, James. (1992) Domination and the art of resistances: A hidden transcript. New Haven London: Yale University Press

Smallarmssurvey. (2007). Completing the Count civilian firearms. Retrieved March 22, 2008 from http://www.smallarmssurvey.org/files/sas/publications/year_b_pdf/2007/CH2%20Stockpiles.pdf.

 

 

 

 


[1] See in Berger and Luckman (1966).

[2] See James Scott in Domination and Art of Resistances (1992).

[3] In my view international social system and its structure is not more than the Western and USA domination since it always represents their interest and identity. Liberal democracy, free market, and WTO are Western identity. Firearms as Western identity are produced and circulated, then, reflects this domination. The fact USA and UK are the biggest producers of small arms.

Jebakan Kohabitasi Politik

Jebakan Kohabitasi Politik

AIRLANGGA PRIBADI

 

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/jebakan-kohabitasi-politik-3.html

Staf Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga,

Ketua Divisi Jaringan PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Lemlit Universitas Airlangga

 

Dua pekan lalu,Michael Steven Fish,salah seorang profesor ilmu politik asal UC Berkeley melakukan perjalanan riset ke Jakarta. Dalam wawancara menarik dengan 15 orang elite politisi,aktivis gerakan,dan para akademisi ternama,satu konsensus jawaban ditemukan berkaitan dengan pernyataan tentang karakter kepemimpinan Presiden SBY, yaitu watak kepemimpinan politik yang tidak tanggap terhadap keadaan dan kerap kali ragu dalam mengambil setiap putusan.

Ketika mewawancarai salah seorang politisi ternama,mantan ketua umum partai terbesar di Indonesia muncul komentar menarik tentang kepemimpinan SBY yang cenderung ingin membahagiakan kepentingan setiap kekuatan politik pendukungnya.Ironisnya,saat bersamaan,hal itu berisiko mengecewakan aspirasi publik yang mengharapkan kepemimpinan yang tegas dan responsif.

 

Salah satu penyebab dari lambannya kepemimpinan SBY adalah tidak dapat dilepaskan dari strategi kohabitasi politik yang dijalankannya.Kesadaran akan lemahnya mesin politik yang digunakannya dalam parlemen (Partai Demokrat) dan kepentingan untuk memperluas dan memperkuat jejaring kekuasaannya dalam wilayah legislatif membuat SBY harus menghitung dukungan dari setiap partai-partai koalisinya.

Hal itu tercermin,misalnya dari profil kabinet pemerintahan SBY yang mencerminkan kuatnya kepentingan politik pendukung daripada manifestasi dari zaken kabinet. Pada satu sisi,hal itu menguntungkan kekuasaan eksekutif karena begitu rimbunnya dukungan politik yang didapatkan dari kekuatan politik di parlemen (Pemerintahan SBY-JK memperoleh total dukungan 414 suara di parlemen dari Partai Golkar, Demokrat, PPP, PKS, PKB, PBB, PKPI dan menyisakan hanya 136 suara oposisi).

 

Namun,pada sisi yang lain, logika kohabitasi ini juga menjadi penghalang SBY dalam mengambil tindakan tegas dan sigap dalam merespons persoalan. Dalam kasus reshuffle kabinet misalnya, Presiden terlihat enggan untuk melakukan putusan berani mengganti beberapa pembantunya yang memiliki kapabilitas lemah dan menggantinya dengan para profesional, teknokrat,maupun intelektual yang andal dalam menangani persoalan.

Sementara itu,pada kasus yang lain, logika kohabitasi menghalanginya untuk mengambil kebijakan yang adil, terkait berbagai persoalan yang menyangkut kerugian moral dan material yang dialami publik baik akibat kelalaian korporasi maupun negara.Semuanya terjadi karena kasus tersebut melibatkan elite politik di seputar pemerintahan SBY sehingga sikap tegas mengenai persoalan tersebut sangat terkait dengan fluktuasi dukungan politik bagi pemerintahannya.

 

Meluruhnya Dukungan
Pemahaman akan logika kohabitasi politik inilah yang membuat Presiden terkesan tidak tegas dan gamang, sedangkan fokus pada hal tersebut telah melupakan bahwa dirinya terpilih dalam pemilihan umum secara langsung dengan konstituen lebih dari 60% suara pemilih.

 

Dalam situasi politik yang memperlihatkan lemahnya kepercayaan publik terhadap partai politik (survei LSI Maret 2007 dengan sampel 1238 responden dengan tingkat sampling eror kurang lebih 3% memperlihatkan bahwa 65% responden memandang tindakan partai politik tidak mencerminkan kepentingan dan aspirasi warga) maka tendensi untuk membahagiakan hanya pendukungnya dari lapisan kekuatan politik tersebut akan berisiko pada krisis legitimasi terhadap pemerintah dari konstituen akar rumput yang tengah kecewa terhadap perilaku elite politik, terutama dari partai politik dan tidak menemukan kepemimpinan politik yang kuat dan tanggap terhadap persoalan-persoalan publik dari pemerintahan saat ini.

 

Fokus semata-mata mengencangkan tali dukungan dari kekuatan politik dan keraguan untuk mengambil tindakan yang tegas mengakibatkan begitu banyaknya persoalan sosial-ekonomi yang tidak tergarap.Kemiskinan, bahaya busung lapar,krisis pekerjaan, daya beli publik yang rendah, lemahnya sektor usaha kecil dan menengah, serta ancaman krisis pangan yang tengah di depan mata.

 

Persoalan-persoalan tersebut memerlukan realisasi solusi reformasi sosial ekonomi yang konkret dan mendasar.Ketika pemerintahan SBY gagal menjawab persoalanpersoalan sosial tersebut,tidak hanya popularitas dan dukungan politik terhadap dirinya akan menurun,lebih dari itu performa dan proses konsolidasi demokrasi juga dapat terancam.

 

Kepemimpinan Responsif
Salah satu studi perbandingan ekonomi-politik yang dilakukan oleh Joan M.Nelson (1995) dalam karyanya Linkages Between Economics and Politics menunjukkan kegagalan eksperimentasi awal pemerintahan demokratik supremasi sipil di Bolivia, Brasil dan Argentina, serta Eropa Timur, khususnya Lituania,merupakan akibat gagalnya pemerintah merealisasikan pada saat yang tepat reformasi ekonomi dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat.

 

Sementara itu,di negara-negara Eropa Timur dan Rusia,munculnya kelaskelas baru pengangguran dan pemiskinan kelas menengah akibat kebijakan liberalisasi ekonomi yang setengah hati tanpa disertai strong leadershipmenjadi penghalang utama keberhasilan demokratisasi.

Saat ini,pemerintahan SBY menghadapi bahaya yang sama seperti yang dihadapi rezim-rezim transisi demokrasi,yang tidak secara cepat dan responsif merealisasikan reformasi ekonomi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi.Survei LSI pada Maret 2007 lalu memperlihatkan bagaimana tingkat kepuasan publik terhadap SBY telah menurun drastis yang diperlihatkan dengan meluruhnya dukungan publik hingga di bawah 50%.

 

Sementara itu,tercatat hanya 23% responden yang menganggap bahwa pembangunan ekonomi tahun ini lebih baik daripada tahun yang lalu.Jajak pendapat tersebut memperlihatkan bagaimana popularitas SBY-JK yang semakin terpuruk apabila dibandingkan dengan dukungan awal publik terhadap kepemimpinan politik yang pada awalnya begitu besar (lebih dari 60% pemilih).

Padahal,waktu yang tersisa untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintahan tidaklah banyak.Dua setengah tahun masa pemerintahan yang tersisa setidaknya hanya menyisakan kurang dari satu tahun masa yang efektif –dari awal 2007 sampai awal 2008– bagi pemerintahan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan rakyat.

 

Semenjak ufuk fajar 2008 mendatang adalah masa-masa berseminya kembali manuver-manuver politik menuju pemilihan umum, sehingga pemerintahan pada saat itu akan bekerja tidak efektif. Dalam sedikit waktu yang tersisa untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik ini,mau tidak mau pemerintah haruslah mampu mengambil tindakantindakan tegas yang mampu memompa semangat rakyat dan merealisasikan reformasi ekonomi bagi persoalan-persoalan riil sosial ekonomi rakyat.

 

Untuk menjawab tantangan tersebut, pertama, SBY pada skala terbatas harus melonggarkan konsentrasinya pada logika kohabitasi politik dan langsung turun ke bawah menyapa rakyat dengan tindakantindakan konkret dalam meyakinkan rakyat untuk melampaui krisis ekonomi yang dihadapi bangsa ini.

Sejarah politik Amerika dapat dijadikan contoh, ketika negara Paman Sam dilanda resesi ekonomi berat pada era 1930-an, saat itu Presiden AS Franklin Delano Roosevelt (FDR) menyapa dan memotivasi publik melalui media radio untuk tidak kehilangan semangat dalam menghadapi zaman yang berat, serta mengambil tindakan-tindakan ekonomi-politik yang konkret, menggandeng para kapitalis kelas kakap,dan menghidupkan kembali semangat kaum papa yang hampir pupus untuk bekerja dan mengejar kemakmuran.

 

Seluruh rakyat Amerika di bawah kepemimpinan FDR bersama dalam solidaritas untuk menggerakkan perekonomian dengan mendorong proyek-proyek padat karya seperti membuat jalan raya,menekan angka pengangguran,dan menyediakan lapangan kerja secara masif. Ketegasan sikap dan realisasi kebijakan dalam waktu yang tepat adalah kunci bagi keberhasilan pemerintahan Indonesia di bawah SBY untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Pujangga politik Italia Niccolo Machiavelli telah mengingatkan kepada para elite politisi bahwa negara yang lemah dapat dilihat dari pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil putusan.Yang lamban itulah terbukti selalu merugikan bagi semua pihak.(*)

MEMPERJUANGKAN INCLUSIVE CITIZENSHIP POLITICS

MEMPERJUANGKAN INCLUSIVE CITIZENSHIP POLITICS

DITENGAH SEJARAH PANJANG KESUNYIAN RES-PUBLICA

 

Oleh:  Airlangga Pribadi

Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Ketua Divisi Jaringan PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Universitas Airlangga

Staf Peneliti PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina

 

Ditengah berita-berita besar tentang keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia maupun kesuksesan perkawinan Islam dan demokrasi dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, dan capaian-capaian mengesankan lainnya. Agaknya kita lupa bahwa proses demokratisasi yang kita lalui memunculkan narasi-narasi pedih tentang perjalanan rakyat Indonesia sebagai warga negara. Dalam narasi besar kesuksesan tersebut, agaknya kita mengabaikan realitas perjalanan rakyat Indonesia selama 62 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebagai riwayat perjalanan panjang kepedihan dari manusia-manusia sebagai Warga Negara Indonesia yang tak kunjung selesai. Perjalanan kehidupan kenegaraan yang telah berlangsung selama ini dalam pergantian berbagai rezime dan orde dalam penglihatan kritis akan menghantarkan kita pada kesadaran baru begitu jauhnya jarak antara cita-cita agung kebangsaan nasional untuk mengantarkan rakyat Indonesia menjadi warga negara yang merdeka dengan aktualitas proses kenegaraan yang tengah berlangsung.

Cerita tentang problem kemiskinan dan kurang gizi, begitu rendahnya angka kesejahteraan kaum pekerja di Indonesia, pengabaian terhadap persoalan kejahatan HAM di masa lalu, pemiskinan terhadap nasib para petani dan rakyat akar rumput adalah realitas empirik yang jarang disentuh dalam pembicaraan demokrasi prosedural yang saat ini menjadi wacana dominan. Kesunyian menjadi kata-kata yang tepat untuk melukiskan realitas konkret yang dialami oleh manusiamanusia Indonesia yang tengah memperjuangkan haknya. Sebelum kita masuk dalam pembahasan tentang kewargaan yang inklusif dalam tataran diskursif, disini saya akan bercerita sedikit tentang dua kisah perjuangan untuk mempertahankan hak dari warga negara Indonesia di Jawa Timur, dari sekian banyak pembisuan terhadap berbagai kasus yang ada saat rakyat Indonesia akan merayakan 62 tahun kemerdekaan Indonesia .

Kisah pertama adalah perjuangan mempertahankan hak dari warga Porong Sidoarjo dalam kesunyian yang telah lebih dari setahun menjadi korban dari kejahatan korporasi dalam kasus lumpur Lapindo. Diantara berbagai persoalan yang muncul terkait dengan terjadinya ecocyde (penghancuran ekologis) dan perampasan hak milik, tempat tinggal dan kehidupan yang layak bagi warga negara, problem para pengungsi di Pasar Baru Porong merupakan salah satu persoalan yang luput untuk diekspos. Mereka yang mengungsi di Pasar Baru Porong dari desa Renokenongo (sekitar 500 kk dan 2500 jiwa) adalah warga yang tengah mempertahankan hak yang telah dirampas dalam kasus kejahatan korporasi Lapindo Brantas. Problem muncul saat mereka tidak sepakat dengan perjanjian 20:80 (20% akan dibayarkan terlebih dahulu; untuk kemudian 80% dibayarkan selanjutnya), dan pemberian uang kontrak selama dua tahun yang akan dibayarkan oleh korporasi terhadap korban. Mereka warga pengungsi menuntut hak 50:50.

Kesaksian saya terhadap argumen warga di pengungsian terkait dengan penolakanmereka cukup rasional dan realistis. Dengan pemberian ganti rugi 20 % dimuka, praktis mereka dalam jangka waktu setahun tidak dapat memiliki rumah yang  layak dan penghidupan serta pekerjaan yang layak seperti yang telah mereka lakukan. Problema terkait dengan perspektif kewargaan inklusif muncul sehubungan dengan relasi antara negara dan masyarakat sipil terkait kasus pengungsi di Porong Sidoarjo. Proses komunikasi demokratik dan penghormatan terhadap hak-hak warga dan pengungsian diabaikan disana. Sampai pada pemberian batas akhir pengungsi bisa tinggal di Pasar Baru Porong, pemerintah tidak melakukan proses komunikasi, persuasi dan partisipasi warga yang layak dalam pengambilan kebijakan terkait dengan nasib mereka, terutama sehubungan dengan rencana pengusiran warga dari lokasi pengungsian di Pasar Baru Porong. Dalam kasus ini seluruh hak-hak pengungsi sebagai warga negara terabaikan. Mereka terlanggar hak-hak sipil dan politiknya, ketika mereka tidak memperoleh hak untuk bersuara dan didengar dalam proses tata pemerintahan serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Di sisi lain mereka juga terlanggar hak-hak sosialnya terkait dengan hak untuk mendapatkan standar penghidupan yang layak, termasuk hak untuk mendapatkan makanan yang layak di pengungsian, maupun akses pendidikan yang layak dan berbagai hak-hak sosial lainnya.

Sementara dalam konstelasi politik nasional, kita menyaksikan upaya-upaya politik sistematis dari kekuatan politik di parlemen untuk meredupkan sinar ruang publik untuk membawa kasus Lumpur Lapindo dalam perdebatan deliberasi politik di panggung parlemen. Penggembosan terhadap upaya interpelasi yang dilakukan oleh para anggota legislatif, tidak saja menunjukkan pengkhianatan terhadap responsibilitas para anggota dewan terhadap konstituennya (sampai saat ini hanya tinggal dua fraksi yaitu F-PKB dan F-PDI-P yang konsisten mengusung agenda interpelasi), namun ini menunjukkan upaya sistematis dari para politisi untuk meninggalkan para warga korban Lumpur Lapindo berjuang sendirian mempertahankan hak-haknya di arena politik dalam kesunyian panjang. Dalam konteks diskursif inclusive citizenship, kondisi ini memperlihatkan bagaimana arena pelembagaan politik demokrasi dan pembicaraan politik dalam interaksi pilar-pilar trias politika kita bersifat eksklusif, berjarak dan tidak terbuka terhadap agendaagenda fundamental kewargaan.

Kisah kedua adalah kisah tragis tentang pelanggaran HAM berat yang dialami oleh warga petani di desa Alas Tlogo Pasuruan ketika mereka mempertahankan hak atas tanahnya dan diserang oleh aparat militer. Empat petani dan dua warga tewas tertembak. Pada awalnya kita menyaksikan berbagai elemen warga, baik dari LSM, intelektual dan politisi legislatif hadir dan mempertanyakan kasus tersebut. Kisah ini pelan-pelan meredup, saat Komnas HAM tidak menyatakan kasus Alas Tlogo sebagai bentuk pelanggaran HAM berat oleh Negara hanya pelanggaran HAM serius. Artinya Komnas HAM sebagai lembaga terhormat dalam tata kelembagaan bernegara kita “mempeti es” kan kasus ini dan tidak ingin terlibat penuh dalam upaya mendampingi warga Alas Tlogo untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.

Diskursus Kewargaan Inklusif

Sehubungan dengan diskursus inclusive citizenship, ruang publik yang terbuka dan politik nation-state, adalah benar yang dikatakan oleh Bung Hatta pada tahun 1957 bahwa revolusi kita menang dalam menegakkan kebenaran baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. Sampai saat ini apa yang diuraikan oleh Muhammad Hatta masih relevan dengan kondisi bangsa kita sekarang. Pelaksanaan cita-cita kita untuk membentuk masyarakat yang berbasis pada kesetaraan, kesejahteraan bersama dan penghormatan terhadap kemajemukan masih jauh dari berhasil. Penelaahan terhadap problem berbangsa dan bernegara ini dapat kita mulai dari proses demokratisasi yang tengah berjalan di republik ini. Ingatan sejarah kebangsaan kita telah menorehkan satu kata yang mewakili karakter kewargaan inklusif yang akan kita perjuangkan dalam aktualitas kehidupan bernegara kita, yaitu kata “Merdeka!”

Merdeka merupakan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta Mahardhika yaitu level terhormat dari para Bhiksu Budha dan Pendeta Hindu untuk menunjukkan kehormatan status sosial, kemuliaan martabat, otonomi diri dan kebebasan. Para intelegensia dan tokoh-tokoh pergerakan saat itu menggunakan kata merdeka sebagai sebuah imajinasi kolektif yang menandai arah pergerakan kemerdekaan Indonesia dan posisi dari warganegara dalam republik yang akan diperjuangkan. Dengan kata tersebut mereka memperjuangkan kesetaraan, kehormatan derajat dan status social yang tinggi dari seluruh rakyat Indonesia (Yudi Latif 2005).

Berbicara tentang diskursus kewargaan adalah berbicara tentang status tiap-tiap orang sebagai anggota dari Republik Indonesia. Hal ini mengandaikan interaksi yang berlangsung dalam hubungan antara individu, masyarakat dan Negara dalam arena politik Indonesia. Ketika Merdeka dalam pengertian, kesetaraan, kehormatan derajat, kualitas hidup yang layak dan kebebasan politik menjadi tujuan bersama, maka pembicaran tentang kewargaan inklusif tidak saja meliputi makna menjadi warga Indonesia, namun juga kreasi kolektif untuk membentuk ruang dan arena untuk merealisasikan kualitas-kualitas kemerdekaan tersebut dan hak serta tanggung jawab menjadi warga Negara dan komunitas politik di dalam Republik Indonesia. Berpijak pada basis gagasan inclusive citizenship di Indonesia yang berangkat dari pengertian merdeka inilah, selanjutnya tulisan ini akan menafsirkan dan memikirkan kembali (rethinking) term tersebut dalam berbagai elemen yang tampil dalam diskursus tentang kewargaan yaitu sehubungan Pertama, dengan posisi hak dan tanggung jawab dalam konstruk kewargaan inklusif di Indonesia. Kedua, terkait dengan perdebatan tentang persoalan politics of recognition dalam ketegangan wacana identity politics dan politics of difference.

Artifisialitas Politik dan Hak-Hak Warga

Berangkat dari penafsiran terhadap kata mahardhika yang difahami sebagai kesetaraan dalam status sosial, kebebasan politik dan otonomi, dan kesejahteraan tingkst kualitas hidup bagi seluruh warga negara; maka pengertian kewargaan inklusif di Indonesia merangkum dan mengintegrasikan ketiga hak-hak fundamental warganegara yang telah lama menjadi perdebatan dalam filsafat politik modern yaitu antara hak sipil, politik, dan sosial. Sebelum kita membahas lebih lanjut kepada konstruksi tentang hak-hak tersebut dalam wacana kewargaan inklusif di Indonesia, maka kita akan sedikit menyoroti perdebatan diskursus tentang hak dalam perspektif kaum neoliberal dan kalangan marxis terlebih dahulu.

 

Para pendukung gagasan neo-liberal berangkat dari fondasi pemikiran bahwa diskursus hak berakar dari kebebasan individu, dimana hak-hak sipil dan politik terkait dengan hak sipil yaitu kebebasan untuk berekspresi, berbicara, beribadah dan berasosiasi; serta hak-hak politik yaitu hak untuk memilih secara fair dan berpartisipasi dalam arena politik sebagai hak yang bersifat inheren dalam diri manusia sehingga harus difasilitasi dalam konstruk kehidupan bernegara.

Aktualisasi hak-hak tersebut merupakan bentuk dari pengakuan sebagai warga dalam sebuah institusi politik (polity). Dalam pemikiran para pembela liberalisme klasik mulai dari John Locke, Adam Smith, John Stuart Mill sampai ke Isaiah Berlin kebebasan individu memiliki nilai yang sakral. Individu memiliki hak-hak alamiah untuk hidup, bebas dan memiliki hak milik. Pandangan ini diterjemahkan dalam bentuk hak-hak sipil dan politik untuk menjamin kebebasan diri dan bebas dari intervensi dari luar, separasi ruang privat dan publik serta kebebasan dalam ranah ekonomi yang memanifes dalam keutamaan pasar bebas yang harus berjalan tanpa intervensi dari kekuatan eksternal (Ian Adams 1993).

Berakar pada penekanan hak-hak sipil dan politik serta keutamaan pasar bebas sebagai hak-hak alamiah yang dimiliki setiap individu inilah maka konsep kebebasan dan wacana tentang hak-hak warganegara dalam pandangan filsafat neo-liberal yang memberi penekanan pada pentingnya hak-hak sipil-politik dan pasar bebas menempatkan secara kontradiktif hak-hak sosial sebagai wilayah sekunder, atau bahkan bertentangan dengannya. Menurut pemikir neo-Liberal seperti Frederick von Hayek dan Robert Nozick tampilnya hak-hak sosial tidak hanya mengintervensi dan menghancurkan mekanisme permintaan-penawaran dalam pasar bebas, namun juga mengintervensi kebebasan individu melalui kewajiban dan beban pajak yang   memberatkan. Penguatan pentingnya hak-hak sosial akan menghancurkan sakralitas hak-hak individu terhadap kepemilikan.

Bahkan bagi penganut pandangan neo-liberal ekstensifikasi hak-hak social akan membangun kultur ketergantungan dari warga (Keith Faulks 1999; 2002). Sementara di sisi lain pemikiran marxis mengambil posisi yang kontradiktif berkaitan dengan hak-hak sipil-politik dan sosial dari warga negara. Pemikiran Marxis mengenai diskursus hak berangkat dari pandangan Karl Marx (1994) dalam karyanya “On The Jewish Question” yang mengkritik penekanan hak-hak kewargaan liberal yang menurutnya berada pada ranah abstrak. Bagi Marx, warga negara tidak mendapatkan hak-haknya secara hakiki meskipun dia diangkat statusnya secara politik dengan ditampilkannya hak-hak sipil dan politik dalam karena demokrasi liberal. Hal ini terjadi karena perjuangan dalam arena sipil dan politik tersebut melupakan ketidaksetaraan yang terjadi akibat dari mekanisme

ekonomi pasar bebas dan kapitalisme. Mekanisme pasar menurut Marx menghancurkan relasi sosial antar anggota warganegara sebagai komunitas.

Berangkat dari argumentasi tersebut, pemikir politik Neo-Marxist seperti Colin Hay (1996; 76) menyatakan bahwa hak-hak sipil-politik dan social-ekonomi pada dasarnya bersifat kontradiktif. Penekanan terhadap hak-hak sipil-politik akan mengabaikan pentingnya hak-hak social di ranah sosial-ekonomi. Berkebalikan dengan pandangan liberal, maka kalangan Marxist beranggapan bahwa hak-hak social-ekonomi bersifat inheren dalam kehidupan masyarakat, dimana arena politik dan hak-hak sipil-politiknya merupakan turunan saja dari dialektika yang berlangsung dalam ranah material sosial-ekonomi (Keith Faulks 2002).

Tulisan ini menempatkan pada posisi bahwa ketiga hak tersebut baik hakhak sipil, politik dan sosial bersifat integral dan komplementer daripada kontradiktif dan saling  meniadakan. Mengakui adanya kontradiksi antara hak-hak sipil, politik dan sosial berarti menerima argumen dari kalangan liberal maupun neo-liberal. Upaya untuk melampaui perdebatan diantara kedua kutub pemikiran politik tersebut adalah dengan membongkar argument esensialis bahwa manusia sebagai individu memiliki hak-hak alamiah baik hak-hak sipil, politik maupun sosial.

Pandangan tentang hak-hak yang bersifat esensial dalam diri individu tidak dapat dipertahankan ketika kita menyaksikan bahwa tiap-tiap orang akan tidak mendapatkan hak-hak tersebut dalam rezime negara totalitarian, otoritarian maupun kolonialisme. Alih-alih bersifat esensial, hak setiap warga merupakan hasil dari perjuangan panjang dalam arena ruang demokrasi. Hak-hak warganegara memanifes dalam perjuangan panjang kolektif di dalam ruang publik dan pelembagaan politik yang bersifat demokratik. Hak-hak tersebut tampil dalam perjuangan agensi politik aktif dalam memperkuat dan memperdalam ruang dan arena demokrasi.

Dalam konteks inilah pemikiran Muhammad Hatta (1932) yang ia tulis dalam karyanya “Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat” pada media Daulat Ra’jat No. 12, 10 Januari 1932 menemukan relevansinya. Ketika ia bicara tentang demokrasi asli Indonesia dan rumah bagi Republik Indonesia yang mewadahi warganegara Indonesia, ia tidak menjelaskan tentang hak-hak esensial yang dimiliki Individu. Kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam pengertian Hatta pada tulisan tersebut, hak-hak tidak bersifat alamiah dan esensial dalam diri individu, namun hak tersebut merupakan hasil perjuangan warga di arena politik dan rumah demokrasi dalam praktik-praktik wicara, komunikasi dan perjuangan dalam arena politik demokrasi.

Dalam karyanya Bung Hatta menegaskan bahwa rumah bagi setiap warga Indonesia bersendi pada tiga pasal pokok yang menjadi sumber dari demokrasi Indonesia, yaitu: Pertama, cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia (proses deliberasi politik, dimana setiap persoalan yang muncul dibicarakan dalam forum dimana argumentasi, fikiran dan gagasan ditampilkan diuji dan dikritik melalui arena ruang publik yang bebas). Kedua, cita-cita massaprotest, yaitu tindakan rakyat untuk melakukan bantahan terhadap setiap kebijakan yang tidak adil bagi warganya. Ketiga, cita-cita tolong-menolong (dipopulerkan pula oleh Bung Karno sebagai gotong-royong) baik dalam arena ekonomi seperti bentuk-bentuk koperasi maupun tampilnya semangat solidaritas dan hidup dalam satu komunitas politik yang menjadi bagian penting dari tanggung jawab rakyat Indonesia.

Pandangan politik ini mendekatkan kita pada pemikiran Hannah Arendt  tentang karakter artifisialitas politik dan kehidupan publik. Diskursus ekualitas politik bukanlah bagian dari watak inheren manusia maupun bagian predisposisi alamiah. Ia merupakan hasil dari prestasi kultural manusia sebagai kreasi untuk menciptakan dunia tempat manusia mengembangkan tindakan politik dan pertukaran gagasan serta komunikasi secara demokratik. Sehubungan dengan pembicaraan tentang hak-hak politik, gagasan ini membawa pada satu pemahaman bahwa hak dan kesetaraan politik bukanlah sesuatu yang secara natural dibawa manusia mendahului kontrak sosial dalam ruang politik. Ia merupakan atribut artifisial yang ia dapatkan melalui perjuangan saat ia masuk menjadi bagian dari institusi politik demokratis.

Pada sisi lain tekanan pada artifisialitas politik, yaitu politik sebagai prestasi cultural manusia memunculkan wacana pentingnya responsibilities dalam diskursus inclusive citizenship. Kesadaran akan ruang politik sebagai konstruksi manusia memunculkan akibat bahwa eksistensi, penguatan dan pendalaman arena demokrasi dalam ruang politik. Solidaritas, komitmen publik dan merawat komunitas menjadi bagian integral dalam penguatan wacana kewargaan yang inklusif. Disini wacana hak-hak warganegara berjalan seimbang dengan pentingnya tanggung jawab dan solidaritas publik, sesuatu yang dalam pemahaman artifisialitas politik dirumuskan melalui proses deliberasi politik yang berkelanjutan (sustainable deliberation politics) bersama warganegara. Pandangan akan sifat artifisialitas hak-hak, kesetaraan politik dan tanggung jawab ini membawa pada beberapa akibat penting. Pertama, ketika pembicaraan tentang kesetaraan dan hak-hak ditempatkan sebagai konstruksi manusia dalam ruang demokratis, bukan lagi hak-hak esensial dan natural yang melekat dalam individu, maka kita dapat keluar dari jebakan ideologis neo-liberal yang membawa pandangan tentang naturalitas hak manusia sebagai pembenar bagi pembatasan ruang politik dan penempatan pasar bebas sebagai prinsip pengelolaan masyarakat yang dominan. Argumen tentang artifisialitas politik memfasilitasi bagi pemahaman akan hak-hak warganegara sebagai sesuatu yang bersifat komplementer, integral dan berlangsung sebagai konstruksi dari kreasi politik manusia untuk menguatkan komunitas politik demokrasi.

 

Politik Kepedulian dalam Keragaman

Pendasaran terhadap artifisialitas politik juga membawa akibat pada penguatan sifat inklusifitas kewargaan. Dengan mengakui politik sebagai sesuatu yang artifisial dan konstruktif dan bukan esensial, maka diskursus tentang kewargaan dijauhkan dari semangat-semangat parokialisme dan fanatisisme yang mewujud dalam politik tribalisme, identitas agama maupun rasialitas. Identitas agama, etnis maupun ras tidak dapat dimasukkan sebagai dasar keanggotaan dalam komunitas politik. Tiap-tiap orang ketika masuk menjadi bagian dari komunitas politik ikatan tersebut tidak dapat dibangun berbasis atribut-atribut identitas parokial (etnis, agama, ras) yang melekat dalam dirinya. Mengingat bahwa attachment terhadap identitas-identitas parokial kerapkali memprovokasi barbarisme politik dan penolakan terhadap kesetaraan. Masuknya komunalisme dalam arena politik dan ruang publik dapat mengganggu imparsialitas dalam kehidupan publik.

Ketika tiap-tiap kelompok semakin terikat dalam kesadaran tribus-politik, maka politik dimaknai dalam arah yang sangat reduktif bukan sebagai seni untuk memahami yang lain dalam puspa-ragamnya, namun sebagai arena perang cultural dimana kemenangan kelompok identitas satu terhadap identitas-identitas lainnya menjadi jalan bagi proses penguasaan kultur dominant diatas kelompok-kelompok identitas kultural lainnya. Ruang publik justru menjadi arena bagi penggelaran politics of nemesis (politik permusuhan), daripada memfasilitasi terbangunnya solidaritas keragaman dalam tatanan polis yang inklusif. Dalam gemuruh hasrat pertarungan politik identitas, maka tatanan politik demokrasi menjadi limbung, kebencian terhadap yang lain dan penguatan sentimen tribalisme menghancurkan makna demokrasi sebagai jalan untuk menganyam bangun dialog dan saling pemahaman terhadap yang lain. Salah satu contoh dari kebangkitan politik identitas yang berpotensi meruntuhkan arena ruang publik yang bebas dapat kita temui dalam fenomena kebangkitan politik identitas agama saat ini. Beberapa manifestasi dari politik identitas agama dalam praksis politiknya telah mengkonstruksikan politics of hostility (politik permusuhan) dalam perjumpaannya dengan yang lain, baik di dalam konteks konstruksi wacana politik global maupun arena politik lokal.

Penolakan terhadap politik identitas dalam wacana kewargaan inklusif, tidak sama dengan penolakan terhadap pengakuan terhadap politik keragaman dalam inclusive citizenship. Dengan menggunakan pandangan dari Iris Marion Young (1999) tentang politics of difference, dalam bingkai politik keragaman diferensiasi kelompok lebih dimaknai dalam konteks relasi posisi subyek dalam lokalitasnya (local subject position) dihadapan hierarki struktur sosial, daripada atribut nilai-nilai esensial yang melekat dalam identitas tiap-tiap kelompok dan membedakannya dengan yang lain. Dalam perspektif politik keragaman, setiap kelompok sosial eksis dalam konteks relasi struktur sosial yang ditandai oleh adanya hierarkhi dan ketimpangan. Setiap struktur sosial menyediakan keterbatasan dan kesempatan yang mengkondisikan setiap subyek politik untuk melakukan aktivitas politik dalam hubungannya dengan yang lain maupun lingkungan sosialnya.

Kehidupan sosial terhampar dalam berbagai arena sosial yang dibentuk oleh struktur relasi kuasa, akses kepada alokasi sumber daya, dan hegemoni cultural yang membentuk kultur dominant. Dalam konteks batasan struktur inilah kontestasi politik dan pertarungan kuasa berlangsung, dan menempatkan tiap-tiap agensi sosial dalam posisi yang berbeda dalam hubungannya dengan struktur social yang memposisikan dirinya. Suatu kelompok sosial tertentu berada pada posisi yang diuntungkan terkait dengan konteks struktur sosial yang eksis, sementara kelompok yang lain berada pada posisi yang dirugikan dan mengalami eksklusi dan marjinalisasi sosial.

Proses-proses marjinalisasi, diskriminasi dan eksploitasi berlangsung dalam lintasan kelas, ras, gender, etnisitas maupun agama. Namun demikian kita tidak dapat menempatkan politik identitas sebagai acuan dalam memahami posisi setiap agensi dalam hierakhi relasi sosial yang berlangsung. Mengingat bukanlah atribut identitas esensial yang mengikatkan masing-masing agensi sosial dalam tiap kelompok, namun posisi partikular mereka dihadapan struktur sosial yang menjadi faktor menentukan. Dalam konteks batasan yang dibentuk oleh struktur social inilah posisi dari setiap agensi politik terbentuk, namun demikian ia memiliki otonomi untuk menentukan pilihan bagi aksi politik yang akan dilakukan. Setiap agensi politik dapat membangun relasi sosial yang kompleks, memahami posisi dirinya dan membangun perspektif berdasarkan pengalaman diri, dan membangun alternatif-alternatif aksi politik untuk membentuk dan mempengaruhi kondisi yang dihadapinya.

Sebagai contoh ikatan seseorang sebagai bagian dari korban lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo misalnya tidaklah didefinisikan atas atribut identitas kelompok, sentimen perasaan kolektif, maupun karakter kultural esensial yang mempersatukannya. Posisi sosial mereka dibentuk oleh konfigurasi relasional antara pemerintah dan korporasi dan warga.. Dalam konteks realitas politik Indonesia saat ini misalnya solidaritas dan aksi kolektif kaum korban lumpur tidak ditentukan oleh identitas maupun kultur esensial yang melekat dalam kelas pekerja, namun posisi partikular kaum pengungsi sangat ditentukan oleh kebijakan publik negara, relasi konfiguratif pengusaha-penguasa di level elite politik dan dinamika arena politik untuk menempatkan kasus ini dalam sinar ruang publik.

Pada sisi lain akar dari bentuk-bentuk opresi, dominasi dan diskriminasi tersebut dapat kita temukan pada fenomena kebangkitan politik identitas seperti yang tampil dalam kasus merebaknya fundamentalisme Islam. Artikulasi politik identitas yang pada awalnya bergerak dari posisi subaltern, dalam kelanjutannya dapat membangun diskursus-diskursus dominatif berbasis pada nilai-nilai patriarkhi dan penolakan terhadap hak-hak minoritas. Memori traumatik yang menempatkan mereka pada posisi subyek partikular sebagai kelompok yang tertindas mereka bawa sebagai bagian dari klaim sejarah untuk mendapatkan posisi istimewa saat ini.

 

Hal ini terjadi karena anggota dari kelompok-kelompok tersebut merasa terikat dengan atribut-atribut formal identitas dan nilai serta kultur esensial yang harus diperjuangkan sebagai kultur dominant dalam arena politik negara. Loyalitas tunggal terhadap identitas politik tertentu telah mengabaikan suatu kelompok untuk memiliki perspektif yang lebih membebaskan dan mampu melihat yang lain dalam posisi yang setara dan berbasis pada etika kepedulian.

Dengan menempatkan keagenan subyek dalam konteks local subject position dihadapan hierarkhi struktur sosial yang ada, hal ini memungkinkan kita untuk tidak melihat posisi tiap-tiap orang tidak dalam batasan sekat-sekat identitas yang kaku. Menurut Iris Marion Young (1999; 392) pemahaman agen politik dalam perspektif posisi particular mereka dalam relasi sosial, maka kita dapat menemukan pola-pola intersectionality dari posisi setiap subyek. Dalam konteks ini misalnya seorang perempuan berlatar belakang muslim-ahmadiyah yang berakar sosial dari kelas buruh miskin dalam formasi sosial masyarakat patriarkhi-kapitalistik di daerah didominasi oleh rezime pemaknaan Islam berperspektif fundamentalis, maka ia mengalami proses eksklusi sosial secara berlipat-lipat. Posisi dia sebagai perempuan mengalami peminggiran dari tatanan sosial patriarkhi yang menegakkan formalisasi syari’ah Islam, sementara pada posisi sosialnya sebagai kelas buruh miskin, dia mengalami proses eksploitasi sosial-ekonomi, sementara afinitas dia dengan Islam Ahmadiyah menempatkannya dalam posisi marjinal dan tidak diakui oleh mainstream pandangan Islam. Ekslusi dan marjinalisasi dalam realitas sosial berjalan tidak secara searah namun terbangun dalam konteks proses hierarkhi dan dominasi yang mengambil banyak bentuk.

Seperti diutarakan oleh Iris Marion Young (1999; 394) Pandangan akan kompleksitas relasional yang terbangun dalam konteks struktur sosial yang dominatif ini  memungkinkan bagi kita untuk membangun berbagai bentuk cara untuk memperjuangkan pola-pola komunikatif demokratik yang beragam. Proses eksklusi sosial yang dihadapi oleh tiap-tiap kelompok baik dalam konteks dominasi politik, peminggiran dari akses terhadap alokasi sumber daya, maupun praktek hegemoni dari kultur dominan beserta pengalaman spesifik dari setiap subyek dan perspektif pengetahuan yang menjadi orientasi mereka untuk bertindak memberi kesempatan untuk membangun proses-proses dialog dari para agensi politik yang berada pada posisi sub-altern.

Penafsiran berbasis posisi dari tiap-tiap subyek dalam struktur sosial seperti yang ditawarkan oleh wacana politik keragaman ini, lebih memberikan keterbukaan dan menjanjikan proses komunikasi yang bebas daripada perspektif politik identitas yang eksklusif dan tertutup. Politik keragaman yang memperjuangkan keadilan berbasis posisi loca subject position menghindarkan kita dari politik balkanisasi yang memecah-mecah kelompok dalam pulau-pulau insular identitasnya namun lebih memberikan peluang untuk menimbang perspektif dari tiap-tiap kelompok yang berada pada posisi subaltern dan marjinal dalam konteks relasi sosial yang berlangsung.

Akhirul Kalam

Akhirnya tulisan ini sampai pada pemahaman bahwa perjuangan mengakhiri derita seratus tahun kesunyian nasib rakyat Indonesia (meminjam istilah Gabriel Garcia Marques) dapat dimulai dengan mengungkap sinar terang ruang public dalam arena politik demokrasi. Sensitivitas kekuatan politik dan publik dalam mengangkat agenda-agenda politik rakyat akar rumput disertai dengan pendalaman proses demokrasi tidak saja secara prosedural, namun juga secara deliberatif memiliki makna penting bagi pemuliaan harkat warga Indonesia, Merdeka!

 

REFERENSI

Adams, Ian. 1993. Political Ideologies Today. Yogyakarta. Qalam

Blakeley, Georgina dan Valerie Bryson. 2002. Contemporary Political Concepts: A

Critical Introduction. Pluto Press.

d’Enteves, Maurizio Passerin. 2003. Filsafat Politik Hannah Arendt. Yogyakarta.

Qalam.

Faulks, Keith. 1999. Political Sociology: A Critical Introduction. Edibrugh.

Hatta, Muhammad. 1998. Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan.

Jakarta. LP3ES.

Young, Iris Marion.1999. Difference as a Resource of Democratic Communication

dalam Deliberative Democracy: Essay on Reason and Politics. Edited by

James Bohman and William Rehg. Massachusetts. MIT Press.