Refleksi: Tentang Hidup Sehat di Indonesia

Refleksi: Tentang Hidup Sehat di Indonesia

Novri Susan

Pengajar Ilmu Sosiologi FISIP UNAIR Surabaya

 

Sehat b isa diintepretasikan pada dua hal sekaligus, yaitu sehat fisik dan rohani. Walaupun sehat bisa diucapkan setiap waktu, bukan berarti dapat diakses oleh banyak orang secara fungsional. Kita bicarakan dulu sehat secara fisik. Konon, menurut Koes Ploes di negeri Indonesia tongkat nancep di tanah bisa jadi tanaman dan kolamnya berisi susu. Maksudnya negeri yang berlimpah kesuburan dan kemakmuran. Indah nian. Rakyatnya pasti sejahtera, tidak lapar apalagi busung lapar, tidak cacingan, tidak sakit apalagi sakit-sakitan. Karena Negara hanya tinggal mengelola kekayaan bangsa ini dan bila diukur dari moral yang paling cetek sekalipun pasti memperhatikan rakyatnya agar jadi manusia yang sehat.

Oh! Ternyata ada yang salah dengan perkiraan itu. Coba kita tengokkan perhatian ke berbagai berita yang dilaporkan oleh kawan-kawan jurnalis baru-baru ini. Rakyat kita ada yang menderita busung lapar, kena penyakit kaki gajah, banyak anak-anak yang terserang folio, ada juga yang menahan sakitnya bertahun-tahun. Lho kok? Obat mahal, dokter mahal, rumah sakit mahal, dukun mahal…ada dukun yang murah tapi nggak manjur, pokoke semuanya mahal! Mereka bilang seperti itu. Tapi Om Ical mantan Menko Perekonomian dan sekarang jadi Menko Kesejahteraan Sosial itu kok sempat bilang Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat tahun lalu? Maksudnya apa? Apakah pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah dunia lain? Tak ada hubungannya dengan nasib rakyat..tak hubungannya dengan kesehatan rakyat? Kalau dilihat rakyat yang kelimpungan karena tidak sejahtera dan didera sakit tanpa penanganan medis yang cukup, mungkin memang tak ada hubungannya. Om Ical pastilah sedang asyik dengan dunia lain!

Nah sudah terbukti kan sehat secara fisik sulit diakses oleh rakyat. Karena rakyat tidak dijamin kesehatannya oleh negara. Negara asyik sendiri dengan dunia lain bernama ‘pertumbuhan ekonomi’ jadi mana sempat mikir rakyat yang miskin, kena busung lapar, kena pholio dan langganan sakit itu. Bagi negara ‘pertumbuhan ekonomi’ adalah segalanya. Economic growth is everything! Nothing else!

Makna kedua adalah sehat secara rohani, atau jiwa. Mungkin kita masih punya harapan pada sesi ini. Biar sehat secara fisik tidak terjamin, mungkin sehat secara rohani mendapat kemewahan. Menurut Ustad Sanusi, orang Indonesia itu ramah-ramah, baik hati, dan mempunyai ada isitiadat hidup yang mulia. Sifat manusia Indonesia ini pasti akan direfleksikan didalam sistem kehidupan nasional. Orang-orang yang terpilih jadi pemimpin pastilah orang-orang yang ramah, baik hati, dan mulia. Hubungan yang lojik kan?

Ah tidak lojik juga. Buktinya, banyak pemimpin kita yang ramah banget…tapi bukan sama rakyat. Ramahnya para pemimpin negeri ini diperuntukkan hanya pada orang-orang asing nyang mau minjemin duit. Kalau sama rakyat ramahnya kalau mau pemilu. Setelah itu, mereka buat kebijakan yang jelas tidak ramah. Misalnya keluarkan kebijakan mengenai penggusuran tanah PP No 36 Tahun 2005. Lalu, dirikan TPA sampahnya orang-orang kaya di suatu daerah tanpa ganti rugi. Nyang protes ditangkep dan digunduli. Lalu para polisi sliwar-sliwer cari mangsa untuk ditilang…dimintai uang…bukan karena mau negakin hukum, para pejabat dan anggota legislatif cari celah buat korupsi, eh..tapi ada juga lho terus terang. Lalu ada yang bikin rekayasa agar Pak Guru Abu Jibril bisa digeledah. Aparat nembak sana..nembak sini. Aduh, gimana bisa tenang jiwa Indonesia?

Pilihan dari situasi yang diciptakan para pemimpin yang tak ramah itu adalah membalasnya dengan tidak ramah pula. Rohani kalau sudah tidak terlindungi, tidak aman, tidak tenang, diburu, dicaci, dilecehkan….ya harus dibalas! Untuk itulah ada GAM, ada OPM Papua, ada rusuh di TPA Bojong. Gimana lagi? Wong rohani kita tidak dilindungi..boro-boro diberi tempat nyang nyaman. Yang lojik itu jadi hewan, Om! Cakar balas cakar. Kan gitu. Akhirnya kita semua, manusia Indonesia, dihinggapi wabah tidak ramah, wabah membunuh, wabah korupsi, wabah kekejian dan akhirnya Tuhan pun jadi ikut ngasih wabah bencana alam sekalian. Gempa dari Sabang sampai Merauke. Mungkin Tuhan sudah bosan melihat…lantun Mas Ebiet. So, what can we do now?

Krisis Kepedulian dan Pengorbanan

Krisis Kepedulian dan Pengorbanan

(refleksi Hari Pahlawan)

Novri Susan

Pengajar di Sosiologi FISIP UNAIR

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/krisis-kepedulian-dan-pengorbanan-novri-susan-pengajar-di-sosiologi-fisip-2.html

 

Puluhan ribu pejuang rela mengorbankan nyawa melawan agresi imperialis Belanda pada 10 November 1945 di Surabaya. Tanggal tersebut sekarang dijadikan sebagai hari pahlawan nasional. Kepedulian dan pengorbanan para pejuang agar tidak kembali hidup dalam penderitaan di bawah imperialisme Belanda adalah salah satu kekuatan moral yang harus diteladani secara berkelanjutan. Akan tetapi benarkah kita menteladani rasa kepedulian dan pengorbanan tersebut, terutama sekali para elite yang memegang peranan sebagai pemimpin rakyat? Mari kita evaluasi melalui berbagai fakta aktual perilaku mereka.

 

Fakta Perilaku Elite

Ada dua fakta perilaku yang bisa kita manfaatkan untuk mengukur secara kualitatif penteladanan rasa kepedulian dan pengorbanan para pahlawan. Pertama adalah perilaku sosial kepedulian dan kepahlawanan, yang bisa didefinisikan dengan kebiasaan melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih memperhatikan perasaan dan kepentingan publik. Definisi ini tampaknya sulit dipenuhi oleh sebagian elite jika kita melihat berbagai kebiasaan perilaku mereka. Kebiasaan menaikkan gaji plus menciptakan berbagai insentif mewah, plesir ke luar negeri dengan uang negara, sampai tidur atau berkelahi di waktu sidang adalah beberapa contoh perilaku sosial yang sering dilihat oleh rakyat.

Beberapa waktu lalu para elit di KPU sempat mengajukan dana pemilu sebesar Rp. 47, 9 trilyun rencana ini lebih besar dari APBN bidang pendidikan tahun 2007 sebesar Rp. 44 trilyun. Walaupun anggaran KPU sudah direvisi menjadi sebesar Rp. 22, 3 trilyun (SINDO, 06/11/2007), jumlah tersebut tetap fantastik jika dibandingkan dengan alokasi kesehatan dalam APBN 2008 sebesar Rp. 17, 6 triliun. Perilaku-perilaku para elit tersebut cenderung menunjukkan perilaku pemborosan di tingah krisis ekonomi, perilaku tidak peduli terhadap masalah-masalah sosial seperti kesehatan dan pendidikan rakyat, dan perilaku tidak amanah ketika menjadi wakil rakyat.

Kedua, fakta berkaitan dengan perilaku politik dalam konteks menteladani kepedulian dan pengorbanan akan kita temukan dalam bentuk perilaku mencari kekuasaan karena rakyat dan mengelola kekuasaan untuk rakyat. Saat ini rakyat menyaksikan bagaimana banyak elite politik nasional mondar-mandir melakukan gerakan memperkuat dukungan politik, mencari simpati, dan membangun citra diri. Sosok seperti Sutijoso mantan Gubernur DKI Jakarta menyatakan diri maju sebagai calon presiden. Sutijoso sibuk mencari dukungan ke partai-partai politik. Akan tetapi Sutijoso tidak menyentuh rakyat dengan suatu konsep dan gerakan yang dibutuhkan rakyat saat ini. Dana yang cukup dan jaringan yang dimilikinya lebih banyak dimanfaatkan untuk safari-safari politik dan mencari dukungan partai daripada menciptakan program pemberdayaan sosial.

Reaksi para elite politik lain seperti SBY dan Jusuf Kalla tidak jauh berbeda. SBY dan Jusuf Kalla adalah para pemimpin negara yang kewajibannya adalah mengelola kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Keduanya sepakat membagi tugas dalam mengelola kekuasaan, SBY konsern ke masalah luar negeri dan sosial politik dan Jusuf Kalla ke perekonomian. Akan tetapi, SBY dan Jusuf Kalla akhir-akhir ini tampak sibuk dengan agenda kekuasaan mereka ke depan. SBY dengan tebar pesonanya di balik masalah para korban lumpur lapindo dan berbagai masalah kemiskinan maupun kesehatan. Jusuf Kalla sibuk bersafari politik ketika investasi di Indonesia masih rendah dan bisnis mayoritas menengah ke bawah sektor riil menghadapi kelesuan. Apakah mereka mengelola kekuasaan untuk rakyat?

Berbagai perilaku sosial dan politik elite Indonesia sungguh menjauhi semangat kepedulian dan pengorbanan para pahlawan. Para pahlawan yang telah gugur tentunya menangis jika mengetahui perilaku para elit saat ini. Para elite sama sekali tidak menteladani semangat kepedulian dan pengorbanan mereka.

Compassionate Conservatism

Krisis kepedulian pun juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Pada awal tahun 2000 ketika musim kampanye pemilihan presiden di AS muncul gerakan menggalakkan rasa kepedulian (compassionate conservatism) para elit yang telah terkikis begitu parah. Gerakan ini pada gilirannya menghantarkan George Bush memegang kekuasaan di AS, walaupun compassionate conservatism tak lebih dari slogan politik yang tidak terealisasi. Bush lebih memilih konsern pada politik luar negeri agresif daripada mengurusi masalah dalam negeri. Gerakan compassionate conservatism ini hanya dijadikan slogan politik walaupun ini tumbuh di atas fakta bahwa para elite politik telah kehilangan rasa kepedulian mereka terhadap berbagai persoalan di sekitarnya. Indonesia pun sangat membutuhkan gerakan semacam compassionate conservatism untuk menteladani rasa kepedulian dan pengorbanan para pahlawan.

Partai baru yang didirikan oleh Wiranto, bisa saja menggunakan klausa hati nurani rakyat di partai barunya (Partai Hanura) untuk membangun gerakan moral; rasa kepedulian dan pengorbanan. Akan tetapi selama partai ini berdiri belum ada bukti bahwa partai ini memiliki konsep dan gerakan sistematis membangun rasa kepedulian dan pengorbanan. Gerakan menteladani kepedulian dan pengorbanan ini sebenarnya akan menjadi gelombang besar ketika dilakukan oleh partai-parti politik berbasis keagamaan seperti PKS, PKB, PAN, PDS, PPP, dan lain-lainnyia. Unsur keagamaan dan tradisi sangat dekat dengan warisan rasa kepedulian dan pengorbanan para pahlawan karena ditopang oleh konsep etis, kemanusiaan, dan loyalitas para anggotanya terhadap konsep itu sendiri. Sayangnya beberapa elite-elite partai ini pun terlalu sibuk dengan urusan konflik internal dalam hal jabatan di partai.

Krisis multidimensi saat ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa krisis kepedulian dan pengorbanan sedang menggerus hati para elite yang memimpin bangsa ini. Krisis kepedulian dan pengorbanan membuat mereka tidak bisa menciptakan kebijakan efektif memberi jalan keluar permasalahan. Semoga saja Hari Pahlawan ini tidak hanya menjadi kegiatan seremonial setiap tahun. Lebih dari itu, harus menjadi penopang moral bangsa ini. Selamat memperingati Hari Pahlawan yang ke-62!

Masyarakat Sipil dan Konsolidasi Demokrasi Daerah

Masyarakat Sipil dan Konsolidasi Demokrasi Daerah

Oleh: Novri Susan

(Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Unair)

http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/d/article/viewFile/436/396

Abstrak

“Konsolidasi demokrasi di Indonesia sangat memerlukan peran masyarakat sipil (civil society) untuk menjadi suatu sistem yang benar-benar menjamin terbentuknya negara yang memberi keadilan dan kesejaheraan rakyatnya. Peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil menjadi sangat penting ketika konsolidasi demokrasi ditandai oleh partisi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah. Sejauh mana demokrasi di daerah bisa berjalan salah satunya ditentukan oleh kiprah masyarakat sipil pada level ini. Berkaitan dengan persoalan tersebut, menjadi sangat penting untuk membahas dalam tulisan ini konsep masyarakat sipil, perkembangan di Indonesia, dan perannya dalam konsolidasi demokrasi daerah.“

Pengantar

Indonesia yang sedang memulai demokrasi, atau dalam masa menuju konsolidasi demokrasi menurut istilah Larry Diamond (2003), masih berada dalam fase transisi yang perlu terus disempurnakan di konteks keindonesiaan. Walaupun beberapa kalangan menganggap demokrasi sebagai sistem dianggap mampu berjalan dengan niscaya, menurut Diamond (1992) demokrasi juga menuntut tumbuhnya masyarakat beradab yang bersemangat, gigih dan pluralis. Tanpa satu masyarakat yang beradab demikian, demokrasi tidak akan mungkin dikembangkan dan menjadi langgeng. Pada jangkauan yang lebih jauh, demokrasi tidak akan mampu menjalankan misinya membentuk negara yang adil dan mensejahterakan rakyatnya tanpa adanya peran masyarakat sipil

Masyarakat sipil (civil society) dalam kasus negara-negara berkembang termasuk Indonesia berhadapan dengan dua persoalan. Pertama terminologi dan konsep masyarakat sipil yang masih bisa diperdebatkan diantara kalangan akademisi maupun kalangan aktivis demokrasi. Persoalan yang kedua adalah peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil dalam proses perubahan-perubahan sosial politik di Indonesia, terutama sekali pada saat demokrasi masih dalam fase transisi. Transisi demokrasi di Indonesia ditandai oleh partisi kekuasaan atau desentralisasi yang mempunyai dimensi-dimensi permasalahan kontekstual, terutama sekali berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan agenda terbentuknya local good government. Walaupun, faktanya kapasitas dan nilai’nilai demokrasi masih lemah. Sehingga, pada situasi ini civil society mempunyai peran yang strategis dalam mengawal konsolidasi demokrasi di tingkat daerah.

Konsep Masyarakat Sipil

Istilah “civil society” semenjak awal 90-an sampai saat ini masih menjadi diskursus di lingkungan akademik dan aktivis gerakan sosial. Pada saat yang sama, perubahan-perubahan sosial politik terus bergulir sebagai bagian dari terus bergeraknya dinamika antara masyarakat sipil dan negara. Istilah civil society oleh sebagai kalangan disepakati mempunyai kesamaan konsep dengan istilah masyarakat madani. Kedua istilah ini, civil society dan masyarakat madani, sebenarnya berangkat dari konteks historis yang berbeda. Civil society merupakan konsep dari sejarah Barat/Eropa. Pada sisi lain masyarakat madani merujuk pada sejarah Islam di awal penyebarannya. Walaupun demikian banyak kalangan akademis bersepakat bahwa konsep umum masyarakat Madani dan civil society mempunyai kesamaan.

Istilah civil society berasal dari bahasa latin, civilis societas. Cicero (106-43 SM) bisa jadi orang pertama yang menggunakan istilah itu untuk melihat gejala budaya perorangan dan masyarakat. Dawam Rahardjo (1999) menjelaskan bahwa Cicero menyebut masyarakat sipil sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturannya. Masyarakat seperti itu, dizaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.

Dalam penggunaan istilah modern civil society pertama kali dikembangkan di awal pencerahan Skotlandia. Salah satu pemikir pencerahan, Adam Ferguson dalam tulisan klasiknya An Essay on the History of Civil Society, menduga munculnya masyarakat sipil berkaitan dengan lahirnya pasar ekonomi modern. Masyarakat sipil juga wilayah khusus yang dicirikan oleh penyempurnaan moral dan budaya, perhatian terhadap pelaksanaan rule of law oleh pemerintahan, satu semangat publik, dan pembagian kerja (division of labor) yang kompleks (Chandhoke, 2005). Adam Ferguson dan beberapa pemikir abad pencerahan di Skotlandia mulai memisahkan antara fenomena masyarakat sipil dan negara (Hikam, 1996: 2). Masyarakat sipil dinilai merupakan fenomena munculnya kemandirian masyarakat yang berseberangan dengan negara dalam arti kritis terhadap struktur dan kebijakan negara.

Secara mendasar masyarakat sipil menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik serta kontrol terhadap kekuasaan. Dalam realitas empirisnya masyarakat sipil mengorganisasi dirinya secara independen dari negara sekaligus mempunyai landasan pengetahuan yang menjadikan mereka berbeda dari masyarakat biasa yang tidak kritis dan pasif dalam struktur sosial yang bisa jadi menindas mereka.

Masyarakat biasa (parokial) dan masyarakat sipil bisa dijelaskan dengan istilah mass society dan public society yang dikembangkan oleh C. Wright Mills (1956). Mass society adalah masyarakat yang cenderung pasif, tidak kritis terhadap kekuasaan dan pada sisi berseberangan public society merupakan masyarakat kritis, independen dan mampu mengorganisasi diri untuk melakukan tuntutan terhadap ketidakadilan. Neera Chandoke (2005) menyatakan dukungannya bahwa masyarakat sipil adalah lembaga-lembaga yang kritis terhadap Negara. Walalupun kritis terhadap negara, Diamond (2003) menekankan bahwa masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat politik yang mencakup semua aktor terogarnisasi terutama partai politik dan organisasi kampanye.

Selain kritis terhadap negara civil society mempunyai kemandirian dalam banyak hal. Bahwa civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam, 1996: 3). Larry Diamond dalam bukunya developing democracy toward consolidation (2003) menyimpulkan lebih luas bahwa masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial berorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Selanjutnya Diamond menekankan bahwa masyarakat sipil bersedia aktif secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki fungsi struktur negara, dan untuk menuntut akuntabilitas negara.

Masyarakat sipil yang kritis dan mandiri secara esensial didukung oleh orientasi pasarnya, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa tumbuh berkembang dan mendapat jaminan rasa aman ia membutuhkan perlindungan dari tatanan hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara tetapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law (Diamond, 2003). Berkaitan dengan pencirian masyarakat sipil Diamond mengajukan lima ciri masyarakat sipil. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman. Artinya, organisasi yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civic community adalah konsep yang lebih luas dan lebih sempit sekaligus: lebih luas karena ia mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial); lebih sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horizontal di seputar ikatan yang sekira mempunyai kebersamaan, kooperatif, dan saling mempercayai (Diamond, 2003: 281-283).

Persoalan mendasar lainnya setelah pendefinsian adalah siapa yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Pada level ini seringkali terjadi persoalan karena kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat seringkali menunjuk kepada kelompok yang lain bukan sebagai bagian dari masyarakat sipil tetapi sebagai masyarakat politik. Untuk menengahi ini kita bisa mengkutip pendapat Diamond bahwa masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi: ekonomi, kultural, informasi dan pendidikan, kepentingan, pembangunan, berorientasi isu, dan kewarganegaraan.

Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu pada pengertian ini, tampaknya civil society juga bisa merupakan kelas menengah. Kelas menengah oleh Hikam (1999) yang di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan kelompok-kelompok pro demokrasi,

Fakta menarik dalam diskursus mengani konsep civil society adalah munculnya wacana mandiri mengenai konsep civil society dari aktor-aktor yang berbeda. Dari laporan Lokakarya Pengukuran Indeks Kesehatan Masyarakat Sipil yang dilakukan oleh Yappika di 6 region, pada proses penentuan definisi masyarakat sipil dua region menolak definisi Civicus. Fenomena yang menarik sesungguhnya bahwa masyarakat sipil sendiri mempunyai konsepsi mengenai civil society yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik di daerah masing-masing. Artinya kita menyaksikan bahwa proses pendefinisian sangat dipengaruhi oleh konteks sosial politik masing-masing kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat sipil.

Masyarakat sipil sendiri akan bisa tumbuh berkembang dan menjadi penyeimbang negara ketika terdapat proses-proses yang sehat, keterbukaan dan partisipatif. Menurut Eisenstadt (dalam Gaffar, 1999: 180) terdapat empat komponen berkaitan dengan kemungkinan tumbuhnya masyarakat sipil; pertama adalah otonomi yang berarti sebuah civil society harus lepas sama sekali dari pengaruh Negara, apakah itu dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Kedua, akses masyarakat terhadap lembaga negara. Dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok, harus mempunyai akses terhadap agencies of the state. Artinya, individu dapat melakukan partisipasi politik dengan berbagai bentuknya, apakah dengan menghubungi pejabat (contacting), menulis pikiran di media massa, atau dengan terlibat langsung atau tidak langsung organisasi politik. Ketiga, arena publik yang otonom, dimana berbagai macam organisasi social dan politik mengatur diri mereka sendiri. Keempat, arena publik yang terbuka, yaitu arena public yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan rahasia, eksklusif dan setting yang bersifat korporatif.

Masyarakat Sipil Indonesia: Dari Otoriterianisme ke Demokrasi

Membincangkan masyarakat sipil dalam dunia modern dalam konteks keindonesiaan, kita menyadari hal itu tidak lepas dari transformasi modernitas yang mulai berlangsung pada masa kolonialisme. Masyarakat tradisional yang berbasis komunitas dan pengorganisasian tradisional mulai mengubah strategi untuk melakukan aksi-aksi aksi kritis. Bahkan kemunculan organisasi-organisai pemberdayaan keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis dan lainnya merupakan respon terhadap struktur kolonialisme. Pada dasarnya kolonialisme dan struktur kekuasaannya yang menindas merupakan rahim bagi kelompok-kelompok independen pribumi yang berusaha melakukan perlawanan kritis melalui proses pemberdayaan masyarakat maupun penolakan-penolakan kebijakan politik pemerintahan kolonial. Lahirnya Syarekat Islam (SI), Budi Utomo, Indische Party, dan berbagai kelompok di luar pemerintahan kolonial adalah beberapa contoh organisasi sipil yang kritis terhadap negara.Pada awal berdirinya Negara Indonesia demokrasi liberal seolah menjadi refleksi euphoria berbagai kelompok kepentingan pada waktu itu setelah lepas dari struktur politik kolonialisme. Multi partai sebagai landasan empiris bahwa demokrasi sedang berlangsung memberi kenyataan bahwa Indonesia sesungguhnya memulai bangsa ini dengan demokrasi. Akan tetapi situasi politik yang diciptakan oleh persaingan antar kelompok politik dengan agenda ideologis masing-masing terhadap negara menyebabkan lahirnya dekrit presiden pada 5 Juli 1959. Semenjak itu demokrasi hanya bunga hias di meja istana negara karena kekuasaan dipegang oleh presiden dengan menggunakan idiom demokrasi terpimpin sebagai kuda troya. Rezim otoriter berlanjut ke pemerintahan Orde Baru Suharto dengan menampilkan demokrasi pancasila yang tidak lebih dari depolitisasi masyarakat Indonesia.

Civil society di awal berdirinya Indonesia sesungguhnya mulai mendapatkan iklim yang tepat dan sekaligus berkembang baik pada awal demokrasi parlementer di awal berdirinya Indonesia sebagai negara bangsa pada tahun 1950-an. “Kenyataan ini tidak lepas bahwa organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebasa dan memperoleh dukungan dari warga masyarakat yang baru saja merdeka. Tambahan pula, pada periode ini, negara yang baru lahir belum mempunyai kecenderungan intervesionis, sebab kelompok elite penguasa berusaha berusaha keras mempraktikkan sistem Demokrasi Parlementer” (Hikam, 1996: 4). Akan tetapi perubahan politik yang tragis menyebabkan proses terbentuknya masyarakat sipil yang mandiri, kritis dan menjadi penyeimbang bagi negara terhenti. Ormas-ormas dan lembaga-lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan ideologi. Kenyataan ini semakin diperparah oleh rezim Soekarno yang menerapkan pemerintahan otoriter dengan memusatkan kekuasaan di tangannya melalui jargon demokrasi terpimpin. Mobilisasi massa di lingkungan masyarakat bisa dicurigai sebagai gerakan kontra revolusi.

Pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan pada strategi negara menciptakan sistem semu baik pada politik maupun ekonomi (erzats capitalism) yang sesungguhnya strategi praktik politik otoriter Suharto. Situasi ini jelas berpengaruh terhadap tumbuhnya masyarakat sipil. Intervensi negara Orde Baru terhadap proses sosial politik masyarakat dengan legitimasi hukum yang diciptakan rezim merupakan proses penyempitan ruang gerak masyarakat sipil dalam ruang public (public sphere). Dalam konteks persoalan ini, Soeharto menggunakan mekanisme carrot and sticks terhadap masyarakat dalam ruang publik yang telah ia kontrol. Artinya, siapa yang taat dan patuh akan mendapatkan bantuan maupun kemudahan akses sosial ekonomi sedangkan yang membangkang akan mendapatkan pukulan keras, ditangkap sebagai pelaku subversif.

Politik otoriter Orde Baru sesungguhnya tidak lepas dari ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang membutuhkan politik sentralisme untuk kontrol pembangunan. Pada dasawarsa awal pemerintahan Orde Baru pembangunan , lebih luas modernisasi, pada gilirannya merupakan topik fundamental bagi kalangan NGO sebagai bagian dari masyarakat sipil. Dalam situasi politik yang terkontrol oleh negara, NGO mencoba melakukan upaya penyesuaian dengan memberdayakan masyarakat berkaitan dengan modernisasi yang sedang berlangsung.

Pada era 1970-an lembaga-lembaga seperti LP3ES, LSP, Yayasan Dian Desa, Yayasan Bina Swadaya merupakan contoh gerakan NGOs Indonesia yang berorientasi integrasi masyarakat dalam pembangunan negara. Kontribusi utama mereka adalah mempromosikan modernisasi sosial ekonomi diantara kelompok-kelompok marjinal. Pada dasawarsa 80-an gerakan NGO di Indonesia semakin bervariasi, ditandai dengan munculnya gerakan yang mengkritik modernisasi yang dijadikan landasan pembangunan. Gerakan lingkungan hidup (WALHI), bantuan hukum struktural (LBH, YLBHI), gerakan konsumen (YLKI) mulai meramaikan peta bumi NGO di Indonesia. Sejak kekuasaan rezim Orde Baru, mencapai klimaksnya di tahun 1990-an gerakan CSO dan NGO semakin radikal dan bervariasi. Mereka mulai melakukan usaha reformasi kebijakan public secara structural. Pembentukan koalisi antar gerakan NGO Advokasi mulai bertumbuhan. Di bidang reformasi agrarian misalnya, KPA, AKATIGA, Bina Desa mulai mempersoalkan ketimpangan struktur penguasaan tanah dan ketimpangan distribusi income penduduk di pedesaan (Thamrin, 2001).

Pada awal keruntuhan Orde Baru isu-isu korupsi mulai menyeruak diantara hubungan masyarakat dan negara. Protes dari kalangan masyarakat sipil yang bukan hanya dari NGO, termasuk mahasiswa dan kalangan bisnis maupun media, melakukan gerakan protes mengenai korupsi dan perilaku birokrasi pemerintahan. Pada saat Orde Baru tidak mampu menjawab gerakan tersebut, masyarakat sipil semakin menyadari bahwa otoritarianisme adalah kunci dari munculnya berbagai dimensi persoalan yang menjerat Indonesia, baik dengan isu kerusakan ekologis, korupsi, ketimpangan sosial, dan demokrasi. Selanjutnya, gerakan masyarakat sipil mendorong jatuh rezim otoriter dan berusaha membentuk sistem politik demokratis dengan proses komunikasi dan kerjasama dengan eleit-elite politik maupun partai-partai politik reformis. Hasilnya adalah demokrasi bagi Indonesia, yang secara momentum dimulai dengan pemilu 1999 yang mempresentasikan persaingan politik multi partai.

Agenda demokrasi tidak hanya berhenti pada dilaksanakannya pemilu nasional. Demokrasi harus diterapkan konsisten untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Proses penyempurnaan yang dilakukan, dari periode pemerintahan BJ. Habibie, Abdurraman Wahid, Megawati dan SBY memberi kesan bahwa Indonesia serius dengan agenda demokrasi untuk menjawab berbagai persoalan bangsa. Kenyataan ini dipertegas dengan berbagai dukungan dan pujian dunia internasional terhadap Indonesia berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi.

Sistem politik demokrasi menjadi semakin mampu berjalan dengan baik ketika diberlakukan pada skala yang tidak terlalu besar. Diamond mencatat bahwa ketika gelombang ketiga (demokrasi, pen.) sekitar setengah dari negara-negara (merdeka) berukuran sangat kecil ini lebih demokratis (dibandingkan 23% negara-negara yang lebih besar). Secara keseluruhan, pada awal 1998, hampir 75 persen negara-negara yang demokratis, disbanding dengan kurang dari 60 persen negara-negara yang lebih besar (Diamond, 2003: 151).

Kenyataan inilah yang juga mendasari bagi pelimpahan demokrasi di level daerah (lokal) atau desentralisasi. Desentralisasi di Indonesia dimulai diterapkan melalui UU 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah yang selanjutnya diperbaiki dengan UU 33 Tahun 2004 dimana desentralisasi berada di tingkat pemerintahan Kabupaten/kota. Walaupun menurut Afan Gaffar (1999) Indonesia belum memiliki masyarakat sipil karena terutama sekali faktor transisi politik, perekonomian dan tingkat pendidikan masyarakat akan tetapi dengan melihat perkembangan politik yang semakin membuka ruang publik, kita bisa bisa berharap bahwa masyarakat sipil pada saat yang bersamaan melakukan proses pembentukan (penyempurnaan) dan melakukan gerakan sosial berkaitan dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berlansung.

Konsolidasi Demokrasi Daerah

Demokrasi daerah dalam implementasinya telah menghadirkan beberapa kasus persoalan yang merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan masyarakat sipil, baik persoalan yang muncul dari masyarakat maupun pemerintahan daerah. Tahap awal yang memperlihatkan persoalan konsolidasi demokrasi daerah adalah kasus pemilihan kepada daerah secara langsung (pilkadal). Pada kasus pemilihan kepala daerah secara langsung tahap pertama telah muncul persoalan-persoalan mendasar.

Pada kasus pilkada di Jawa Timur yang dilaksanakan oleh 15 daerah kabupaten/kota pada tahap pertama telah memunculkan persoalan berkaitan dengan partisipasi politik dan stabilitas sosial.

Partisipasi politik masyarakat dalam pilkada jika dihitung secara kuantitas terhitung baik. Bahkan Kabupaten Mojokerto mendapatkan rekor dari MURI (Museum Rekor Indonesia) karena berhasil mendorong partisipasi politik sampai di atas 80 persen. Akan tetapi partisipasi politik tidak hanya dihitung dari kuantitas warga dalam pencoblosan, lebih mendasar lagi adalah apakah partisipasi tersebut telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, seperti tidak adanya politik uang, ancaman dari pihak-pihak tertentu dan rasionalitas memilih. Kalangan akademik maupun NGO mensinyalir bahwa politik uang masih mungkin terjadi mengingat pilkada dilaksanakan pada saat kondisi perekonomian rakyat sangat buruk. Selain persoalan partisipasi politik, stabilitas sosial juga menjadi persoalan.

Kenyataan ini tidak lepas dari maraknya kerusuhan paska pencoblosan di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada.

Hampir di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada mengalami konflik pilkada yang melibatkan mobilisasi massa dan aksi kekerasan. Untuk daerah Surabaya terjadi mobilisasi massa besar-besaran dan sempat terjadi pengrusakan fasilitas di kantor Ketua DPRD Surabaya (Republika, 13 Juli 2005). Walaupun tingkat anarkisme massa lebih rendah dibandingkan dengan derah-darah lain seperti Gowa di Sulsel, ini tetap memberikan dampak terhadap stabilitas sosial. Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat akan menjadi budaya politik yang buruk di daerah. Elite-elite politik yang kalah pun cenderung tidak bisa menerima kekalahan mereka dan sebaliknya melakukan proses mobilisasi massa dan manuver-manuver politik yang tidak sehat.

Pada dimensi yang lain, arah konsolidasi demokrasi daerah (desentralisasi) juga menghadirkan persoalan mendasar yaitu diperlukannya pemerintahan lokal yang baik (local good government). Pemerintahan lokal pada periode desentralisasi ini mempunyai wewenang yang sangat besar dalam pengelolaan daerah. Bahkan melahirkan konstelasi persaingan atar elite-elite politik lokal, antara eksektif maupun legislative, antara bupati dan gubernur dalam membagi wilayah kekuasaan. Pada saat bersamaan, pemerintahan daerah dengan sistem baru berhadapan dengan kenyataan bahwa terdapat berbagai persoalan baik pada dimensi regulasi, organisasi dan sumberdaya manusia. Dalam kasus di Kota Madiun, masyarakat mempunyai persepsi kurang baik terhadap kinerja pemerintahan kota. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berubahnya kondisi perekonomian, sosial, politik yang buruk (krisis) menjadi lebih baik (Laporan LGSP Madiun USAID/RTI, 2005). Kenyataan ini harus dihadapai oleh seluruh elemen masyarakat sipil bahwa membentuk pemerintahan yang baik (local good government) sangat penting agar proses politik dan pemerintahan menghasilkan kemungkinan positif bagi rakyat daerah.Daerah juga membutuhkan dana-dana untuk kas keuangan daerah sehingga ada kencenderungan melakukan eksplotasi sumber alam dan peningkatan pajak usaha maupun retribusi pada awal otonomi daerah dilaksanakan. Kebijakan ini semakin memperluas persoalan, eksplotiasi alam menyebabkan konflik dan peningkatan pajak usaha akan menyebabkan proses ekonomi menjadi lamban karena para pengusaha tingkat menengah dan bawah sulit berkembang.

Beberapa kasus eksploitasi sumber alam daerah memberi dampak terhadap kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Laporan assessment PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Universitas Airlangga mengenai konflik lingkungan di Klaten Jawa Tengah menunjukkan bahwa eksploitasi air menyebabkan kerusakan lingkungan dan menurunnya kemampuan petani mengelola sawah ladang karena pengairan semakin sulit. Konflik antara petani terhadap pemerintah daerah dan Aqua Danone dengan bendera PT. Tirta Investama sampai saat ini tidak terpecahkan karena eksploitasi masih terus berlanjut. Di sini, peran masyarakat sipil menjadi sangat krusial berkaitan dengan penyelesaian konflik dan kontrol terhadap penguasa lokal yang bekerjasama dengan pihak penanam modal.

Jika kita melihat kasus-kasus di atas sesungguhnya elemen-elemen sipil saat ini sedang berhadapan dengan persoalan-persoalan yang muncul dalam proses konsolidasi di tingkat daerah. Kalangan NGO maupun CSO perlu meletakan peran (role enactment) yang strategis agar konsolidasi daerah bisa berlangsung dengan maksimal. Konsolidasi demokrasi pada dasarnya berlangsung pada dimensi kultural dan sistem. Baik mencakup persoalan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan perilaku birokrasi pemerintahan dan kebijakan-kebijakan lokal. Akan tetapi pada saat bersamaan kalangan sipil sendiri masih perlu melakukan konsolidasi gerakan.

Demokrasi di tingkat daerah adalah suatu tugas baru bagi elemen-elemen masyarakat sipil. Secara mendasar masyarakat sipil harus mampu melakukan gerakan-gerakan sosial yang mampu mensukseskan proses demokrasi di tingkat loal. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan elemen-elemen sipil di darah, berkaitan dengan presoalan-persoalan di atas, dalam konteks konsolidasi demokrasi daerah dapat kita lihat pada; 1) pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal, 2) partisipasi politik warga berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan dan pemilu, 3) pendidikan politik bagi elite-elite dan kelompok-kelompok politik , 4) pendampingan (advokasi) masyarakat berkaitan dengan kebijakan pemda, dan 5) agenda mendukung pembentukan pemerintahan yang baik (good government).Agenda masyarakat sipil ini akan menjadi titik keberhasilan konsolidasi demokrasi daerah. Konsolidasi demokrasi daerah tidak akan berjalan tanpa peran yang diberikan masyarakat sipil karena posisi strategis mereka dalam struktur sosial. Mereka sekaligus adalah kelas menengah, yang bisa bernegosiasi dengan pemerintah dan bisa berkomunikasi dengan kebutuhan masyarakat bawah.

Penutup

Kita tidak bisa memungkiri bahwa proses menuju konsolidasi demokrasi akan timpang dan runtuh jika masyarakat sipil gagal menempatkan peran strategisnya. Demokrasi yang dipartisi pada level daerah sesungguhnya memberi ruang yang semakin luas terhadap masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi. Isu-isu penting berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, partisipasi politik dan pembentukan pemerintahan lokal yang baik harus digarap dengan komitmen dan konsentrasi. Walaupun masing-masing elemen mempunyai isu dan kepentingan yang berbeda, paling tidak sebagaimana disebutkan Diamond (2003) bahwa gerakan elemen-elemen sipil akan mengarah pada pengakan hukum (law enforcement), pengawasan kinerja dan perilaku pemerintah, dan melindungi masyarakat melalui pemberdayaan dan advokasi.

Daftar Pustaka

Chandoke, Neera. 2005. What the hell is Civil Society? http://www.Open Democracy.net diakses 23 Desember 2005.

Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press.

Diamond, Larry (peny). 1994. Revolusi Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hikam, AS, Muhammad. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES

Hikam, AS, Muhammad. 1999.Politik Kewarganegaraan. Jakarta: Millenium Baru

LGSP, USAID/RTI. 2005. Laporan Penelitian Need Assessment LG AMP Kota Madiun. Surabaya: PUPUK

Mills, Wright, C., 1956. The Power Elite, Oxford University Press, New York

Rahardjo, M Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.

Thamrin, Juni. 2001. Peta dan Peran Civil Society Organization di Indonesia Paska Pemerintahan Wahid. Makalah Seminar. Jakarta: The Japan Foundation Asia Center (30 Oktober 2001).

Media

Republika, 13 Juli 2005

<!–[if !supportFootnotes]–>

 


<!–[endif]–>

<!–[if !supportFootnotes]–>[1]<!–[endif]–> Pembahasan yang lebih mendalam mengenai perbedaan maupun persamaan dari civil society yang berakara dari sejarah Barat dan masyarakat Madani yang berakar dari dunia Islam (Timur) bisa dibaca dalam buku Dawam Rahardjo, 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jkarata: LP3ES.

<!–[if !supportFootnotes]–>[2]<!–[endif]–> Untuk melihat lebih jelas definisi-definisi setiap kelompok masyarakat sipil model Larry Diamon lihat dalam bukunya yang sudah diterjemahkan, 2003. developing democracy toward consolidation, Yogyakarta: IRE Press.

<!–[if !supportFootnotes]–>[3]<!–[endif]–> Civicus mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “Sebuah arena, yang berlainan dari negara dan pasar, dimana anggota masyarakat berkelompok dan berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendefinisikan, menyatakan dan mendorong nilai-nilai, hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka”. Definisi ini dikutip laporan Hasil Penilaian Tingkat Kesehatan Masyarakat Sipil di Indonesia Tahun 2002, Yappika.

<!–[if !supportFootnotes]–>[4]<!–[endif]–> Penjelasan mengenai kelompok-kelompok tradisional keagamaan pada masa kolonialismedi Indonesia bisa dilihat dalam buku Greg Feally, 2003. Ijttihad Politik Ulama. Yogyakarta: LKiS

 

The Sacrifice of Development: Seba

 

 

 

The Sacrifice of Development: Seba
Novri Susan-Airlangga University

A paper for:Prof. Dr. Wolfgang Dietrich
University of Innsburck

(Her name is Seba from a slum village in one province of Indonesia. She was offered for an employment in Malaysia by agency worker with a good wage and other facilities. There was no a complicated requirement. Seba only needed to pay around 200$ as investment for travel cost and a short days training. Then, she was send to one part of Malaysia and worked in a building construction project. The overseer said “You will get your wage in every three months time”. After nine months, Seba has not received any money because “The director is still in a project negotiation, you will get it next month” said the overseer with glaring Seba. In the end of the tenth month, Seba was waiting for her right but in the afternoon the police came and caught her as an illegal migrant worker. Then, she was send back to Indonesia after getting imprisoned for several months without receiving any money except travel arrangement to get back home by Malaysian government. Seba now is “waiting for Godot[1]”)

(Imagined story from some Indonesian migrant worker stories)

The Sacrifice of Development: Seba

Introduction

Slavery in our contemporary society is a crime against humanity as the statement of slavery abolishment in the modern states. Even, there is a fact that slaves have been put into jail, got punishment from the law, and lose their rights as human beings. In my sense as an academician in social sciences, slavery is beyond the law’s interpretation. For instance in some cases, law is the defender of the crimes itself where people who serve their master unhappiness is accused as illegal workers and brought to a torture room. Slavery as a discourse perhaps will be interpreted in warring thoughts, its definition and context. In this paper, I intend to propose slavery in the capitalist development discourses since development has brought people into an uncertain future and a humanity flaming.

The development concept in our history usually is understood as the part of modernism’s narrative and the West capitalism-colonialism, even now the concept is more complex by many perspectives. Instantly in many cases, development project from the ancient kingdoms until the colonialism-post colonialism era always sacrifice people to pursue the goal of development. What many people have been amazed on the goal and the result of development namely an economic growth and luxurious buildings are only the surface of the development. If we look at to the deeper sides, the misdeed of development to many people will be appeared obviously in the form of slavery. Slavery has been created by the men’s image about glorious world with using their development narrative, from Pharaohs’ time in BCE to George Bush dominance in this 21st century.

Base on the reality above, I came up with questions, in what process of the capitalist development has sacrificed the people as slaves? In order to support the question, I am going to start by undertaking a short historical review on slavery practices in order to understand the slavery concept in the ancient society and modern society. Then, I would go further to the discourses of slavery in capitalist development since 1930s up to now. In this session I want to reveal paradox of the capitalist development with its glory in the economic growth, industrialization and physical development. This paper is aimed to give a discourse about slavery in the capitalist development without taking a certain case although I will use the slavery issues from Brazil and Indonesia. To support this discourse, I will compile the secondary data from some literatures, research reports, and news papers.

Slavery: from the Ancient to Modern Society

Slave in English words come from the word of sclav in the Middle English language. Sclav rooted from the Medieval Latin sclavus which originates from the Late Greek sklabos. In the ancient kingdoms in Egypt, the slave was called as Hem (Hm) which has a meaning as body and property or a person who serve for certain duty to their master or god (Slavery, n.d.) whereas in Japan in the 3rd century it was called seiko as a slave and nuhi in 8century. In Arabic language slave can be translated as ‘abdbudak (servant) or zenji (black). Before Islam enlightened the Arabic society in 5th century, slavery system was established on a debt relation and punishment to the criminal.

ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) article number 8 defines slavery or servitude in an operational definition namely “forced or compulsory labour” (in OHCHR, n.d.). This definition basically views slavery as the work relation. In general, I define slavery is a forcefulness of the powerful people or group to the others for serving without giving rights of people to get a happiness. Then, the practices of slavery can be found in any social institutions where relation exists such as in a family, factory, agricultures, communities, and so forth.

In the case of communities’ relation, the slavery can be found in some cases of religious communities’ relation such Christian and Muslim. “Pope Nicholas V in 1452, as part of the fight against Islam, gave the Portuguese king the right to enslave people who were not Christian. This was used by the Portuguese to enslave Africans” (Spain’s Slavery Contract, n.d.). For the Portuguese, Pope’s appealing is a political legitimacy to enslave African people, sold them to British or the other colonial countries from Europe. The practices of slavery in this context also occurred during the Ottoman Empire in Turkey. Christians from Europe (slavs) were enslaved by the Ottoman’s king such as a manual worker in the kingdom’s military, harem’s guards, and so forth.

In the ancient societies, slavery was an institutionalized practice such in ancient Athens about 30% of the population consisted of slaves and in the Roman Empire is about 10-15% of the population. Slavery as a system can be seen in the Hammurabi’s law in Babylonia, or Hammurabi Code, in 1792–1750 BC (Khan Amore, 2002, p. 3). Before Hammurabi Code, the practice of slavery in our history also can be traced in the ancient society of Jericho. Jericho is a walled town in around 10,000 BCE where the settlers defeated the others people outside of the town and captured them as slaves. Slavery in the ancient society was often as the result of warfare. The conqueror, clan group or kingdom, brought the captives to their town as slaves in household, worker in military forces, agriculture and sex service.

Wilbur in his paper entitled Slavery in China during the Former Han Dynasty (1967) described how the ancient China empires, Han’s dynasty in 206 BC, used an administration based on slavery system to operate the palace’s activities, to sustain a feudal economic system, and military works. The great wall is the part of military work in China where hundred thousands people were abused as slaves. This slavery system also was adopted by the royal family or rich family in China to serve the family’s activities.

The practices of slavery still continue after the enlightenment in Europe has born modernism and the industrial revolutions with a capitalist system. Enslavement during this period is especially to support the mass production of the capitalism system. In the agriculture sectors such as cotton, sugar canes and spices are the sector where slaves do work involuntary. The worker during the beginning of industrial revolution got a low wage which made they were not able to suffice their needs. The expanding of industrialization, market demands, raw material needs, and their religious spirit, then have encouraged Western countries to colonize many areas of the world. Western colonialism, then as the part of the capitalism expansion, in many areas around the world has enslaved the local people in any sectors.

Based on Marx’s criticism during the industrialization Europe and America, capitalism is the system that reproduces the slavery system from feudal age to the modern capitalism society. He looks at the production relations in the mode of production of capitalism where proletariat is exploited. It is caused proletariat is treat as a property in the mode of production of capitalism (Marx, 1932, n.p.), as well as Hem in the Ancient Egypt. Like in the other social systems, Marx viewed (in Lawrence, 1976, n.p.) the slavery in contemporary society is as a system with “a dynamic rise as productive forces developed, trailed by stagnation, descent and depose”.

Slavery is the dark side of humanity’s history, from the Pharaoh’s kingdom in Egypt to the temple of inauguration Aztec in Mexico, from the Roman Empire to Ottoman Empire, and from industrial revolution in Western countries to the world development today. The slavery also became a social system in the ancient society where slaves were caused by debt, punishment, voluntary servitude, war, by birth, and capture (Slavery, n.d.). At a glance, the slaves in the ancient society were placed in the project of development for building constructions of the kingdom, domestic workers in a royal or rich family, and agriculture activities such in sugar cane plantations or cotton. In the context of industrial society, the slavery takes a same pattern from the practices of slavery in the ancient society even in a different social system. In our industrial society slaves are the sacrifice of development’s narrative with its slogan; gold, gospel, and glory.[2]

Slavery for the Glory of Development

The abolishment of slavery system in modern society which carried out by UK, USA, French, and Portuguese in 19th century does not mean the practice of slavery has been erupted.[3] Many governments claim the practice of slavery is an illegal practice. However, I want to interpret the meaning of illegal practice here is the way of ‘development’ wash hands from their crime in slavery. Before going on to this discourse, I want to quote the work of Wallerstein (2004) in uncovering the fact behind ‘development’. In 1900, as Wallerstein testified the idea of development has been proposed by the French Ministry of Colonies through a book entitled Les colonies françaises:la mise en valeur de notre domaine coloniale. Mise en valeur in the dictionary is translated as “development” or développement in French language. Furthermore Wallerstein uses the Les Usuels de Robert: Dictionnaire des Expressions et Locutions figurées (1979) viewed that “mettre en valeur” meaning is to exploit, draw profit from” (2004, p.1). This political history of development then got its legitimacy from modernism concept and three ‘G’ slogan by which European exploited and draw profit from their colonies in Africa, India, Asia, and Latin America. The fact, slavery abolishment is in the legal level but it exists in a softer term, namely ‘development’.

During the colonial era, local people in the colonies area were forced to realize this development project. In Asia, such Indonesia, the Dutch colonial enslaved local people for working unpaid in plantations, road project, and household servants. The most popular slavery system in Indonesia by the colonial Dutch is culture stelsel (forced work) which forced the local people to work in the colonial development project such railroad construction and government buildings. Millions local people were suffering in this period and millions were death because they did not get health service and logistic needs. Kristanto (2003) pointed out that sistem Tanam paksa (forced plants system) also the part of slavery system during the Dutch colonialism where local people had to plant a certain plant for the Dutch to fulfill the market demands in Europe especially pepper, clove and any kind of spices.

This development pragmatically was purposed to support capitalism system in West countries. During the cold war era the project of development was resurrected by USA for the third world countries after the success of this approach in solving great depression of economy in USA. The development resurrection in the ‘post-colonial’ has created a new perspective in achieving national wealth, then it is famous as developmentalism. In Latin America this concept is named as “desarollismo” or “cepalismo” and in Indonesia is pembangunanisme. Politically, developmentalism is purposed to be a development alternative concept from the socialism of USSR during the cold war.

Developmentalism as the lovechild of capitalism system and modernism has a blue print of the social change to reach what Rostow called as the steps of economic growth. In achieving Rostow goals, government should consistence in implementing the blue print of economic development through a cultural transformation, natural resources exploitation, and industrializations (see Rostow, 1960). Natural resources exploitation and industrialization have pushed an amazing national economic growth in some third world countries such as in Indonesia during 1980s with 6-7% of economic growth and Brazil during 1930s-1970s. This amazing economic growth is the glory of economic development. However, behind of this amazing economic growth is the groan of millions people who are suffering under the developmental process as slaves. To reach Rostow’s non communistic manifesto (1960), millions people do work unpaid involuntary or they are paid by a low wage in any sectors.

During the 1930s to 1970s in Brazil, huge slums grew in the mushrooming cities. The program of modernization in Brazilian’s development has encouraged the modern techniques of farms into Amazon and needed many laborers. The development process in reaching economic growth collaborates with capitalism values have subjected laborers as property. The laborers then work without feeling secure under the low wage and tight watching from the overseers.

Now, it is estimated that 25.000 and 40.000 laborers working analogues with slavery in Brazil. The main activities for that slavery are “ranching (43 per cent), deforestation (28 per cent), agriculture (24 per cent), logging (4 per cent) and charcoal (1 per cent)” (Bhavna Sharma, 2006, p. 4). This number of slaves is the prop of development process in Brazil even legally the government does not acknowledge this slavery practice. According to ABC News (July 4 2007) Brazilian government’s anti slavery has freed 1000 slaves from their nightmare in the slavery’s camp in the sugar cane plantation of the northern state of Para. Why does the government only free 1000 slaves when they have a big authority to free all slaves?

At the same time when development has enslaved a lot of people, according to Bresser-Pereira (2006, p. 16) Brazil still relies on the development approach that now is called as ‘new developmentalism’.

What happen in this Brazil story has the same pattern with the case in Asian countries such as in Indonesia, Malaysia, Thailand, and India. The industrialization and development in Malaysia need many workers to realize the project. The sub-contractor, as exist in Brazil, needs a cheap worker to support the development projects such as in industries, plantations area, and construction projects. Hundred thousands migrant worker from Indonesia and the Philippines are analogue with slavery. In 2004 (KOMPAS, July 16 2004) approximately there were 400.000 illegal Indonesian workers in Malaysia which is a lot of them still have not got their wages.

Both Malaysian and Indonesian government look at the legal perspective to handle the problem of slaves. They do not consider the aspect of humanity and crimes behind the illegal status of the worker. The government has ignored that illegal workers have been enslaved for their development projects. Law, then, is only possible to judge and to punish the slaves as illegal workers, then put them to jail after flagellating them. Law is not able to bring them into ‘humanity justice’, at this point I see law is an instrument of “mettre en valeur”. As in the telling story of Seba, who is ‘waiting for godot’.

India is the new amazing economic growth, together with China, in this 21st century which new glorious buildings in the capitol city and some other big cities, and industrialization in agriculture and manufacture. Even according to Hales (1999) there were 20 millions debt bondages in India who work for building constructions project, agricultures, and industries. I believe that in many places where the development is embraced by a state, slavery become the prop of development’s goal.

Disbelieve to Development but Peace in Nature

Developments for Pharaohs’ pyramid, Han dynasty’s project on the great wall, and until the world development of the West countries for the third world are mettre en valeur”. Even in the modern society slavery has been acknowledged as a crime against humanity, the character of mettre en valeur” make slavery has been existing nowadays. The existence of slavery in the modern society is a resonance of capitalist development’s narrative which is still trusted by many countries to realize human’s image about their glory. When Seba has been enslaved by the developmental project, the state accused Seba as a law violator. Actually, the state has violated humanity’s justice by using their law. I belief the state’s violation on slaves is purposed to protect the development stability as in discourses above. In this level, how can we believe to the world development since it is a “mettre en valeur?

I think our world does not need development anymore but recognition. Recognition to what people need for their peace in their lands, in their world, and in their dream about a happiness, it is about their feeling. State should come to the people without development but this recognition and protection of their rights to appear their concept about wealthy. Dietrich and Sützl (1997) called this recognition as “many peaces”. Peace as a concept of human’s vision about their happiness and glory should not be brought into the claim of single concept of capitalist development but into their feelings.

 

 


Bibliography

ABC News. (July 4, 2007). Plantation slaves freed in Brazil. Retrieved October 12 2007 from http://www.abc.net.au/news/stories/2007/07/04/1969340.htm.

Bales, Kevin. (1999). Disposable people: new slavery in the global economy. USA: University of California Press.

Bresser-Pereira, Carlos, L. (2006). The new developmentalism and conventional orthodoxy. Retrieved October 11 2007 from http http://www.ideaswebsite.org featart jul2006 Developmentalism_%20Orthodoxy.pdf.

Dietrich, W., and Sützl, W. (1997). A call for many peaces. Retrieved September 20 2007 from http://www.aspr.ac.at/wp7_97.pdf.

Encyclopædia Britannica Article. (n.d.). Retrieved October 10 2007 from http://www.britannica.com/eb/article-9039076/Code-of-Hammurabi.

Hall, G.,K. (2004). Slavery exists out of sight in Brazil. Retrieved October 8 2007 from http://www.mongabay.com/external/slavery_in_brazil.htm.

Khan Amore. (2002). The Mesopotamians, lex talionis, and the code of hammurabi. Retrieved October 11 2007 from http://www.hypatia-lovers.com/AncientWays/Section06.pdf.

KOMPAS. (July 16 2007). Pemerintah terkesan tidak siap tangani TKI illegal. Retrieved October 10 2007 from http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/16/ekonomi/1151087.htm.

Kristanto, Heri. (2003). Menimbang sejarah dalam ekonomi Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat . [Artikel – Th. I – No. 11 – Januari 2003]. Retrieved October 8 2007 from http://www.ekonomirakyat.org/edisi_11/artikel_6.htm.

Lawrence , Ken. (2002). Karl Marx on American slavery. Retrieved October 7 2007 http//:www.sojournertruth.net.

Lonympics. (n,d). Retrieved October 11 2007 from http://www.lonympics.co.uk/serfdomadefinition.htm.

Nefertiti. (n.d.). Retrieved October 7 2007 from http://nefertiti.iwebland.com/timelines/topics/slavery.htm.

OHCHR. (n.d.). International covenant on civil and political rights. Retrieved October 1 2007 from http://www.unhchr.ch/.

Rostow, Walter, W. (1960). The stages of economic growth: A non communistic manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.

Spain’s Slavery Contract. (n.d.). Retrieved October 7 2007 from http://discoveringbristol.org.uk/showNarrative.php?sit_id=1&narId=786&nacId=825.

Salemi, Peter. (n.d.). The pride of our power: British colonialism. Retrieved October 10 2007 from http://www.british-israel.ca/colonialism.pdf.

Wikipedia. (n.d). Slavery. Retrieved October 4 2007 from http://en.wikipedia.org/wiki/Slavery.

Wilbur, Martin, C. (1967). Slavery in china during the former han dynasty 206B.C.—A.D.25. Retrieved October 11 2007 from http://orion.oac.uci.edu/~dbell/Wilbur.pdf.

Marx, Karl. (1932). Economic and philosophic manuscripts of 1844. Retrieved October 10 2007 from http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/manuscripts/preface.htm.


[1] “Waiting for Godot” is Samuel Becket’s drama where people looking for uncertain answers in the chaotic world. I see slaves, in any realms, also looking for their free and rights but there is a grand narrative of evil who dispose their hopes.

[2] Gold, gospel, and glory as the fundamental West’s legitimacy for their cruelness during colonialism era is defended by some Western scholars who still stay with their prominently belief that West people and its Christianity through colonialism has enlightened the world. This belief do not care, in instance, with what African people felt with about devastated identity and future when the colonial put them as commodity in slaves market. This belief can be seen through Peter Salemi’s paper entitled The Pride of Our Power: British Colonialism (n.d.).

[3] Slavery Abolition Act, passed on August 23 1833, outlawed slavery itself in the British colonies, in USA slavery was abolished with the Thirteenth Amendment to the United States Constitution in the United States in 1865 after a horrific loss of about 600,000 lives, France abolished slavery in 1848, and Portugal abolished slavery in its overseas territories in 1869. US and UK created Sierra Leone and Liberia were established for former slaves of the British Empire and United States respectively see in http://www.lonympics.co.uk/slavery.htm.

 

Cangkrukan (sit around building humanity feeling)

Cangkrukan (sit around building humanity feeling) is a special space for talking any issues in our life world with a simple and critical thinking. Cangkrukan for Indonesian society in many areas, with a different name such angkringan in Jogja, is often used to spread over any information and issues within society, to slow down the world fast with jokes, to entertain friend who is sad, and in turn to build feelings of humanity. In Cangkrukan, we can talk anything…

(Cangkrukan adalah tradisi berkumpul dan berbicara dengan santai tetapi sering disertai pikiran kritis di dalam masyarakat Indonesia. Cangkrukan sendiri adalah produk budaya masyarakat Jawa Timur, di Jogja kita mengenal Angkringan dengan definisi yang sama. Cangkrukan sering dimanfaatkan untuk saling berbagi informasi dan isu-isu masyarakat, melambatkan dunia yang berjalan cepat dengan canda-canda ringan, menghibur teman yang sedih, dan pada gilirannya membangun perasaan kemanusiaan. Dalam Cangkrukan ini, kita bisa berbicara apapun untuk membangun perasaan kemanusiaan.)